Ribuan gerbong telah dihasilkan, meski baru bodi dan tempat duduknya hasil buatan kita. Tapi mahal.
Mungkin sebagian anda pernah melihat— dan naik—gerbong-gerbong penumpang baru ini, dalam beberapa formasi kereta api kita yang berkecepatan sedang-jarak pendek, sejak awal tahun 1986. Warnanya hijau, dengan garis kuning sepanjang badannya. Gerbong yang dapat mengangkut 60 penumpang ini—yang duduk dalam 12 baris, masing-masing lima orang—dimaksudkan untuk para penumpang kelas tiga. Ia, untuk jarak jauh, mungkin terasa kurang menyenangkan. Namun untuk jarak pendek, memadailah, terutama bagi anda-anda kelas rakyat yang —apa boleh buat—berkocek pas-pasan.
Yang mungkin tak banyak diketahui anda-anda: gerbong-gerbong itu adalah produk hasil bangsa sendiri. Dan memang, sejak tahun 1983 sampai kini, sudah sekitar 120 gerbong semacam dipakai PJKA, satu-satunya konsumen PT. INKA, produsen gerbong tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
PT. INKA (Industri Kereta Api)? Hmm. Kalau anda belum mengenal kata itu, ketinggalan zaman. Tapi tak salah. Karena asal mula sejarah pendirian PT. INKA memang panjang dan berbelit. Teknologi perkeretaapian, sebenarnya, termasuk yang paling tua di Indonesia; pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 1880 oleh pemerintah kolonial Belanda, di Jawa Tengah. Sepanjang zaman kekuasaan Belanda, boleh jadi, tak ada jenis teknologi lain yang mampu menyaingi bengkel-bengkel perkeretaapian yang tersebar di Jakarta, Yogya, serta Madiun. Dan jauh sampai pemulihan kedaulatan, belum ada kegiatan teknologi lain yang menyamai seperti tampak di bengkel-bengkel SS (Staats Spoorwagen atau Keretaapi Negara) Belanda yang lain, pemeliharaan semua gelinding seperti gerbong dan lokomotif.
Pabrik industri pesawat terbang baru didirikan awal tahun 1970an. Namun, pesawat-pesawat NC-212 buatan IPTN Bandung itu, sudah tahun terlihat memelihara hubungan pelabuhan udara Perintis. Demikian pula produk PT. Krakatau Steel, cukup lama sudah memasuki pasaran kita. Namun gerbong kereta api? Sampai awal 1980-an pun masih harus diimpor. Padahal, jenis tranportasi ini ‘kan salah satu jenis transportasi yang paling perlu dan murah untuk sebagian besar rakyat kita. Kenapa memble?
Sejak 1977, sebenarnya, PJKA sudah secara mendalam mempelajari kemungkinan mendirikan sebuah industri perkeretaapian, yang bukan cuma untuk menggarap perbaikan gerbong dan lokomotif, namun berupaya pula membuat produk-produk sendiri. Apakah itu berdasarkan lisensi atau, kelak, hasil disain sendiri.
Karena melibatkan kegiatan industri, maka badan-badan lain yang berkaitan —terutama Departemen Perindustrian dan BPP Teknologi— tentu ikut pula mematangkan gagasan mendirikan industri keretaapi ini, yang kelak dikenal dengan nama PT. INKA. Sebuah panitia terbentuk awal tahun 1980, yang selain terdiri dari wakil-wakil Departemen Perhubungan, Departemen Perindustrian dan BPPT, juga wakil-wakil dari Departemen Keuangan, Sekretaris Kabinet serta Menteri Penerangan.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan serta Menteri Riset dan Teknologi telah meninjau Balai Yasa PJKA di Madiun, yang lalu terpilih untuk menjadi pusat kegiatan industri keretaapi kita. Bukan berarti tak ada alternatif lain, pada awal pemilihan. Ada, antara lain, bengkel keretaapi di Manggarai, Jakarta. Tapi pilihan jatuh pada Madiun bukan karena fasilitas perbengkelannya yang aslinya hanya menangani perbaikan lok-lok uap, tapi terutama karena lokasinya yang membuka peluang untuk perluasan. Ditambah lebih mudah mendapatkan tenaga-tenaga terlatih. karena Madiun sejak zaman kolonial memang merupakan sumber pekerja-pekerja trampil teknik perkeretaapian.
Maka terbentuklah PT. INKA, bulan Juli 1981, dua tahun setelah kunjungan Menteri Perhubungan serta Menteri Riset dan Teknologi. Keterlibatan PJKA, tentu saja, adalah yang paling besar. Jumlah karawannya, sampai saat ini, 828 orang. Kebanyakan bekas pegawai Balai Yasa yang lama—rencananya akan ditingkatkan menjadi 2000 karyawan sejalan dengan peningkatan fasilitas mesin, gedung dan luas arealnya. Direktur utamanya dari PJKA. didampingi seorang direktur teknik dari BPPT. dan seorang direktur umum dar: Departemen Perindustrian.
Untuk memulai produksi, meski sifatnya cuma merakit berdasarkan lisensi, tak mudah. Kondisi awal terbentuknya PT. INKA belum memungkinkan. Fasilitas dasar meliputi areal sebesar 20,72 hektar, luas bangunan 5,26 hektar. Mesin dan alat-alat sudah tua-tua, yang terutama terdiri dari mesin bubut: jumlah unitnya sekitar 580 buah. Daya listrik tahun 1980 1000 KVA. Maka langkah mula terpusat pada penggunan dan pengalihan segala fasilitas serta aset yang ada di Balai Yasa PJKA Madiun, yang didirikan tahun 1884 dan yang melulu menangani perbaikan lok-lok uap itu. Aset lain gudang PJKA Madiun. Aset-aset inilah yang merupakan fasilitas awal untuk kegiatan PT. INKA.
Dengan modal begitu PT INKA tabah mencanangkan misinya: ikut menyumbang untuk mengubah struktur ekonomi Indonesia, yaitu agar produksi di luar bidang pertanian bisa meraih porsi yang makin besar; industri menjadi tulang punggung ekonomi. Tugasnya, terutama menyelenggarakan perawatan besar (overhaul) bahan-bahan perkeretaapian. Selain terjun dalam dagang –jual-beli, baik secara lokal maupun impor dan ekspor —bahan-bahan baku, bahan bantu. suku cadang serta komponen-komponen keretaapi, dan melayani jasa konsultasi. PT. INKA, dicanangkan lagi, merupakan sarana alih teknologi dengan tujuan agar tidak terlalu bergantung pada impor produk luar negeri.
Alih teknologi dilakukan secara bertahap. Mula-mula atas dasar Iisensi, lalu baru beralih ke disain sendiri. Saat ini. gerbong-gerbong—baik yang untuk barang maupun penumpang—diproduksi berdasarkan lisensi dari konsorsium Jepang. Sumitomo dan Nippon Sharyo.
Rehabilitasi fasilitas memerlukan waktu. Maka baru bulan Agustus tahap ke dua bisa dimulai, yaitu produksi gerbong barang untuk pengangkutan batu bara dan pupuk di Sumatera Akhir 1983, sudah tersedia berbagai lebih lengkap, sehingga kegiatan menginjak pada produksi gerbong penumpang. Dan sampai November 1986 lalu, telah disalurkan tepat 126 gerbong penumpang kepada PJKA; gerbong barang, sejak tahun 1981, telah diproduksi 1300 gerbong.
Seluruh gerbong-gerbong ini utuh buatan kita? Belum. Rangka dasar serta roda-rodanya masih diimpor dari Jepang. Yang buatan kita baru bodinya, terutama dinding-dindingnya, dengan baja yang sudah disuplai PT. Krakatau Steel. Demikian pula tempat duduk gerbong penumpang: 100 persen hasil tenaga kerja, dari Ponorogo.
