Teknik Penyuntingan Genom– Nobel Kimia 2020

- Editor

Rabu, 14 Oktober 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penyuntingan genom akan menjadi salah satu teknologi penting abad ke-21 dan bersama kecerdasan buatan akan membuka babak baru revolusi biologi dalam bidang pangan, pertanian, industri, medis, dan lingkungan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

—Emmanuelle Charpentier dan Jennifer Doudna menjadi dua wanita pertama yang berbagi Hadiah Nobel Kimia 2020.

Jennifer Doudna dan Emmanuelle Charpentier adalah dua wanita pemenang Nobel Kimia tahun ini. Temuan mereka mendasari teknik penting yang disebut penyuntingan genom (genome editing). Dengan teknik ini, manusia dapat menyunting, bahkan menulis ulang sandi genetik semua makhluk hidup, mulai dari bakteri, cendawan, tumbuhan, dan hewan, termasuk manusia sendiri.

Dengan teknik ini, He Jiankui, seorang peneliti di China, telah berhasil menyunting genom manusia menjadi kebal terhadap infeksi HIV yang menyebabkan penyakit AIDS. HIV dapat menginfeksi manusia karena ada protein CCR5 pada sel darah putih tertentu. Virus ini tak dapat menginfeksi sel kulit manusia karena sel kulit tidak punya CCR5.

He Jiankui menghilangkan CCR5 pada sel darah putih sehingga diperoleh bayi, yang kebetulan kembar, bebas HIV meskipun terlahir dari ibu dan ayah yang terinfeksi HIV. Peristiwa ini menggemparkan dunia sains sekaligus kontroversial. Dr He dikecam dunia dan dihukum Pemerintah China karena melanggar etika penelitian dan bertindak ceroboh.

Terlepas dari kontroversi tersebut, teknik ini jelas menjadi salah satu sarana ampuh generasi milenial untuk mengubah bahan genetik makhluk hidup dengan implikasi positif atau negatif. Sejumlah orang mungkin sedang merenungkan apakah yang terjadi apabila mereka melakukan penyuntingan genom untuk menggagalkan infeksi SARS-CoV-2 (virus penyebab Covid) pada manusia.

Teknik penyuntingan genom tersebut dapat dikembangkan setelah manusia mengerti bagaimana sistem kekebalan pada bakteri. Apakah bakteri punya imunitas?

Penyuntingan genom
Bakteri telah ada paling tidak sekitar 3,5 miliar tahun lalu. Jika umur Bumi (sekitar 4,5 miliar tahun) dianggap setara 24 jam, bakteri sudah ada di Bumi sekitar pukul 08.00. Tanaman di darat baru ada sekitar pukul 22.00, dinosaurus sekitar pukul 23.41, dan manusia pada pukul 23.59.

BRIAN ACH / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / AFP—Jennifer A Doudna, profesor kelahiran Amerika Serikat yang mengajar di University of California, Berkeley. Peraih Nobel Kimia 2020.

Manusia baru ada di Bumi sekitar 1 menit saja dari total 24 jam umur Bumi, sedangkan bakteri telah ada selama 3/4 sejarah Bumi. Apabila kita merenungkan hal ini, mungkin tidaklah terlalu mengherankan jika virus penyebab Covid-19 dapat ”menyandera” manusia modern hampir setahun.

Mereka itu sudah jauh berpengalaman di planet ini. Sebagaimana makhluk hidup lain, bakteri juga diinfeksi oleh virus. Virus yang menginfeksi bakteri ini biasa disebut bakteriofage atau fage. Jika satu partikel fage berhasil menginfeksi bakteri, fage itu akan berbiak menjadi ribuan atau jutaan partikel fage baru yang kemudian keluar dengan memecahkan sel bakterinya. Bakteri akan mati mengenaskan dengan seluruh selnya hancur lebur.

