Matinya Masyarakat Ilmiah

- Editor

Kamis, 7 Februari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sebenarnya kebijakan keliru mengelola lembaga ilmiah bukan hanya terjadi pada lembaga penelitian, tetapi juga universitas. Sudah lama universitas terkooptasi rezim birokrasi dan regulasi berlebihan. Termasuk PTN.
Dileburnya Lembaga Eijkman ke dalam BRIN dengan segala implikasinya adalah fenomena puncak yang mengonfirmasi terbitnya kebijakan antisains.

Para pengambil kebijakan tampaknya tidak memahami sains, dasar pijakan rasional dan kredibel yang menentukan arah perkembangan masyarakat dan peradaban.

Mandat ilmuwan adalah bertanggung jawab atas masa depan masyarakat melalui penelitian dan kerja ilmiah mereka. Memperlakukan lembaga ilmu pengetahuan sekadar sebagai unit administratif, bukan unit akademik, adalah kebijakan keliru dan dapat mengakibatkan kemunduran ilmu pengetahuan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pembenahan tata kelola memang sangat baik dilakukan, tetapi membubarkan dan meleburkan lembaga penelitian ke dalam struktur besar lembaga pemerintah tampaknya bukan jalan keluar.

Tindakan itu justru seperti mencabut ruh kebebasan akademik, mematikan budaya, habitus akademik, dan kesejarahan yang menghidupi para ilmuwan. Jika ilmuwan sudah dikooptasi birokrasi, bangsa kita akan tetap ketinggalan di bidang sains dan teknologi, medioker, dan hanya menjadi pasar berbagai produk sains dan teknologi bangsa lain.

Para pemimpin hari ini lupa bahwa para pendiri bangsa pada 1947 sudah menyerukan pentingnya peranan sains dan institusi ilmiah sebagai penghela kemajuan bangsa. Mereka menegaskan universitas harus memiliki otonomi, tidak menjadi jawatan di bawah pemerintahan, supaya bisa melaju cepat.

Lembaga penelitian seperti halnya universitas adalah rumah produksi ilmu pengetahuan, yang secara kodrati membutuhkan otonomi agar para ilmuwan bisa bekerja.

Menghidupi ilmu
Di tengah masyarakat yang umumnya tidak berbudaya membaca, literasi rendah, dan mengonsumsi informasi oral dan takhayul tanpa konfirmasi, tidak banyak orang mau menjadi peneliti.

Sebabnya, tak mudah melakoni hidup dengan mendedikasikan diri pada ilmu pengetahuan dan bersedia dibayar sangat murah karena rendahnya penghargaan pemerintah. Mereka adalah orang yang ”kasmaran” ilmu pengetahuan, memelihara ”legacy” para profesor pendahulunya, merawat kesejarahan dan budaya akademik tempat bernaung.

Siang malam membaca literatur, bekerja di laboratorium atau lapangan, menulis, berjuang sangat keras agar tulisannya terbit di jurnal bereputasi internasional. Mereka mencari kebenaran yang padahal terus berubah setiap saat karena kecepatan temuan baru yang dihasilkan masyarakat ilmiah. Mereka tidak mencari pangkat dan jabatan karena seharusnya pangkat dan jabatan datang dengan sendirinya sesuai prestasi kerja.

Sejarah ilmu pengetahuan seharusnya dipelihara sebagai prasasti peringatan untuk diteruskan generasi muda. Lembaga Eijkman adalah salah satu prasasti ilmu pengetahuan. Christian Eijkman (1858-1930) adalah peraih Nobel pertama bagi Indonesia tahun 1929, sekaligus terakhir!

Sebenarnya penelitian tentang penyakit beri-beri dan hubungannya dengan vitamin B1 dilakukan bersama Gerrit Grijns (1865-1944). Setelah anugerah Nobel itu, Indonesia menjadi sangat terkenal di dunia terkait vitamin B.

Sebelumnya Eijkman adalah direktur pertama Laboratorium Patologi Anatomi dan Bakteriologi di Batavia tahun 1886, cikal bakal Laboratorium Pusat Kedokteran, yang kemudian menjadi Lembaga Eijkman. Lembaga ini mengalami kemunduran di bawah pendudukan Jepang, dan ditutup tahun 1960, dan baru dihidupkan kembali oleh Menristek BJ Habibie tahun 1992.

Sesudahnya, Lembaga Eijkman sangat produktif dan tata kelolanya yang mandiri sampai dianggap sebagai rujukan ideal oleh banyak profesor universitas. Seharusnya universitas berstatus otonomi dikelola secara mandiri seperti Lembaga Eijkman itu.

Mestinya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) sebagai lembaga penelitian besar juga memiliki filosofi, kesejarahan, dan budaya akademik yang khas, dan tidak bisa diseragamkan. Para peneliti generasi berikutnya berupaya keras mengembangkan keilmuan dengan kebanggaan di bawah panji-panji lembaganya.

Namun, tampaknya eksistensi lembaga penelitian itu harus berakhir. Kini mereka bekerja di bawah komando terpusat pemerintah, yang bernuansa politik. Para peneliti menjadi birokrat, yang capaian prestasi kerjanya akan lebih diukur secara administratif, bukan substansi ilmiah. Padahal, menjadikan lembaga ilmiah sebagai jawatan pemerintah sungguh bertentangan dengan khitah dan prinsip ilmu pengetahuan.

