Waspadai Racun di Sekitar Kita

- Editor

Rabu, 28 Agustus 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pemulung memilah sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (2/7/2020). Sampah di TPST Bantar Gebang diperkirakan bakal melebihi kapasitas tiga tahun lagi. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat, ada 7.700 ton sampah per hari yang masuk ke TPST Bantar Gebang di Kota Bekasi. Komposisi rata-rata plastik di dalamnya adalah 34 persen dengan dominasi kantong keresek. Sumber terbesar kantong keresek adalah pusat perbelanjaan modern, pasar tradisional, dan swalayan, seperti minimarket. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi melarang penyediaan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan, pasar, dan toko swalayan sejak Rabu (1/7/2020). 

Kompas/AGUS SUSANTO 
2-7-2020

Pemulung memilah sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (2/7/2020). Sampah di TPST Bantar Gebang diperkirakan bakal melebihi kapasitas tiga tahun lagi. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat, ada 7.700 ton sampah per hari yang masuk ke TPST Bantar Gebang di Kota Bekasi. Komposisi rata-rata plastik di dalamnya adalah 34 persen dengan dominasi kantong keresek. Sumber terbesar kantong keresek adalah pusat perbelanjaan modern, pasar tradisional, dan swalayan, seperti minimarket. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi melarang penyediaan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan, pasar, dan toko swalayan sejak Rabu (1/7/2020). Kompas/AGUS SUSANTO 2-7-2020

Tak hanya polusi udara atau zat-zat hirupan yang berbahaya bagi kesehatan. Diam-diam, peralatan masak, karpet tahan air, kosmetik, dan produk perawatan sehari-hari bisa mengganggu sistem tubuh.

Selama ini kita banyak mengkhawatirkan polusi udara yang dalam jangka panjang bisa menyebabkan terganggunya sistem imun dan timbulnya respons inflamasi berlebihan terhadap patogen (mikroorganisme penyebab penyakit) umum. Akan tetapi, tanpa disadari, banyak zat pencemar di sekitar kita, yang dipakai sehari-hari, juga mengganggu sistem imun.

Dalam 10 tahun terakhir, menurut kajian Karolina Nowak, Ewa Jablo?ska, dan Wioletta Ratajczak-Wrona dari Departemen Immunologi Universitas Kedokteran Bialystok, Polandia, di jurnal Environment International, 8 Februari 2019, para peneliti meningkatkan perhatian terhadap efek zat-zat pengganggu hormon endokrin (EDC) pada kesehatan manusia, termasuk dampaknya terhadap sistem kekebalan tubuh.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sejauh ini telah dibuktikan bahwa zat-zat, seperti bisfenol, fenol, ftalat, triklosan, propanil, tetrakhlorodibenzo-p-dioksin, dietilstilbestrol, tributiltin, dan paraben, bisa memengaruhi perkembangan, fungsi, dan umur sel imun (misalnya monosit, neutrofil, sel mast, eosinofil, limfosit, dan sel dendritik).

Masalahnya, demikian Philippe Grandjean dari Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Harvard, Boston, Amerika Serikat (AS), dan Universitas Southern Denmark, Odense, Denmark, di jurnal Environmental Health, 31 Juli 2018, zat-zat tersebut telah digunakan lebih dari 60 tahun. Walaupun mulai dihentikan produksi dan penggunaannya di negara-negara maju, zat-zat kimia itu telah terakumulasi di lingkungan global dan sulit terurai.

Grandjean menyoroti perfluoroalkil dan polifluoroalkil (PFAS) yang dapat mengganggu sistem imun. Penelitian awal tentang paparan PFAS di lingkungan dan dampaknya terhadap kesehatan baru dibuka tahun 2000. Hal itu dinilai terlambat. Seharusnya toksisitas zat-zat itu diperhitungkan dalam keputusan peraturan awal tentang pengurangan paparan.

Ke depan, demikian Grandjean, identifikasi dan karakterisasi bahaya lingkungan yang berdampak pada kesehatan manusia harus mengandalkan ilmu pengetahuan terbaik untuk menginformasikan dan menginspirasi intervensi kesehatan masyarakat yang tepat. Bahan pengganti PFAS dan bahan kimia industri lain harus diperiksa terlebih dahulu sebelum digunakan secara luas.

Bagi kita di negara berkembang, temuan toksisitas dari zat-zat yang terkandung dalam berbagai peralatan, kosmetik, dan produk perawatan sehari-hari ini perlu mendapat perhatian agar tidak berlarut-larut terpapar dan terkena dampak buruk.

Antiair dan api
PFAS adalah sekelompok bahan kimia sintetis yang mencakup perfluorooktan sulfonat (PFOS) dan asam perfluorooktanoat (PFOA). PFAS pernah dianggap bermanfaat karena kemampuannya sebagai pelapis antiapi, air, minyak, dan noda. Karena itu, PFAS digunakan untuk menghasilkan berbagai produk, termasuk kain atau karpet tahan noda dan air, peralatan masak anti lengket (teflon), bahan kemasan, pelitur, lilin, cat, produk pembersih, dan busa pemadam kebakaran.

