Peningkatan praktik ekonomi sirkular menjadi menjadi solusi dalam upaya mengatasi masalah limbah plastik, di samping pengendalian dalam penggunaannya.
Sumber daya publik (common pool resources) rentan terhadap overeksploitasi. Demikian pokok pemikiran dan kekhawatiran Garret Hardin dalam tulisannya ”Tragedy of the Commons” (1968).
Masalah ini boleh jadi menginspirasi Elinor Ostrom, peraih Nobel Ekonomi 2009 bersama Oliver Williamson, untuk menawarkan solusi institusional dalam pengelolaan sumber daya alam melalui karya ilmiahnya ”Analysis of Economic Governance, Especially of The Commons”. Berbeda dengan Hardin, scholar lainnya, seperti Carol M Rose, justru menulis ”The Comedy of the Commons; Custom, Commerce, and Inherently Public Property” (1986).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pandemi menimbulkan disrupsi terhadap sistem rantai pasok dunia, terlebih pada ekonomi linier yang masih merupakan sistem arus utama. Sistem ekonomi linier yang cenderung growth greedy memiliki keterkaitan kuat dengan persoalan-persoalan lingkungan, seperti deforestasi, hilangnya biodiversitas, perubahan iklim, banjir, pencemaran (air, tanah, udara) akibat overeksploitasi dan beban yang melampaui daya dukung lingkungan.
Dampak kerusakan lingkungan yang parah justru menciptakan kondisi kondusif bagi tumbuhnya berbagai jenis patogen dan virus. Karena itu, pasca-pandemi perlu dipercepat pembangunan sistem ekonomi sirkular yang lebih berdaya tahan dan berwawasan lingkungan.
Keberlanjutan
Ekonomi sirkular menjadi paradigma alternatif yang ideal bagi ekonomi linier yang hingga kini masih mendominasi. Dalam model ekonomi linier, proses produksi berlangsung secara take-make-dispose, sumber daya terus-menerus diekstraksi, diskonversi menjadi produk, dan akhirnya dibuang menjadi sampah setelah dikonsumsi.
Akibatnya, limbah dan sampah terus menggunung untuk ditimbun atau diuruk di tempat-tempat pembuangan akhir, dibakar menambah beban polusi udara, atau dibuang ke sungai/laut menambah beban pencemaran air.
Sumber daya cenderung sekali pakai sehingga sumber daya yang tidak dapat diperbarui, seperti bahan-bahan tambang, terus terdeplesi dan cepat habis. Forum Ekonomi Dunia (WEF) tahun lalu menyebutkan, aktivitas ekonomi dunia yang sirkular hanya 9 persen.
Sebaliknya, dalam sistem circular economy, penggunaan sumber daya, limbah/sampah, emisi dan energi terbuang diminimalkan dengan menutup siklus produksi-konsumsi dengan memperpanjang umur produk, inovasi desain, pemeliharaan, penggunaan kembali, remanufaktur, daur ulang ke produk semula (recycling), dan daur ulang menjadi produk lain (upcycling). Upaya minimisasi limbah sudah dilakukan sejak tahap desain produk.
Dengan demikian, kunci utama dari ekonomi sirkular adalah meminimalisasi limbah/sampah dan mentransformasikannya menjadi produk baru dan sumber daya yang berguna.
Sebenarnya sudah cukup beragam praktik-praktik ekonomi sirkular dalam realitas sehari-hari, tetapi skalanya masih kecil dan secara agregat nilai ekonominya belum signifikan. Limbah manusia dan hewan bisa dikonversi menjadi biogas untuk menyalakan kompor dan lampu listrik, tetapi secara keseluruhan kurang berarti karena berlimpahnya sumber energi lain seperti LNG dan listrik.
Demikian pula sampah organik rumah tangga dapat dimanfaatkan, antara lain, untuk pupuk organik, tetapi skalanya terlampau kecil dan jauh lebih banyak yang terbuang percuma ke tempat pembuangan akhir sampah dan ke sungai/laut. Selain itu, penggunaan pupuk anorganik di sektor pertanian juga masih mendominasi.
Pola pertanian terpadu secara organik juga merupakan salah satu praktik terbaik ekonomi sirkular yang menunjukkan tentang bagaimana limbah di satu aktivitas menjadi input berharga bagi aktivitas lain. Namun, lagi-lagi, kontribusi ekonominya belum signifikan secara agregat (makro).
Dampak konsumsi massal
Salah satu produk penting dalam aktivitas sosial ekonomi dengan penggunaan yang bersifat masif dan menimbulkan masalah limbah/sampah adalah plastik. Plastik merupakan material vital dalam bisnis (grosir/ritel) dan industri karena kegunaannya yang fleksibel dan luas.
