Kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaan produk kayu olahan berkelanjutan masih rendah. Untuk menjaga kelestarian hutan, masyarakat perlu mengubah pola konsumsinya.
Direktur Program Sumatera dan Kalimantan WWF Indonesia Anwar Purwoto mengatakan, kesadaran masyarakat masih kurang. Sementara permintaan terhadap bahan baku produk berasal dari kayu meningkat. ”Terdapat kesenjangan antara permintaan yang meningkat dan kemampuan penawaran hutan Indonesia,” ujarnya pada temu wartawan bertema ”Responsible Timber Product Campaign: 100% Responsible Costumer” di Jakarta, Kamis (27/2).
Pada 2007, kebutuhan masyarakat Indonesia akan kayu mencapai 60 juta meter kubik. Sementara pasokan kayu yang bisa diproduksi hutan Indonesia 20 juta meter kubik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika konsumsi sumber daya hutan tak diiringi pola berkelanjutan, kata Anwar, keberlangsungan hutan alam menunggu kehancuran. Berdasarkan data Statistik Kehutanan Indonesia 2013 yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan, total angka deforestasi kawasan hutan Indonesia periode 2009/2010 adalah 610.375 hektar per tahun dari total luas hutan Indonesia 131.279.115 ha.
Pada kondisi semacam ini, kesadaran masyarakat menggunakan produk kayu bersertifikat perlu didorong melalui pengaturan pola konsumsi, yaitu mempertimbangkan dampak dari setiap produk yang dikonsumsi. Salah satu caranya membeli dan menggunakan produk kayu atau turunannya yang tersertifikasi, di antaranya berlabel FSC (Forest Stewardship Council). ”Label sertifikasi itu dapat membantu masyarakat mengenali bahwa produk yang dikonsumsinya berasal dari hutan lestari,” kata Anwar.
Fathi Hanif, Koordinator Program Strengthening Integrity and Accountability Program II (SIAP II)—proyek yang didanai USAID—menambahkan, konsumen diharapkan lebih bijak. Produk- produk kayu bersertifikat bisa saja lebih mahal sehingga diperlukan keberpihakan konsumen.
Kesadaran masyarakat Indonesia, menurut Anwar, berbeda dengan di negara lain. ”Kepedulian konsumen di luar negeri terhadap lingkungan meningkat. Karena itu, pemerintah menetapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk memenuhi keinginan mereka mengonsumsi produk kayu hutan lestari Indonesia yang ramah lingkungan.”
Di Indonesia, masalah tidak hanya pada tingkat konsumen saja. ”Contoh dasarnya, kalau kita jalan-jalan ke toko mebel atau kertas, tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa produk yang dijual bersertifikat. Informasi dan sosialisasi yang kurang ini mengurangi kesadaran konsumen mengonsumsi produk bersertifikat,” kata Anwar. (A06)
Sumber: Kompas, 1 Maret 2014