Hisab dan rukyat seperti relasi agama dan sains yang masing-masing mempunyai pendukung. Perlu ada titik temu melalui integrasi keduanya dengan menghadirkan sistem kalender yang mapan dan diterima semua pihak.
Kementerian Agama akan menyelenggarakan sidang isbat pada Selasa, 11 Mei 2021. Lewat sidang isbat tersebut, Kementerian Agama akan menetapkan kapan jatuhnya Idul Fitri 1442 Hijriah.
Selama ini yang menjadi acuan sidang isbat adalah rekapitulasi hasil hisab yang berkembang di Indonesia dan laporan rukyat dari Sabang sampai Merauke. Metode ini dianggap sebagai ”jalan tengah” untuk mengayomi pandangan keberagamaan yang berkembang di negeri ini antara pendukung hisab dan rukyat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Persoalan hisab dan rukyat merupakan isu yang selalu menarik dan aktual, khususnya ketika menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Hubungan di antara keduanya tak ubahnya seperti relasi agama dan sains mengalami pasang surut. Meminjam teori Ian Barbour dalam bukunya yang berjudul When Science meet Religion: Enemies, Strangers, or Partners (2000) membedakan empat pola hubungan sains dan agama, yaitu konflik, independen, dialog, dan integrasi. Dalam sejarah kesadaran umat Islam Indonesia, hubungan hisab dan rukyat pun pernah mengalami ketegangan dan menuju ke arah perpaduan.
Setelah metodologi berubah menjadi ideologi, perbedaan-perbedaan dan konflik mulai terjadi. Dalam konteks ini Hamka menyatakan: ”Perselisihan dan sentimen antara pendukung hisab dan rukyat berjalan lama dan menimbulkan pertikaian. Suatu ketika hilal dilaporkan berhasil dilihat di Belawan dan dilaporkan ke Qadli Kerajaan Deli, lalu dicari dalil agar menolak kesaksian tersebut. Sebab, kalau diakui, maka Lebaran akan sama dengan pengguna hisab”.
Untuk menghindari konflik yang berkepanjangan antara hisab dan rukyat adalah memisahkan dua bidang itu dalam dua kawasan yang berbeda, khususnya dalam penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Dalam konteks ini, para pendukung hisab dan rukyat mengajak agar hubungan hisab dan rukyat lebih bersifat independen serta berjalan sesuai keyakinan masing-masing, kemudian muncul istilah lakum ru’yatukum wa liya hisabiy, bagimu rukyat-mu dan bagiku hisab-ku.
Hadirnya Badan Hisab dan Rukyat merupakan salah satu upaya untuk mempertemukan kalangan hisab dan rukyat. Langkah ini ditempuh pemerintah dengan membentuk tim perumus yang terdiri dari lima orang, yaitu A Wasit Aulawi, H Zaini Ahmad Noeh, H Saadoe’ddin Djambek, Susanto, dan Santoso Nitisastro. Usaha ini kemudian ditindaklanjuti dengan Musyawarah Badan Hisab dan Rukyat serta disepakati untuk dilakukan pertemuan-pertemuan rutin agar dialog bisa ditumbuhkan dengan prinsip keadilan, kesejajaran, saling mengakui eksistensi masing-masing, dan berkesinambungan.
Dalam perkembangannya, masyarakat menyadari bahwa perlu ada titik temu di antara keduanya melalui integrasi hisab dan rukyat dengan menghadirkan sistem kalender yang mapan dan bisa diterima semua pihak dengan lapang dada. Kini, pemerintah melalui Kementerian Agama membentuk Tim Unifikasi Kalender Hijriah yang salah satu tugasnya menyusun naskah akademik. Upaya ini sangat positif dan perlu diapresiasi. Kementerian Agama diharapkan menjadi vasilitator yang mengayomi secara profesional. Semua anak bangsa bisa terlibat dan memberikan masukan agar proses penyatuan dapat segera diwujudkan.
Selanjutnya, dalam kasus penentuan awal Syawal 1442 H nanti berdasarkan data hisab dari berbagai aliran menunjukkan bahwa pada 29 Ramadhan 1442 H bertepatan Selasa, 11 Mei 2021, posisi hilal di bawah ufuk (negatif) dan belum terjadi ijtimak (konjungsi). Secara teoretik, data ini menunjukkan hilal tidak mungkin teramati. Lalu, masih relevankah sidang isbat menunggu hasil rukyat?
Kasus semacam ini bukanlah yang pertama. Pengalaman membuktikan jika posisi hilal memenuhi syarat visibilitas hilal MABIMS, maka ada laporan keberhasilan melihat hilal meski autentisitasnya masih dipertanyakan. Begitu juga jika posisi hilal di bawah ufuk, maka tidak ada laporan keberhasilan melihat hilal.
Menghadapi kasus semacam ini tentu saja Menteri Agama mengalami kesulitan. Jika sidang isbat tetap menunggu hasil observasi, akan mendapat kritik dari saintis seakan-akan Menteri Agama tidak memahami dan hanya memperhatikan salah satu kelompok. Sementara jika sidang isbat dilakukan tanpa menunggu hasil observasi kelompok pendukung rukyat akan merasa ditinggalkan. Padahal, jika ada laporan keberhasilan melihat hilal akan ditolak karena hilal masih di bawah ufuk dan belum terjadi ijtimak.
Dalam posisi dilematis ini kearifan dan kemaslahatan perlu dipertimbangkan, khususnya para pengguna rukyat untuk membuka ruang sekaligus sebagai langkah awal menuju penyatuan. Beberapa hari yang lalu salah satu media di Timur Tengah melaporkan bahwa Arab Saudi dalam menentukan awal Syawal 1442 menggunakan istikmal karena secara astronomis hilal masih di bawah ufuk. Jika berita ini benar, telah terjadi perubahan paradigma di kalangan para elite agamawan yang selama ini bersikukuh dan menunggu hasil observasi dalam menentukan awal Syawal.
Sebetulnya langkah-langkah yang dilakukan oleh Kementerian Agama dalam menyelesaikan problem hisab rukyat sudah tepat dan tidak bertentangan dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Namun, perkembangan zaman menuntut adanya perubahan mekanisme yang terukur dan terencana dalam penetapan awal Syawal 1442 H serta tahun-tahun yang akan datang agar negara tidak ”terbebani”, khususnya Menteri Agama.
Dalam konteks ini sifat kenegarawanan para elite ormas sangat diperlukan, terutama para pendukung rukyat untuk memberikan keleluasaan kepada Menteri Agama menetapkan awal Syawal 1442 merujuk pada pengalaman dan masukan para saintis dengan memperhatikan aspek syar’i dan sains. Ibadah puasa dan Idul Fitri tidak semata-mata persoalan ritual, tetapi melibatkan persoalan penyediaan pangan, transportasi, dan sebagainya. Dengan demikian, diperlukan manajemen sistem waktu agar semua komponen anak bangsa terayomi dan kebersamaan tetap terjaga.
Susiknan Azhari, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Editor: YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 10 Mei 2021