SECARA umum bioetika mengenal tiga prinsip utama. Pertama, respek terhadap hidup dan kehidupan. Kedua, perlunya keseimbangan antara risiko dan manfaat. Ketiga, adanya suatu kesepakatan bahwa etis tidak sesederhana alamiah.
Perkembangan bioteknologi modern banyak dipicu oleh peningkatan kemampuan manusia memahami genetika dan mengendalikan aliran informasi genetik. Pemahaman tersebut menyebabkan dikembangkannya teknologi terkait yang dimungkinkan dapat mengarah ke technological compulsion atau if we can do it let’s do it.
Moratorium terhadap kloning manusia di semua negara maju merupakan suatu bentuk pengakuan adanya batasan-batasan etis terhadap sesuatu yang secara teknis tidak masalah. Hampir mirip dengan itu adalah dorongan moratorium untuk tanaman dan pangan transgenik karena dianggap akan memunculkan konsekuensi jangka panjang terhadap kesehatan dan lingkungan.
Teknologi maju melibatkan proses yang hanya dapat dipahami dengan baik oleh ilmuwan yang mengembangkan dan menggunakannya. Faktor tersebut memunculkan kecurigaan masyarakat mengenai kebenaran informasi dan independensi ilmuwan. Beberapa kecurigaan tersebut juga diakibatkan oleh kesulitan masyarakat untuk bisa memahami bahwa jawaban yang pasti dan absolut seringkali tidak bisa diberikan oleh ilmuwan. Ilmuwan memiliki keterbatasan atau bahkan ketidakmampuan mengeliminasi setiap elemen risiko yang dimungkinkan muncul.
Kecurigaan masyarakat bertambah karena kenyataan bahwa perkembangan dan pemanfaatan bioteknologi modern tercepat bukan berada di lembaga-lembaga publik, tetapi justru di lingkungan perusahaan besar multinasional. Perusahaan selalu dicirikan oleh maksimasi keuntungan, dengan demikian pertimbangan etika dalam bioteknologi harus melepaskan diri dari pertimbangan ekonomi yang hanya mendasarkan diri pada penghargaan kapital kepada pengembang teknologi. Berikut akan diulas dua isu utama yang ada saat ini dari tinjauan etika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Genetika manusia
Kemampuan bioteknolog untuk mentransfer gen lintas spesies bahkan lintas kingdom, dipandang oleh beberapa orang akan mengganggu alam. Bioteknolog dituduh sebagai ‘playing God’ dengan implikasi bahwa praktik tersebut secara etis tidak bisa diterima. Dipihak lain beberapa orang berpendapat bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan memiliki kewajiban sebagai ciptaan Tuhan untuk mengembangkan kemampuan ilmiahnya. Para ahli sepakat bahwa pemilahan sekadar alamiah-nonalamiah secara intrinsik tidak memiliki sisi etis yang berarti. Penggunaan bioteknologi modern diatur oleh Hippocratic principle yang menyepakati bahwa setiap intervensi harus memberikan keuntungan bagi individu sasaran. Kontroversi muncul bukan karena penolakan terhadap prinsip tersebut, tetapi akibat ketidaksepakatan mengenai apa yang menyusun sebuah individu.
Beberapa orang berpendapat bahwa status sebagai individu sudah ada sejak pembuahan terjadi. Dengan demikian, maka segala manipulasi terhadap embrio manusia dalam setiap tingkatan umur secara etis tidak dapat diterima.
Sedangkan, lainnya memiliki sisi pandang lebih jauh yaitu bagaimana suatu janin manusia tumbuh menjadi person lengkap yang ditandai dengan munculnya sentience (kesadaran) dan mentalitas. Pandangan tersebut menjadi acuan Uni Eropa mengenai batasan legal penelitian embrio manusia hingga umur 14 hari. Penelitian dibolehkan hanya sebatas investigasi kesuburan.
Beberapa ahli mengusulkan agar teknik cell-nuclear-replacement (CNR) terhadap embrio dapat dilakukan untuk menghasilkan jaringan yang secara imunologis cocok untuk keperluan pengobatan dan terapi gen untuk penyakit akibat mutasi genetik.
Teknik CNR mutlak dilarang untuk usaha mengklon manusia. Larangan tersebut mendapat dukungan etis yang sangat luas di seluruh dunia. Respek terhadap individu manusia merupakan alasan utama. Larangan tersebut bukan karena individu memiliki hak intrinsik untuk memiliki genom yang unik (sebab kembar identik juga memiliki genom yang sama), tetapi karena manusia harus dinilai berdasarkan dirinya sendiri dan bukan sebagai wakil (surrogate) dari individu lainnya. Larangan yang sama diterapkan terhadap rekayasa genetik embrio untuk memproduksi ‘designer babies’ dengan kualitas sebagaimana diinginkan perancang. Setiap individu bukanlah barang komoditas, sehingga tidak ada satu pun argumen yang bisa diterima secara etis untuk membenarkan tindakan tersebut.
Dibolehkannya teknologi CNR merisaukan banyak orang karena akan memunculkan ‘slippery slope argument’ yaitu teknologi yang mula-mula untuk pengobatan kemudian membelok ke reproduksi.
Tanaman dan pangan transgenik
Tanaman transgenik menyimpan potensi risiko terhadap lingkungan dan kesehatan. Pertanian modern mengajarkan kepada kita bagaimana kesetimbangan alam berubah drastis setelah hutan ditebang dan varitas haus energi ditanam monokultur. Kemampuan intelektual kita untuk memprediksi pengaruh suatu intervensi baru terhadap lingkungan tidak akan pernah sempurna, sampai kapan pun. Oleh karena itu, amatlah penting segala uji tanaman transgenik harus terkontrol dan termonitor dengan baik sehingga bisa mendasari pengambilan keputusan etis yang dapat dipertanggungj awabkan.
Tanaman transgenik juga memunculkan moral perplexities akibat adanya dua tujuan etis berbeda. Sebagai contoh adalah kemungkinan digunakannya gen ‘terminator’. Di satu sisi gen benih mandul tersebut akan menyelamatkan lingkungan dari bahaya penyebaran gen yang tidak terkendali, tetapi lain, petani perlu dilindungi karena tidak selalu memiliki kemampuan untuk membeli benih yang baru tiap musim tanam. Untuk memecahkan problem tersebut harus ada pengakuan dan kesepemahaman bersama terhadap common good, menuntut perusahaan-perusahaan raksasa untuk mengembangkan kebijakan yang lebih berkeadilan, dan perumusan kebijaksanaan internasional dalam perdagangan produk bioteknologi modern yang lebih berpihak pada yang lemah. Marjinalisasi dan eksploitasi petani harus dihindari. Pertimbangan perlu dilengkapi pula dengan kewajiban etis universal dalam bentuk respek terhadap keamanan hayati.
“Stakeholder”
Terdapat tiga pihak yang terkait dengan pertimbangan dan penentuan keputusan etis yaitu: 1) ilmuwan, 2) pihak terkait langsung (community of possible benefeciaries), dan 3) masyarakat umum. Posisi ilmuwan penting karena hanya mereka yang mampu menganalisis potensi risiko dan keuntungan. Mereka memiliki kewajiban etis untuk melakukan analisis tersebut secara fair, terbuka, dan tidak berat sebelah. Keputusan akhir tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada mereka, karena monopoli ilmu tidak berarti juga monopoli etika dan kearifan (wisdom). Selain itu, keputusan juga tidak bisa diserahkan kepada perusahaan, konstituen penentang, petani terkait atau pasien, karena bias kepentingan akan menguasai pengambilan keputusan.
Dari ketiga stakeholder, masyarakat luas menempati posisi terpenting. Dengan demikian perlu komunikasi dan pembangunan opini publik menyangkut topik-topik yang secara etis sangat sensitif.
Sebagian besar debat etis hanya dalam bentuk konfrontasi dua pendapat yang saling berlawanan. Di satu kelompok memandang bahwa X yang terbaik dan tidak tergantikan, sedang di kelompok lainnya X adalah sesuatu yang paling buruk yang pernah ada sehingga harus dihindari. Dalam kenyataannya X tidak pernah berada dalam kedua ekstrem tersebut. Dengan demikian, dalam rangka membangun debat yang lebih rasional mengenai bioteknologi dan produknya, maka program edukasi masyarakat menjadi sedemikian penting.
(Dwi Andreas Santosa, doktor bidang genetika molekuler, staf Faperta PP-Lingkangau Hidup dan PP Bioteknologi IPB)
Sumber: kompas, 22 April 2001