Sebagai perbandingan, kemasan plastik dengan berat 18 gram dapat membungkus 330 mililiter air, sedangkan botol kaca dengan kapasitas sama bisa berbobot hingga 250 gram. Pengiriman minuman dengan kemasan yang lebih berat, seperti botol kaca, membutuhkan energi lebih besar, menghasilkan lebih banyak karbon dioksida, dan biaya pengiriman lebih mahal.
Pengemasan dengan plastik bahkan dapat memperpanjang umur simpan (shelf life) dari makanan dan minuman karena sifat sensory plastic yang dapat melindungi dari bakteri sehingga mengurangi limbah makanan. Pada industri otomotif, komposisi material plastik mencapai 50 persen dengan berat hanya 15 persen dari bobot kendaraan sehingga dapat meningkatkan efisiensi bahan bakar.
Dalam industri kesehatan terkait Covid-19, material plastik dipergunakan untuk bahan atau campuran bahan pembuatan alat-alat, seperti respirator, pelindung wajah, kacamata, pakaian hazmat (coverall), dan sarung tangan. Demikian pula pada industri elektronik, selain menjadi material campuran komponen/ rangka, dapat dikatakan semua produk elektronik membutuhkan plastik untuk kemasan bersama kardus hingga sampai ke tangan konsumen.
Konsumen UMKM, minimarket, dan supermarket, terutama ibu-ibu rumah tangga, membutuhkan tas belanja, khususnya tas plastik untuk berbelanja dan membawa belanjaannya sampai ke rumah. Tas plastik seperti ini umumnya kemudian dimanfaatkan sebagai tempat sampah.
Masalahnya plastik yang terbuang ke tempat pembuangan dan ke sungai/laut sebagai material yang tidak bisa terurai volumenya cenderung kian membesar jika tak dikendalikan dan menimbulkan dampak lingkungan serius. Material plastik yang terbuang ke laut konon baru akan terurai setelah 500 tahun. Artinya, keberadaan sampah plastik di laut bisa sangat panjang waktunya yang mengancam biota laut, termasuk sejumlah spesies langka.
Menurut estimasi Indonesia National Plastic Association, setiap tahun, Indonesia menghasilkan sampah plastik sebanyak 6,8 juta ton. Dari jumlah ini, 9 persen atau sekitar 620.000 ton masuk ke sungai, danau, dan laut. Hasil penelitian LIPI (2019) menunjukkan bahwa di Teluk Jakarta, dari 8,32 ton sampah yang masuk setiap hari, 59 persen berupa sampah plastik.
Untuk mengatasi masalah limbah plastik, di samping pengendalian dalam penggunaannya, peningkatan praktik ekonomi sirkular menjadi solusinya. Namun, hal ini membutuhkan perbaikan sistem koleksi sampah yang langsung memisahkan jenis-jenis sampah, setidaknya antara sampah organik dan anorganik, sehingga sampah plastik lebih mudah dikoleksi.
Di samping itu dengan memperbanyak bank sampah berbasis komunitas. Dengan cara ini, pasokan sampah plastik ke industri daur ulang dapat ditingkatkan.
Cara lainnya adalah melalui inovasi, misalnya dengan mencampurkan material sampah plastik dengan agregat aspal untuk lapisan jalan. Berdasarkan penelitian Kementerian PUPR, campuran sampah plastik dengan komposisi ideal, berkisar 5-6 persen, mampu meningkatkan nilai stabilitas aspal hingga 40 persen sehingga jalan aspal lebih tahan terhadap deformasi plastis dan tidak mudah retak.
Penerapan model ekonomi sirkular perlu dipercepat pada industri-industri lainnya, terutama yang konsumsinya masif, seperti besi/baja, kertas, tekstil. Dengan meningkatnya peran ekonomi sirkular, maka tekanan terhadap lingkungan akan berkurang, dan sistem ekonomi pascapandemi akan lebih berdaya tahan terhadap guncangan eksternal.
Jika siklus air di bumi digerakkan oleh mekanisme alam, ekonomi sirkular digerakkan oleh moral, etika, kesadaran dan kebijakan/regulasi pembangunan berkelanjutan yang berpengaruh terhadap sistem produksi industrial di pabrik-pabrik dan unit-unit ekonomi lainnya, termasuk industri rumahan, dan UMKM.
(Wihana Kirana Jaya, Guru Besar FEB UGM)
Sumber: Kompas, 19 September 2020