Bekal Melindungi Diri Anak
Pendidikan kesehatan reproduksi penting diajarkan kepada anak sejak usia dini oleh keluarga. Selain memperkenalkan organ reproduksi dan fungsinya, orangtua juga dapat memasukkan unsur moral serta hak anak atas tubuh. Itu menjadi bekal untuk melindungi diri.
Kasus kekerasan seksual terhadap MAK, siswa Jakarta International School, baru-baru ini mencerminkan rawannya anak-anak terhadap kekerasan seksual, bahkan di sekolah sekalipun. Secara umum, kasus kekerasan seksual terhadap anak meningkat selama tiga tahun terakhir. Tahun 2010, tercatat ada 1.178 kasus, tahun 2011 meningkat menjadi 1.304 kasus, dan 2012 naik menjadi 1.643 kasus, Kompas (14/1/2013).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Anak perlu diajarkan bahwa tubuhnya berharga dan dijelaskan hak atas privasi tubuhnya,” kata Baby Jim Aditya, psikolog Klinik Angsa Merah sekaligus aktivis penanggulangan HIV/AIDS, Kamis (17/4). Baby aktif memberikan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi bagi remaja.
Pemahaman hak atas privasi tubuh itu, kata Baby, dapat digunakan anak untuk menolak jika ada orang yang ingin menyentuh bagian-bagian tubuhnya, terutama organ reproduksi. ”Anak memiliki otoritas untuk menolak jika ada orang asing ataupun anggota keluarga yang ingin menyentuh tubuhnya,” ujar Baby.
Sejak dini
Pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak dapat dimulai sejak anak balita, yakni ketika anak bisa berbicara. Baby mencontohkan, saat memandikan anak, orangtua mulai menjelaskan bagian-bagian tubuh beserta fungsinya dengan bahasa yang mudah dipahami. Setelah itu, orangtua mengajarkan mengenai hak dan otoritas atas tubuhnya.
Orangtua dapat mempraktikkan penggunaan hak dan otoritasnya itu ketika anak akan pergi buang air kecil di toilet. Orangtua dapat mengatakan bahwa mereka tidak akan mengantarkan anak ke toilet karena anak harus menjaga otoritas tubuhnya.
Direktur Megawati Institute Musdah Mulia menambahkan, proses pendidikan hak reproduksi itu bertahap. Setelah pengenalan fungsi organ reproduksi dan hak atas tubuhnya, anak perlu diajarkan mengenai moral dan tanggung jawab atas tubuhnya sendiri. ”Tujuannya, agar anak dapat memahami perlakuan orang lain terhadap tubuhnya. Dia dapat menentukan untuk menolak jika perlakuan orang lain mengarah ke tindakan asusila,” ujar Musdah, di sela-sela acara Forum Dengar Suara Korban Kekerasan Seksual di Fakultas Ilmu Budaya, Senin (14/4).
Tabu
Namun, pendidikan kesehatan reproduksi masih sukar diterapkan dalam masyarakat. Orangtua sering kali merasa pendidikan hak reproduksi sebagai sesuatu yang mengandung pornografi. Musdah mengatakan, kebanyakan orangtua jengah untuk mengajarkan hal itu kepada anak-anak. Alasannya, materinya lebih diperuntukkan bagi orang dewasa bukan kepada anak-anak. Orangtua pun tidak jarang menganggap tabu membicarakan pendidikan kesehatan reproduksi. Menurut Musdah, hal itu, antara lain, dipengaruhi oleh faktor budaya dan agama.
Kesadaran orangtua terhadap pentingnya pendidikan hak reproduksi dan seksualitas bagi anak perlu dibangun terlebih dahulu. Baby menyarankan, agar orangtua menghilangkan perasaan jengah terlebih dahulu.
Di dalam masyarakat, pengetahuan kesehatan reproduksi mulai diberikan, walau terbatas. Warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Herlina Malik, mengatakan, dia mengingatkan anaknya untuk melapor jika ada yang melakukan perbuatan seksual menyimpang kepadanya.
Hal serupa dilakukan Daty, warga Kebon Jeruk lainnya. ”Saya beri tahu anak perempuan saya untuk menolak dan lari jika ada yang menyentuh alat kelaminnya,” ungkapnya. (A05)
Sumber: Kompas, 19 April 2014