Belakangan diketahui zat itu berdampak buruk bagi kesehatan. Menurut Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA), dampak PFAS pada kesehatan meliputi keterlambatan perkembangan pada anak, masalah kesehatan reproduksi, masalah neuroendokrin yang mempengaruhi ginjal dan hati, kanker, ketidakseimbangan tiroid, dan masalah kardiovaskular.

Selain lewat peralatan rumah tangga, paparan PFAS bisa melalui makanan yang dikemas dalam bahan yang mengandung PFAS, diproses dengan peralatan yang menggunakan PFAS, atau tumbuh di air atau tanah yang terkontaminasi. Banyak perusahaan mulai menghentikan produksi PFAS secara bertahap tahun 2000. Namun, residu bahan kimia tersebut telanjur bertahan di lingkungan dan mencemari udara, tanah, serta air.

Leonardo Trasande, Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak, dan Akhgar Ghassabian, ahli epidemiologi dari Fakultas Kedokteran Universitas New York, AS, menulis di Guardian, 29 April 2020, PFAS ditemukan di persediaan air minum AS dalam jumlah besar. Dari penelitian, zat itu meningkatkan kematian tikus yang terpapar influenza.

Di tingkat masyarakat, anak-anak yang terpapar PFAS saat dalam kandungan memiliki respons imun lebih buruk terhadap vaksin dan respons antibodi lebih lemah. Penelitian di Norwegia, Swedia, dan Jepang menunjukkan masalah lebih besar pada anak-anak, yakni terkait berbagai infeksi, mulai dari pilek, sakit perut, hingga infeksi telinga.

Bisfenol A (BPA) dalam kertas dan lapisan plastik di kaleng aluminium pada penelitian di laboratorium terbukti meningkatkan pelepasan salah satu molekul pada sistem kekebalan tubuh, yakni interleukin-6 (IL-6). Molekul ini memicu badai sitokin pada penderita Covid-19. Adapun ftalat yang digunakan dalam kosmetik, produk perawatan pribadi, bahan perekat, pelumas, membuat plastik kemasan lebih fleksibel dan tahan lama, serta sejumlah bahan kimia lain juga bisa mengubah kadar sitokin.

Menurut pernyataan kebijakan dari Perhimpunan Dokter Anak Amerika (AAP) pada 2018 tentang risiko bahan tambahan makanan dan bahan kimia kontak terhadap bayi dan anak, pemanfaatan bahan kimia berbahaya semakin memprihatinkan. Hasil penelitian menunjukkan, BPA dalam konsentrasi rendah bisa memicu konversi sel menjadi adiposit (liposit dan sel lemak yang menyusun jaringan adiposa, tempat energi disimpan dalam bentuk lemak), mengganggu fungsi sel beta pankreas, dan mempengaruhi transportasi glukosa dalam adiposit.

Ftalat dimetabolisme menjadi zat-zat kimia yang memengaruhi ekspresi pengatur utama metabolisme lipid dan karbohidrat, dan menimbulkan resistensi insulin (bagian dari sistem endokrin) pada penelitian di laboratorium. ”Sejumlah penelitian menunjukkan efek metabolik pada manusia. Ftalat menghambat androgen (hormon laki-laki) dan dapat mempengaruhi perkembangan reproduksi janin,” demikian AAP.

Pengganti BPA dalam produk yang dipasarkan sebagai ”bebas BPA”, yakni BPS (bisfenol S) dan BPF (bisfenol F), diperkirakan memiliki efek serupa dengan BPA. Hasil penelitian Universitas Texas dan Washington State University mendapatkan, dengan dosis satu bagian per triliun, BPS dapat mengganggu fungsi sel.

Sebuah penelitian tahun 2019 dari Universitas New York mengaitkan obesitas pada anak-anak dengan BPS dan BPF. Penelitian tahun 2011 yang diterbitkan di Environmental Health Perspectives melaporkan, pengujian produk plastik yang tersedia secara komersial berlabel bebas BPA mendapatkan, hampir semua menguraikan zat kimia yang memengaruhi konsentrasi hormon estrogen dalam darah sehingga berisiko mengganggu kesuburan.

Nowak, Jablo?ska, dan Ratajczak-Wrona menyatakan, paparan EDC menekan proses inflamasi sehingga menyebabkan respons imun yang tidak memadai terhadap bakteri, jamur, virus, dan sel kanker. Sistem kekebalan anak yang belum matang rentan terhadap EDC. Studi epidemiologi menunjukkan, gangguan pada perkembangan dan keseimbangan pada sitokin dapat menjadi penyebab awal perkembangan asma dan alergi pada anak-anak.

Bagi masyarakat awam, untuk membatasi paparan zat-zat tersebut dalam kehidupan sehari-hari bisa dilakukan dengan menggunakan peralatan masak dari keramik, besi dan baja tahan karat daripada wajan atau panci antilengket, menghindari konsumsi makanan kaleng, mengurangi penggunaan plastik sebagai wadah makanan, dan mengganti dengan wadah kaca atau keramik.

Hal itu mengingat infeksi bukan hanya sesuatu yang dapat kita obati atau dicegah dengan vaksin. Infeksi baru akan muncul lebih banyak lagi di masa depan jika kita membiarkan sistem kekebalan tubuh kita terganggu.

Oleh ATIKA WALUJANI MOEDJIONO

Editor: ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Sumber: Kompas, 16 Agustus 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB