APA itu pertanian hortikultura? Mungkin belum banyak masyarakat Indonesia yang tahu. Istilah hortikultura sampai sekarang masih terasa asing di telinga kita. Oleh karena itu, perhatian orang Indonesia terhadap persoalan hortikultura juga kurang.
Namun, tahukah Anda, berapa nilai perdagangan produk dan komoditas hortikultura Indonesia setiap tahun? Tidak kurang dari Rp 100 triliun. Nilai perdagangan hortikultura dua pertiga nilai perdagangan unggas atau sapi nasional.
Bahkan, jauh lebih tinggi dibandingkan nilai perdagangan jagung yang hanya Rp 60 triliun. Apalagi dibandingkan nilai perdagangan kedelai yang sekitar Rp 20 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski istilah hortikultura terasa asing, sejatinya jenis komoditas yang masuk dalam subsektor hortikultura sudah sejak dulu kala akrab dengan kehidupan kita sehari-hari.
Komoditas hortikultura dibagi dalam empat kelompok besar, yaitu buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan biofarmaka. Buah dan sayuran merupakan menu makanan kita sehari-hari. Tanaman hias juga banyak kita kenal, baik bunga ataupun daun.
Komoditas biofarmaka juga sudah tidak asing, seperti jahe, kunyit, dan lengkuas. Bahkan, itu menjadi tulang punggung industri jamu nasional.
Di Indonesia subsektor hortikultura itu baru mulai secara sungguh-sungguh dikembangkan sekitar sepuluh tahun lalu, yaitu pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Dulunya pemerintah belum menganggap subsektor ini penting.
Meski demikian, swasta sudah melihat peluang bisnis hortikultura jauh-jauh hari. Setidaknya 30 tahun lalu. Pada masa itu, perusahaan benih, seperti East West Seed, mulai merintis usaha perbenihan di Indonesia, diikuti yang lainnya.
Sampai sekarang setidaknya ada 120 perusahaan benih nasional. Sepuluh di antaranya perusahaan besar atau multinasional. Bisnis benih hortikultura terus tumbuh, dengan nilai bisnis Rp 1 triliun per tahun.
Tidak besar! Namun, dari nilai bisnis benih yang Rp 1 triliun itu mampu menggerakkan bisnis hortikultura secara keseluruhan dari hulu ke hilir dengan nilai perdagangan Rp 100 triliun per tahun.
Industri hortikultura menyerap 2,5 juta tenaga kerja langsung dan meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia. Nilai tambah petani hortikultura jauh lebih tinggi daripada usaha tani lain karena kontribusi benih dalam biaya produksi 3-4 persen. Jutaan petani di Indonesia dibuat kaya dengan industri hortikultura.
Saat ini ada keluhan dari industri hortikultura. Pemerintah dan DPR membuat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura yang mewajibkan pemodal asing melepaskan kepemilikan saham di perusahaan hortikultura di Indonesia hingga maksimal tinggal 30 persen dari sebelumnya bisa 100 persen. Batas waktu pelepasan modal adalah tahun 2014.
Sebenarnya sudah empat tahun investasi asing ini diberi kesempatan melakukan transisi. Namun, mereka tetap mengeluhkan pelepasan saham itu hingga beberapa di antaranya menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mengaku, investasi besar dikucurkan untuk industri benih yang padat teknologi itu.
Dampaknya, bila industri itu terguncang, bukan tidak mungkin menyebabkan benih hortikultura yang diproduksi di Indonesia kehilangan daya saingnya. Masalah yang muncul impor benih dan komoditas hortikultura malah akan banjir ke Indonesia. Sebuah simalakama!
Berkaca dari masalah itu, kemandirian dalam industri hortikultura tetap perlu. Namun, kita harus mencari cara yang cantik untuk melakukan transisi. Pemerintah perlu memberi insentif agar industri dalam negeri lebih kuat. Meski demikian jangan sampai industri hortikultura yang kini sudah berkembang malah mundur ke belakang.
Semua harus duduk bersama dengan kepala dingin. Kepentingan petani hortikultura secara khusus, industri hortikultura secara umum, dan konsumen Indonesia jangan dikorbankan. Lebih dari itu, kita harus membangun kemandirian benih. Untuk itu kemajuan teknologi perbenihan harus diraih lebih dulu. (HERMAS E PRABOWO)
Sumber: Kompas, 3 April 2014