Dalam tahap kini, produksi PT. INKA bersifat SKD (semi knocked down). Ada kalanya juga CKD (completely knocked down), di mana komponennya diimpor dari Jepang, dirakit di Madiun. Tapi akhir tahun 1980-an, dicanangkan, sudah akan mencapai tahap produksi utuh (complete manufacturing), di mana seluruh komponennya adalah buatan domestik. Akhir tahun 1980-an inipun PT. INKA merencanakan produksi KRD (kereta rel diesel) dan KRL (kereta rel listrik).
Program produksi PT. INKA meliputi tiga tahap. Tahap pertama, 1982 sampai 1983, melulu memroduksi gerbong-gerbong barang sebanyak 300 buah setahun. Tahap ke dua, 1984 sampai 1988, memroduksi 600 gerbong barang dan 50 gerbong penumpang per tahun. Tahap ke tiga, 1989 sampai 1994, memroduksi 600 gerbong barang dan 60 gerbong penumpang per tahun; tahap ini juga diharapkan sudah bisa memroduksi KRL dan KRD sebanyak lima sampai 10 rangkai per tahun.
Memroduksi KRL dan KRD, jangan salah duga, tidak termasuk lokomotif. Bahkan sampai menjelang tahun 2000 pun belum. Kenapa tidak membuat lokomotif sendiri? “Biar kita memantapkan dulu teknologi membuat gerbong serta KRL dan KRD.” kilah PT. INKA.
Di bengkel PT. INKA itu terlihat beberapa gerbong yang kelihatannya bagai besi tua. Lubang banyak menghiasi dinding-dindingnya, lantainya hancur karena karat. Namun roda-rodanya, dan rangka dasarnya, tetap utuh. Inilah ger-bong yang kondisinya tergolong mid-life (setengah umur), tapi masih bisa dipakai kalau diperbaiki. Umur gerbong-gerbong ini, yang diimpor dari Prancis, sekitar 15 tahun. Ada pula gerbong yang rusak total, yang tinggal rangka dasarnya. Kondisi semacam ini tergolong retrofit, yang biaya perbaikannya jauh lebih tinggi ketimbang mid-life.
Nah. Sekarang, salah satu paling menarik yang mengait sebuah produk—apapun dia—adalah prospek pemasarannya. Bagaimana pemasarannya? Produk-produk PT. INKA memang terutama untuk keperluan domestik. Bukan berarti tak pernah diusahakan diekspor. Pernah, seperti misalnya satu penawaran ke Muang Thai beberapa waktu lalu, yang sayangnya kalah bersaing dengan produk dari Korea Selatan. Kenapa kalah? Entahlah. Yang jelas, “harga satu gerbong penumpang produksi kami sekitar Rp. 400 juta,” kata seorang direktur PT. INKA. Mahal, memang, dibandingkan produk-produk impor semacam, yang selain lebih murah konon juga berkualitas lebih baik. Tapi apa boleh buat. Sasaran utamanya ‘kan untuk dibeli—dan untuk keperluan— anda-anda. Mahal dan mutu soal lain.
Dan, betapapun juga, PT. INKA dianggap merupakan satu di antara tujuh industri besar yang digolongkan sebagai industri strategis. Yang lain adalah pabrik pesawat terbang IPTN, pabrik industri kapal PT. PAL, pabrik baja PT. Krakatau Steel, Lembaga Elektronika Nasional, PT. INTI (ke dua terakhir ini bergerak di bidang telekomunikasi dan elektroteknika), serta pabrik senjata dan mesiu PINDAD (Perindustrian Angkatan Darat). Ekonomis? Efisien? Itu soal lain. Yang penting ‘kan bikin, begitu?
Oleh S. Budiman
Sumber: Majalah AKU TAHU/Januari 1987