Studi terbaru mengungkapkan, parasit malaria terbukti lebih banyak yang bersembunyi dan berkembang biak di dalam limpa manusia. Temuan tersebut mendefinisikan ulang siklus hidup malaria.
Parasit malaria terbukti lebih banyak yang bersembunyi dan berkembang biak di dalam limpa manusia dibandingkan di aliran darah. Temuan berdasarkan penelitian lapangan di Papua ini memberi perspektif baru tentang patogenesis malaria yang belum pernah diketahui sebelumnya.
Hasil penelitian ini dilaporkan di dua jurnal ilmiah New England Journal of Medicine (NEJM) dan PLOS Medicine, pekan lalu. Penelitian dipimpin Steven Kho, mahasiswa doktoral Indonesia di Menzies School of Health Research (Menzies) Australia, bersama dengan tim peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Rintis Noviyanti, Nurjati Siregar, dan Leily Trianty.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Temuan kami mendefinisikan ulang siklus hidup malaria. Malaria kronis harus dianggap terutama sebagai infeksi limpa, dan hanya sebagian kecil yang beredar di dalam darah,” kata Steven Kho, dalam keterangan tertulis, Selasa (1/6/2021).
Peneliti lain yang terlibat ialah Putu Ayu Indrashanti Wardani dari Rumah Sakit Umum Daerah di Timika, serta Enny Kenangalem dan Jeanne Rini Poespoprodjo dari Yayasan Pengembangan Kesehatan dan Masyarakat Papua (YPKMP). Turut serta dalam kajian adalah para peneliti dari Australia dan Perancis.
Selama ini parasit malaria diketahui hidup dan berkembang biak di aliran darah pasien. Namun, dari pemeriksaan pasien-pasien di Timika, Papua, yang mengalami kecelakaan dan memerlukan pengangkatan limpa (splenectomy) ditemukan bahwa parasit malaria lebih banyak ditemukan di organ manusia yang berada di rongga perut sebelah kiri atas ini,
Dalam publikasinya di jurnal PLOS Medicine edisi 26 Mei, peneliti memeriksa jaringan limpa dari 22 pasien pada periode 2015-2017. Sembilan limpa dari individu yang menjalani spleno-pancreatectomy di Perancis pada 2017-2020 juga diperiksa sebagai pembanding.
Pasien-pasien yang diperiksa di Timika umumnya tidak memperlihatkan adanya gejala malaria, tetapi 95 persen di antaranya ternyata memiliki parasit yang hidup dalam jumlah besar tersembunyi di limpa. Berdasarkan temuan ini diketahui jumlah parasit malaria di organ limpa dapat mencapai ratusan hingga ribuan kali lebih tinggi dibandingkan yang ditemukan di peredaran darah.
Akumulasi parasit di limpa terutama dari dua spesies Plasmodium utama, yaitu Plasmodium falciparum dan P. vivax. Namun, yang paling dominan ditemukan adalah P. vivax yang mencapai lebih dari 98 persen dari semua parasit yang bersembunyi di limpa.
——Bagian limpa yang terinfeksi P. vivax (pasien no 18) dan P. falciparum (pasien no 17) yang diwarnai dengan penanda makrofag CD68. Sumber: Steven Kho, dkk. (PLOS Medicine, 2021).
Nurjati Siregar, Kepala Unit Histologi dan Transmission Electron Microscopy (TEM) LBM Eijkman, mengatakan, limpa manusia mengandung sejumlah besar sel darah merah yang sangat muda, yang disebut retikulosit.
Sel darah muda ini merupakan satu-satunya jenis sel darah merah yang dapat diinfeksi P. vivax. ”Hal ini menjadikan limpa sebagai lokasi di mana parasit malaria P. vivax dapat berkembang biak dengan mudah,” tuturnya.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa sejumlah besar parasit malaria yang bersembunyi di limpa manusia secara aktif mampu berkembang biak dalam siklus hidupnya. Padahal, menurut Wardani, sebelumnya limpa dianggap sebagai organ manusia yang mampu menghancurkan parasit.
”Limpa menyaring dan menghancurkan beberapa parasit. Akan tetapi, hasil penelitian kami sekarang menunjukkan bahwa limpa juga menyediakan tempat berlindung bagi parasit yang bertahan hidup dalam jangka panjang,” ujar Wardani.
Implikasi temuan
Tim peneliti menekankan pentingnya temuan tersebut karena infeksi pada limpa yang terus-menerus memiliki implikasi klinis dan kesehatan masyarakat yang besar. Salah satu dampaknya adalah memicu anemia atau kurang darah.
Selain itu, kajian menemukan bahwa beberapa orang dengan sejumlah besar parasit yang bersembunyi di limpa ternyata di aliran darahnya tidak ditemukan adanya parasit ini. Padahal, selama ini penapisan malaria dengan mengandalkan pemeriksaan darah. ”Ini yang harus mendapat perhatian jika kita ingin melakukan program eliminasi malaria,” kata Trianty.
Sementara itu, Noviyanti yang merupakan Kepala Unit Malaria Pathogenesis LBM Eijkman menjelaskan, program eliminasi malaria yang mengandalkan tes darah secara massal hanya mengobati individu dengan infeksi yang terdeteksi. Namun, metode ini kemungkinan tidak dapat mendeteksi semua infeksi pada populasi. ”Penelitian ini masih berlanjut di Timika, Papua, untuk mengeksplorasi lebih jauh populasi parasit yang baru ditemukan di limpa ini,” ujarnya.
Noviyanti menambahkan, pemberantasan malaria membutuhkan kerja sama terintegrasi antarberbagai institusi. Riset mengenai biologi parasit malaria akan membantu menjawab berbagai pertanyaan terkait pemahaman mekanisme patogen untuk terhindar dari sistem pertahanan tubuh inang. Hal ini diharapkan membantu penemuan intervensi baru untuk penanggulangan malaria.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 1 Juni 2021