SETELAH enam kali periode tanam padi tanpa bisa memanen, petani di Desa Kwasen, Kecamatan Kesesi, Kabupaten Pakalongan, Jawa Tengah, akhirnya mulai merasakan lagi hasil jerih payah mereka. Semua itu tak lepas dari pemeliharaan burung hantu yang digunakan sebagai predator alami hama tikus.
”Panen pertama dilakukan pada Maret lalu,” kata Arifin (53), Senin (14/4). Arifin, salah satu anggota Kelompok Tani Bangkit, yang turut menginisiasi penggunaan burung hantu jenis barn owl (Tyto alba) untuk menanggulangi hama tikus.
Senin siang itu, sejumlah petani tampak membawa karung-karung hasil panenan dari sejumlah petak sawah. Wajah semringah melengkapi keceriaan mereka merayakan panen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala Desa Kwasen Sarwo Gangsar mengatakan, pengenalan burung hantu Tyto alba untuk digunakan sebagai predator alami tikus dimulai pada Februari 2013. Itu dilakukan setelah berbagai metode pembasmian tikus, yang sebelumnya dilakukan, gagal membuahkan hasil. ”Berbagai cara dilakukan sebelumnya, termasuk gropyokan (berburu tikus beramai-ramai hingga ke lubang persembunyian) hingga menggunakan (asap) belerang,” kata Sarwo.
Akan tetapi, hama tikus tetap merajalela di areal persawahan desa. Lebih jauh, sejumlah konflik rumah tangga mulai terjadi pada keluarga-keluarga petani yang dipicu ketiadaan penghasilan. ”Banyak yang kemudian berhenti jadi petani. Mereka jadi tukang sayur atau urbanisasi ke Jakarta,” ujar Sarwo.
Awalnya, sepasang burung hantu Tyto alba didatangkan dari Desa Tlogoweru, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, yang lebih dahulu mengecap sukses dalam penggunaan predator alami hama tikus di sawah. Burung hantu itu kemudian ditangkarkan para petani Desa Kwasen dan kini jumlahnya menjadi sebanyak 60 ekor.
Burung-burung itu lantas ditempatkan dalam puluhan rumah burung hantu (rubuha) atau pagupon dengan ketinggian 4,5 meter, yang tersebar di areal persawahan. Dari kejauhan, rubuha itu seperti gardu kecil, rumah para penjaga—Tyto alba—memantau hamparan padi menguning dari serbuan tikus. Dari ketinggian rubuha itu, burung-burung nokturnal—aktif pada malam hari tersebut—aktif memburu tikus-tikus dalam senyap.
Nasrullah, Ketua Kelompok Tani Bangkit, Desa Kwasen, mengatakan, jumlah burung hantu yang dibiakkan petani masih belum mencukupi. ”Memang sudah ada pengaruhnya. Namun, sebenarnya jumlah burung hantu masih kurang. Satu ekor burung hantu dewasa satu hari rata-rata makan tiga tikus. Saat ini ada 250 hektar sawah. Idealnya, dibutuhkan 125 pasang. Karena satu hektar minimal butuh satu pasang,” ujarnya.
Serasi dengan alam
Bonjok Istiaji, ahli tanaman dari Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian (DPT-FP) Institut Pertanian Bogor (IPB), mengapresiasi inisiatif cerdas petani membudidayakan burung hantu untuk mengusir tikus. Upaya itu merupakan salah satu praktik pertanian ramah lingkungan yang bisa ditiru petani lain, meskipun mungkin belum menjadi solusi tuntas untuk permasalahan hama tikus.
”Solusi lain yang bisa dilakukan, misalnya dengan membersihkan dan terus merawat areal persawahan agar tidak menjadi sarang tikus. Tidak ada solusi instan untuk pertanian dan semangat inilah yang sekarang harus terus dibangunkan. Gairah untuk bertani,” kata dia. Semoga…. (INK/AIK)
Sumber: Kompas, 19 April 2014