Di alam banyak sekali fage ini, baik jumlah maupun macamnya. Jika tidak ada fage, mungkin seluruh Bumi ini telah dipenuhi bakteri. Tentu bakteri akan beradaptasi agar dapat lolos dari serangan fage. Salah satunya dengan cara membuat protein khusus yang bisa menggunting bahan genetik (DNA atau RNA) fage. Namun, gunting ini harus spesifik hanya bisa menggunting DNA fage, tetapi tidak DNA bakteri. Gunting-gunting khas yang dimiliki tiap jenis bakteri ini nanti yang menjadi alat penting dalam bioteknologi modern yang disebut sebagai enzim restriksi.

Namun, jika setiap gunting untuk setiap bakteri, bakteri akan kewalahan menghadapi ratusan jenis fage yang dapat menginfeksinya. Dalam kaitan ini, Jennifer dan Emmanuelle menemukan bahwa bakteri ternyata memiliki sistem kekebalan lain yang lebih canggih berdasarkan pada sistem Clustered Regularly Interspaced Palindromic Repeats (CRISPR).

Dalam interaksinya dengan fage, bakteri dapat menyimpan sepotong kecil DNA dari fage dan menyisipkannya ke dalam DNA bakteri. Apabila ada fage baru, kejadian tersebut akan berulang sehingga ada bagian DNA bakteri yang berisi kumpulan potongan DNA setiap fage yang pernah menginfeksinya. Kumpulan potongan DNA berada dalam satu kluster yang disebut CRISPR itu.

Apabila ada infeksi oleh fage, sistem CRISPR ini akan mengaktifkan gunting DNA (enzim pemotong DNA) yang akan dipandu segmen RNA CRISPR untuk memotong DNA fage dan menggagalkan infeksinya. Meskipun terjadi pada sel bakteri, sistem CRISPR ini mekanismenya setara dengan sistem pembentukan antibodi pada manusia. Dari CRISPR ini, kita dapat menghargai bahwa makhluk seperti bakteri juga punya adaptive immunity.

Siapa yang menang atau kalah dalam interaksi bakteri dengan fage itu sifatnya dinamis. Saat bakteri telah mampu menemukan cara untuk mengontrol infeksi fage, fage juga akan menemukan cara untuk dapat menerobos pertahanan bakteri. Siklus menang-kalah ini hanya sementara dan berlangsung sepanjang sejarah evolusi bakteri dan fage-nya yang sudah berlangsung selama miliaran tahun. Kalah atau menang itu seperti putaran roda yang sudah menjadi bagian integral kehidupan itu sendiri.

Teknik menulis kembali
Mekanisme kerja CRISPR tidak saja menampilkan keindahan sistem pertahanan bakteri dari infeksi fage, tetapi juga memberi inspirasi pada manusia untuk memanfaatkan sistem biologi ini untuk menyunting genom. Sistem CRISPR ini telah memungkinkan manusia membuat jamur kancing (Agaricus bisporus) menjadi berwarna putih cerah dan tidak mudah menjadi coklat (browning) dengan menonaktifkan enzim profenol oksidase yang berperan dalam reaksi pencoklatan.

Tak seperti rekayasa genetika (genetic engineering) yang sering menimbulkan kontroversi, penyuntingan gen nyaris tidak dapat dibedakan dari mutasi yang terjadi secara alami. Itu sebabnya, jamur hasil suntingan tersebut dapat beredar di pasar tanpa melalui registrasi yang sangat ketat, seperti produk hasil rekayasa genetika.

Penyuntingan genom akan menjadi salah satu teknologi penting abad ke-21 dan bersama kecerdasan buatan (artificial intelligence) akan membuka babak baru revolusi biologi dalam bidang pangan, pertanian, industri, medis, dan lingkungan.

Jika dimanfaatkan dengan bijaksana, teknologi ini akan mampu meningkatkan kesejahteraan manusia dan membuat alam menjadi lebih indah. Sudah sepantasnya penghargaan diberikan kepada peneliti yang sangat tekun mencari jawaban tentang aspek biologi yang tampak sangat jauh dari aplikasi: interaksi bakteri dan virusnya.

Antonius Suwanto, Guru Besar Mikrobiologi IPB University; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Sumber: Kompas, 13 Oktober 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 16 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB