Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengembangkan alat sterilisasi masker kain dari virus maupun bakteri berbasis sinar ultraviolet. Alat ini bisa dibawa bepergian.
Penggunaan masker ganda, yakni masker medis dan masker kain sangat dianjurkan untuk mengurangi risiko paparan varian baru Covid-19. Agar bisa digunakan kembali, masker kain perlu disterilisasi secara berkala. Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia kemudian mengembangkan alat sterilisasi masker kain dari virus maupun bakteri berbasis sinar ultraviolet.
Penggunaan masker ganda diharapkan dapat menjadi kebiasaan baru masyarakat di tengah kondisi lonjakan kasus Covid-19 yang semakin tinggi. Namun, masker ganda hanya digunakan untuk kombinasi masker medis dan masker kain. Masker medis digunakan di bagian dalam, sedangkan masker kain melapisi bagian luar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), rekomendasi ini bertujuan untuk menutupi area wajah lebih ketat sehingga mengurangi transmisi sebesar 85-95 persen. Masker kain sebagai lapisan luar dapat memberikan penambahan perlindungan sekitar 50-70 persen.
Penggunaan masker ganda juga telah menjadi aturan wajib bagi penumpang kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek sejak 5 Juli 2021. Alternatifnya, memakai masker jenis N95, KN95, atau KF95. Penumpang tidak diizinkan naik KRL atau masuk area stasiun jika tidak menerapkan ketentuan penggunaan masker ini. Kebijakan tersebut diambil untuk melindungi sesama pengguna KRL dan petugas.
Berbeda dengan masker medis sekali pakai, masyarakat kerap menggunakan masker kain secara berulang. Di sisi lain, pakar medis tidak merekomendasikan pemakaian masker kain melebihi empat jam karena kontaminan virus dan bakteri terus terakumulasi. Oleh karena itu, penting untuk membersihkan dan memastikan masker kain bebas dari bakteri atau virus setelah penggunaan tersebut.
Berangkat dari kondisi tersebut, peneliti Pusat Penelitian Metalurgi dan Material Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan alat sterilisasi masker kain berbasis sinar ultraviolet C (UVC). Alat ini didesain secara portabel sehingga mudah dibawa dan dipindahkan saat bepergian.
Peneliti Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI Gadang Priyotomo mengatakan, alat ini sangat dibutuhkan untuk mensterilisasi masker kain karena tidak semua masyarakat mampu membeli masker medis sekali pakai. Desain alat yang portabel juga memudahkan masyarakat untuk mensterilisasi masker kain yang dikenakannya saat bepergian dalam waktu lama mengingat batas maksimal pemakaian masker jenis ini hanya empat jam.
”Saat ini kita kerap risih memegang benda-benda di tempat umum. Alat ini juga dapat mensterilisasi benda atau area lain secara manual dengan memindai pelan-pelan dalam jarak satu hingga dua sentimeter selama tiga menit,” ujarnya, Minggu (11/7/2021).
Mode desinfeksi pada masker terdiri dari dua waktu, yaitu singkat dan lama. Waktu singkat digunakan untuk desinfeksi masker kain di dalam wadah (pocket) alat tersebut. Sementara mode waktu lama untuk desinfeksi benda-benda di luar area pocket seperti baju, buku, tas, laptop dan alat elektronik lainnya.
Spesifikasi
Alat sterilisasi masker kain portabel ini menggunakan lampu germicidal atau pembunuh kuman sinar UVC dengan panjang gelombang 254 nanometer dan daya 3 watt. Pocket portabel alat ini dilengkapi dengan penyimpan daya (power bank) berkapasitas 10.000 miliamper jam (mAH). Pengguna juga dapat mengisi daya alat ini dengan travelling adaptor ponsel.
Sementara penutup (casing) alat ini yang berukuran 300 milimeter x 200 milimeter dibuat dengan pencetak atau printer tiga dimensi (3D). Kotak penyimpanan yang berukuran mini dan tertutup akan mempercepat proses sterilisasi yakni sekitar 2 hingga 3 menit.
”Sinar UV dalam alat ini menggunakan teknologi LED (light emitting diode), tetapi tidak mengurangi proteksi terhadap virus atau bakteri. Meski tidak sekuat lampu merkuri, LED dengan intensitas tinggi tetap dapat memancarkan radiasi dan membunuh virus dan bakteri,” kata Gadang.
Guna memperkuat dan merefleksikan sinar UV, alat ini dilengkapi dengan lapisan aluminium foil sehingga memberikan keamanan bagi pengguna saat akan memasukan masker kain ke dalam kotak. Namun, pengguna juga tetap harus berhati-hati saat menggunakan alat ini agar sinar UV yang terpancar tidak mengenai organ-organ sensitif.
Setelah mendapatkan paten, peneliti akan melakukan serangkaian uji klinik dan tes viral di laboratorium keselamatan biologi level 3 (BSL-3) untuk mengetahui seberapa besar intensitas alat ini dalam membunuh virus. Setelah itu, LIPI akan melakukan hilirisasi dengan pihak swasta atau industri sehingga bisa dengan mudah digunakan oleh masyarakat.
”Harga alat ini akan terjangkau karena saat pengembangan juga hanya mengeluarkan anggaran kurang dari Rp 20 juta. Semua komponen dibuat manual termasuk casing kecuali sinar UV yang dibeli dari pihak ketiga untuk memastikan gelombang yang dipancarkan sesuai dengan kebutuhan,” katanya.
Gadang mengakui bahwa alat serupa sudah banyak dikembangkan dan dimanfaatkan oleh peneliti ataupun pihak industri di luar negeri. Sebab, sinar UV sebagai teknologi utama dalam alat ini juga sudah dikembangkan sejak 20 tahun lalu. Namun, pengembangan teknologi tepat guna berbasis sinar UV di dalam negeri yang mudah dibawa, aman, dan terjangkau inilah yang masih perlu ditingkatkan.
Sebelumnya sejumlah referensi dan hasil penelitian telah membuktikan dioda pemancar cahaya ultraviolet (UV-LED) dengan frekuensi tertentu bisa membunuh virus korona baru, salah satunya dilakukan para peneliti dari Tel Aviv University, Israel. Studi ini telah diterbitkan di Journal of Photochemistry and Photobiology B: Biology edisi November 2020.
Melansir The Jerusalem Post, Kepala Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Mesin Tel Aviv University Hadas Mamane menyatakan, lampu UV-LED dengan panjang gelombang 285 nanometer membutuhkan waktu kurang dari setengah menit untuk menghancurkan lebih dari 99,9 persen virus korona baru. Lampu ini banyak tersedia dan mengonsumsi sedikit energi serta tidak mengandung merkuri seperti lampu UV biasa.
Meski lampu UV-LED tersebut relatif mudah didapat, Mamane menekankan bahwa menggunakan metode ini sangat berbahaya untuk mendisinfeksi permukaan di dalam rumah. Agar proses sterilisasi berjalan efektif, dibutuhkan metode dan sistem perancangan yang baik sehingga seseorang tidak terkena cahaya UV secara langsung.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 12 Juli 2021