Sebenarnya BRIN hendak dibawa ke mana? Semestinya BRIN bukan hanya berkutat dengan masalah administrasi, teknis, komersialisasi aset, peleburan, dan pecat-memecat yang membuat dunia riset dan inovasi resah.
Awal Januari 2022, dunia riset dikagetkan dengan adanya berita seratusan saintis Lembaga Biologi dan Molekuler Eijkman yang dipecat tanpa pesangon. Berita yang sama juga terjadi pada puluhan anak buah kapal Kapal Riset Baruna Jaya yang langsung diperintahkan meninggalkan kapal per 1 Januari 2022 tanpa pesangon.
Kekagetan ini tentu bukan karena sebatas pecat-memecat saja, yang memang bukan hal baru dan tabu. Kekagetan itu juga karena para pegawai atau karyawan yang dipecat itu tidak diberi pesangon. Penyebabnya, diungkapkan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko pada apel pagi BRIN, 3 Januari 2022, ”mereka pegawai non-PNS atau non-ASN sehingga tidak berhak menerima pesangon”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bukan hanya Eijkman
Kasus seperti ini sebelumnya juga terjadi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan mungkin juga di lembaga penelitian lain, sebagai buntut dari peleburan empat lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), yakni Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Batan, LIPI, dan BPPT.
Detail jumlah yang sudah diberhentikan belum dapat dipastikan, tetapi menurut sumber yang dapat dipercaya lebih dari 1.500 orang. Mereka umumnya pegawai honorer atau pegawai non-PNS pendukung, baik langsung maupun tidak langsung, kegiatan riset dan inovasi di empat LPNK, seperti petugas keamanan, tukang kebun, petugas kebersihan (cleaning service), pegawai administrasi, anak buah kapal, analis kebijakan, staf laboratorium, dan pegawai sejenis lainnya.
Mereka yang diberhentikan ini memiliki kontribusi tersendiri dalam kegiatan riset dan inovasi di tiap LPNK. Sementara peneliti, perekayasa, dan sejenisnya aman karena umumnya pegawai aparatur sipil negara (ASN), kecuali ilmuwan, peneliti, atau dan laboran non-ASN di Lembaga Eijkman.
Pemberhentian pegawai non-ASN ini telah menimbulkan berbagai ketidaknyamanan kerja peneliti dan perekayasa dan staf pendukung ASN. Belajar dari pengalaman di LIPI, pengurusan terkait administrasi jadi lambat sebagai akibat didesentralisasikannya atau disedotnya tenaga administrasi pada tiap pusat penelitian di bawah sekretariat utama LIPI.
Efek yang tak diperhitungkan mungkin adalah terpecahnya peneliti dan nonpeneliti ke dalam empat kubu, yaitu kelompok pro-reorganisasi/peleburan, kelompok ”penentang reorganisasi dengan cara pecat-memecat dan komersialisasi aset”, kelompok oportunis, dan kelompok yang tak mau tahu.
Solidaritas ASN BRIN kepada kolega ilmuwan dan peneliti Lembaga Eijkman bermunculan. Begitu pula bentuk keprihatinan yang disebarkan pada Instagram, Telegram, Twitter, dan grup WA berlabel #save_karyawan Eijkman dan Barunajaya.
Solidaritas antara lain diwujudkan lewat inisiatif beberapa lembaga untuk bergotong royong memberikan pesangon dan bahkan membantu para pegawai non-PNS yang diberhentikan dengan cara tetap mempekerjakannya.
Pengurangan pegawai atau karyawan untuk tujuan efisiensi suatu organisasi memang lazim dilakukan. Namun, memecat pegawai bukan satu-satunya cara. Efisiensi juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan faktor produksi (dalam hal ini pegawai) dalam organisasi menjadi lebih produktif.
Memang benar, sudah banyak hal yang dilakukan oleh BRIN sejak Peraturan Presiden No 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) diundangkan. Selain mewajibkan ASN BRIN mengisi absen di website yang telah terintegrasi dan apel pagi pada hari tiap hari Senin, berbagai reorganisasi melalui peleburan telah dilakukan, baik untuk empat LPNK (BPPT, Batan, LIPI, dan Lapan) maupun lembaga pemerintah kementerian (LPK).
Demikian pula pembentukan struktur organisasi, baik kedeputian, organisasi riset, Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA), maupun perangkat di bawahnya, termasuk penunjukan pejabat pelaksana harian dan pejabat pelaksana tugas, pembentukan rumah program riset, pengangkatan calon PNS, maupun memampangkan logo BRIN di kantor-kantor yang telah dilebur ke dalam BRIN.
Visi dan strategi BRIN
Namun, anehnya, di tengah apresiasi tinggi vis a vis berbagai kritik dan saran berbagai pihak atas kerja yang dilakukan BRIN selama ini, strategi dan taktik BRIN dalam program riset dan inovasi nasional, yang semestinya dirumuskan dan dipromosikan kepada publik, justru tidak pernah terdengar.
Padahal, perintah Presiden Jokowi dalam Peraturan Presiden No 78 Tahun 2021 tentang BRIN, khususnya Bab 3 Pasal 4 Ayat b dan c, seharusnya menjadi kunci atau substansi fungsi tugas utama dari dibentuknya BRIN.
Pertanyaan Presiden Jokowi terkait dominasi ekosistem riset oleh lembaga pemerintah yang tidak menghasilkan produk yang kompetitif di tingkat global selama ini mestinya harus bisa dijawab dan diterjemahkan dalam program kebijakan yang detail oleh BRIN.
Begitu pula dengan pertanyaan tentang bagaimana penggunaan anggaran puluhan triliun rupiah yang digelontorkan ke BRIN, dikaitkan dengan temuan apa yang akan BRIN banggakan di taraf global. Semua ini perlu diketahui dunia riset dan para pemangku kepentingan lainnya.
Juga, bagaimana BRIN menghasilkan riset dan inovasi untuk menjawab komplain masyarakat terhadap riset dan inovasi yang disebut-sebut tidak bisa berkompetisi.
Pula, apa dan bagaimana kebaruan dalam ekosistem riset dan inovasi yang akan dirumuskan dan dicapai BRIN agar memberikan manfaat ekonomi yang besar, yang juga perlu dijelaskan kepada publik. Demikian pula dengan strategi dan taktik BRIN dalam meningkatkan kualitas periset dan perekayasa yang dianggap rendah, dan sebagainya.
Jika pertanyaan-pertanyaan di atas tidak dijelaskan jawabannya oleh BRIN, lantas mau dibawa ke mana BRIN ini? Apakah kehadiran BRIN hanya sebatas reinventing the wheel yang bersifat coba-coba? Ataukan kehadiran BRIN ini hanya untuk memuaskan pikiran sepihak saja? Bukankah BRIN punya kewajiban mempertanggungjawabkan uang rakyat yang dipakai?
Jawaban BRIN atas pertanyaan substantif dan kunci terkait apa dan bagaimana strategi dan taktik BRIN dalam program riset dan inovasi nasional secara visioner dan terukur semestinya diungkapkan BRIN. Dengan demikian, BRIN bukan hanya berkutat dengan masalah administrasi, teknis, komersialisasi aset, peleburan, dan pecat-memecat yang membuat dunia riset dan inovasi resah.
Semua ini penting untuk meyakinkan publik bagaimana strategisnya kehadiran BRIN dan sekaligus untuk meredam pikiran-pikiran yang berseberangan dengan dibentuknya BRIN. Saya yakin Presiden Jokowi dan 10 anggota Dewan Pengarah BRIN, dan kita semua, ingin hal ini dijelaskan dan diyakinkan BRIN kepada dunia riset dan inovasi nasional. Jika tidak, BRIN hanya akan menjadi sebuah badan riset dan inovasi kosong tanpa brain.
Carunia Mulya Fidausy, Pusat Riset Ekonomi BRIN
Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Sumber: Kompas, 7 Januari 2022