Lembaga ilmiah tidak bisa disamakan dengan lembaga apa pun, politik ataupun bisnis, karena fungsinya sangat khusus, yaitu memproduksi ilmu pengetahuan demi kepentingan umat manusia di muka Bumi.

Belenggu administratif
Dari sisi manajemen organisasi mungkin terdapat inefisiensi, inefektivitas karena terlalu banyak pegawai yang tidak produktif, atau kurang menghasilkan temuan yang spektakuler. Namun, apakah disadari bahwa keadaan itu juga karena kesalahan kebijakan yang kronis?

Pemerintah tidak pernah memandang lembaga penelitian sebagai lembaga otonom yang bebas mengatur dirinya sendiri. Intervensi administratif pemerintah terlalu besar, dalam bentuk penyeragaman birokrasi layaknya kementerian atau lembaga pemerintah.

Lihatlah, misalnya, para peneliti LIPI bidang ilmu sosial. Mereka hanya boleh melakukan penelitian lapangan lima hari. Data apa yang didapat peneliti ilmu sosial dalam penelitian yang hit and run itu?

Dalam bidang sains, penelitian dibatasi apa yang boleh dan tidak boleh didanai. Padahal, satu temuan dalam sains akan menuntun kepada penelitian berikutnya yang tak akan pernah putus.

Dalam cengkeraman birokrasi seperti ini, Indonesia sukar memiliki riset dasar, tulang punggung berbagai penelitian terapan yang bisa menghasilkan produk sains dan teknologi. Lembaga ilmiah kita hampir tidak pernah menghasilkan temuan yang spektakuler, dan amat jauh dari nominasi penghargaan dunia yang kredibel seperti Nobel, sungguhpun Indonesia berkelimpahan ilmuwan dan peneliti pintar.

Kondisi yang ironis karena di era digital dan sains ini seharusnya tidak ada satu pun kebijakan diambil tanpa kajian saintifik. Pemerintah di banyak negara maju sangat mendukung kebutuhan para ilmuwan untuk melakukan penelitian apa pun di berbagai bidang ilmu, bahkan dengan dukungan finansial tanpa batas.

Industri berskala dunia memiliki lembaga riset yang tangguh dan bekerja sama erat dengan universitas. Maka, begitu ada masalah besar, seperti pandemi Covid-19, para ilmuwan di lembaga penelitian dan universitas sudah siap menyediakan vaksin dan berbagai perangkat kesehatan lain. Apakah bangsa kita cukup rendah hati bersedia belajar kepada bangsa lain, yang menghargai para peneliti dan ilmuwan?

Implikasi
Sebenarnya kebijakan keliru mengelola lembaga ilmiah bukan hanya terjadi pada lembaga penelitian, tetapi juga universitas. Sudah lama universitas terkooptasi rezim birokrasi dan regulasi berlebihan. Bahkan universitas yang berstatus perguruan tinggi negeri berbadan hukum sudah kehilangan kebebasan akademik, yang padahal dibutuhkan para ilmuwannya.

Sementara tuntutan amat fantastis sebagai warga ”world class university”, ”entrepreneur university” dibebankan kepada para dosen secara tidak masuk akal. Diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia adalah contoh nyata.

Setidaknya pemerintah melakukan pembiaran terhadap hilangnya demokrasi dalam tata kelola dan potensi masuknya kepentingan politik ke dalam universitas. Statuta adalah konstitusi, acuan hukum tertinggi universitas. Jika statuta cacat, setiap kebijakan turunannya di kampus akan rentan terhadap keguncangan.

Apa dampak kebijakan yang keliru terhadap masyarakat ilmiah? Umumnya mereka menjadi bagian silent majority. Meskipun kebijakan melebur berbagai lembaga penelitian menimbulkan reaksi, letupan keras tidak akan terjadi.

Namun, kerusakan laten akibat tercerabutnya kebebasan akademik, ruh para ilmuwan, dan matinya budaya ilmiah akan terus menjalar. Masyarakat ilmiah akan menyusut dengan semakin hilangnya budaya mencintai ilmu dan pencarian kebenaran. Ini tanda kemunduran bagi suatu bangsa.

Akibat lanjutannya adalah masyarakat luas akan kehilangan kesempatan emas menikmati produk sains dan teknologi maju bangsa sendiri. Cara bernalar sehat akan mundur, digantikan kesukaan pada debat kusir berbasis berita palsu dan takhayul.

Lembaga ilmiah akan semakin kehilangan peneliti muda bergairah keilmuan, kecuali pengangguran sekadar pencari kerja, atau bahkan mereka yang akan berpolitik menggunakan lembaga ilmiah sebagai panggung. Cita-cita para pendiri bangsa agar bangsa Indonesia kembali merebut kejayaan Sriwijaya sebagai pusat ilmu mancanegara sudah menjadi mimpi yang patah.

Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum, FHUI

Editor: SRI HARTATI SAMHADI

Sumber: Kompas, 7 Januari 2022

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB