Praktik dan dinamika politik di era digital dipenuhi oleh fenomena oligarki, politik identitas dan semacamnya, namun hendaknya semua pihak juga semakin menyadari dampaknya, yakni kehadiran kediktaktoran baru.
Pertarungan opini dalam media digital semakin marak belakangan ini. Terlepas dari pro-kontra pendapat satu sama lain, kita memang tengah berada di era, apa yang diistilahkan John Keane dalam Democracy and Media Decadence (2013), era kelimpahan komunikatif.
Era ini ditandai oleh dominasi media baru (new media) yang menggusur kebiasaan lama. Tanpa kendala jarak, khalayak memanfaatkan komunikasi multimedia yang tersebar secara radikal. Karenanya, merujuk pada Keane, pertarungan opini di media digital, lazim adanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara teoretis, media baru memberi kesempatan publik berkuasa. Henry Timms dan Jeremy Heimans dalam New Power: How Power Works in Our Hyperconnected World and How to Make It Work for You (2018), menjelaskan, apabila kekuasaan ialah sebagaimana filsuf Bertrand Russell sebut sebagai “kemampuan menghasilkan efek yang diinginkan”, maka kini kemampuan itu “ada di tangan kita semua”.
Kita memiliki kapasitas untuk menyebarkan gagasan, hingga membangun komunitas dan gerakan. Kita bisa menyebarkan informasi dalam skala dan dampak yang lebih besar. Teknologi digital membuat kita menggenggam jenis “kekuasaan baru”, melalui kemampuan untuk menghasilkan “efek yang diinginkan”.
Heimans dan Timms mencatat kekuasaan baru meniscayakan kontestasi politik dan ekonomi, menciptakan keseimbangan baru, dan menggusur kekuasaan versi lama. Kekuasaan lama bersifat tertutup, nirakses, dan digerakkan secara sentral. Kekuasaan baru melibatkan banyak orang, terbuka, partisipatif, mengunggah, dan mendistribusikan.
Namun, kekuasaan baru bak pedang bermata dua, ia bisa hadir sebagai gerakan kemanusiaan, ataupun terorisme hingga manipulasi politik identitas. Harapannya lonjakan media sosial menjatuhkan para diktator. Kenyataannya, orang kuat baru berjargon demokrasi meningkat di banyak tempat.
Optimisme demokrasi digital, langsung dihadapkan pada pesimismenya. Oligarki, populisme, politik identitas mengarah ke praktik quasi-totalitaritarianisme dan fasisme.
DOKUMENTASI PRIBADI—Calon peserta pilkada Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa, menerapkan kampanye virtual di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (26/9/2020).
Kediktatoran baru
Uraian di atas menegaskan bahwa revolusi teknologi digital yang merambat ke ranah politik, meniscayakan semakin semaraknya dinamika demokrasi, terkhusus konteks kediktatoran baru. Demokrasi yang identik kebebasan berpendapat, memang segera menemukan ruang baru yang memberi kesempatan luas bagi setiap individu untuk berekspresi.
Namun, di sisi lain, individu sebagai bagian dari publik demokrasi juga menghadapi fenomena baru yang justru mengancam kebebasan itu sendiri. Inilah fenomena, kalau bukan masalah kita, hari-hari ini.
Madeline Albright dalam Fasism (2019) mengingatkan bahwa kebebasan atau demokrasi kita saat ini memang tengah menghadapi ancaman ke arah fasisme. Ini urusan serius, ketika jagat digital memberi peluang tidak saja bagi demokrasi, tetapi juga kediktaktoran fasis. Kebebasan memang tengah menghadapi tantangan serius sekarang.
Publik kini lazim berhadapan dengan negara Orwellian, justru karena kontrol digital negara. Merujuk George Orwell melalui novel 1984, negara ialah institusi pemantau (surveiliance) seluruh gerak-gerik rakyatnya. Artinya, negara membatasi kebebasan.
Namun, kebebasan publik juga berhadapan dengan hadirnya perusahaan-perusahaan digital raksasa, yang juga punya daya kekuatan surveillance. Mereka bekerja, dalam lingkup, apa yang dianalisis Shoshana Zuboff dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (2019), sebagai kapitalisme pengintaian (surveillance capitalism).
Maka, negara dan perusahaan digital bak dua gajah. Sementara publik, yang memanfaatkan aneka produk digital, ialah pelanduk dalam peribahasa “gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah”.
Kendati publik merasa tampil menjadi subyek yang bisa mengembangkan pengaruh secara cepat, namun sesungguhnya mereka sekadar obyek atas dua kekuatan besar itu.
Dalam konteks inilah publik berkepentingan memperjuangkan jaminan perlindungan data pribadi. Tujuannya agar kebebasan publik terjamin, selain agar data pribadi tidak mudah diambilalih, dibajak, dan dimanfaatkan oleh “kekuasaan tertentu”.
Demokrasi digital akan terus berada dalam ujian dan tantangan yang tidak mudah, manakala pembajakan mudah terjadi. Atau, ketika kontestasi politik mudah dicampuri oleh aksi-aksi digital yang non-demokratis yang lazim dilakukan para buzzer politik.
Dan, logikanya manakala negara memanfaatkan para influencer yang notabene buzzer, tentu tidak elok karena melumpuhkan demokrasi digital.
Kendati praktik dan dinamika politik di era digital dipenuhi oleh fenomena oligarki, politik identitas dan semacamnya, hendaknya semua pihak semakin menyadari dampaknya, yakni kehadiran kediktatoran baru.
Maka, idealnya, kediktatoran baru harus dihindari. Penegakan demokrasi digital merupakan tanggung jawab bersama. Semua pihak harus saling mengingatkan secara bijak, menjauhkan opini-opini yang tidak bertanggung jawab, agar ranah digital menjadi lebih bermaslahat.
M Alfan Alfian, Ketua Jurusan S-2 Ilmu Politik SPS Universitas Nasional, Jakarta
Sumber: Kompas, 29 September 2020