CATATAN IPTEK
Pandemi Covid-19 mengajarkan pentingnya berdaulat pangan, yang berarti tidak tergantung pada impor. Namun, kedaulatan hanya bisa dilakukan jika para petani juga berdaulat dalam arus besar pembangunan pertanian.
Tahun ini, cuaca sebenarnya berpihak kepada para petani dari Komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Hasil panen pun berlimpah, dan nyaris tak ada ledakan hama. Namun, harga jual panenan mereka anjlok hingga titik terendah.
“Harga tomat hanya Rp 1.000 per kg, bahkan sampai Rp 500 per kg. Cabai hanya laku Rp 5.000 per kg,” kisah Gunarti (45), petani perempuan dari Sedulur Sikep, yang dihubungi, Selasa (15/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Panenan 3.000 pohon melon yang berlimpah. Biasanya paling sedikit menghasilkan Rp 30 juta. Namun, kali ini hanya laku Rp 9 juta. “Alasannya, pasar sepi dan pembeli tidak punya uang, sementara kami juga tidak mungkin kirim sendiri ke kota,” ujarnya.
Sayur dan buah tidak bisa bertahan lama, sehingga para petani seperti Gunarti, tak memiliki pilihan lain selain menjualnya. Di banyak daerah lain, bahkan petani membuang sayur-mayur yang ditanamnya karena harga anjlok. “Di saat kahanan (situasi) seperti ini, petani tetap bekerja untuk memenuhi pangan orang kota. Katanya, mereka butuh pangan bergizi agar sehat. Tapi, harga hasil pertanian anjloknya keterlaluan,” ungkapnya.
Kisah yang dialami Gunarti menunjukkan bagaimana pandemi Covid-19 telah mengganggu pasokan makanan di hampir setiap tingkatan. Fenomena ini menyingkap rapuhnya sistem pangan kita, yang bertumpu pada rantai pasok. Tak hanya di Indonesia, persoalan ini juga terjadi di berbagai negara.
Maximo Torero, kepala ekonom Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, sistem pangan dunia berada di bawah ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya, karena pandemi menghambat kemampuan orang untuk memanen, membeli, serta menjual makanan. “Ini adalah krisis pangan amat berbeda dari yang pernah kita lihat,” katanya (The Guardian, 9 Juni 2020).
Laporan Program Pangan Dunia PBB (WFP) yang diluncurkan pada bulan April, setidaknya 265 juta orang berisiko kelaparan pada tahun 2020, hampir dua kali lipat pada tahun 2019. Ini terlepas dari fakta bahwa seharusnya ada cukup makanan untuk memberi makan dunia tahun ini karena hasil panen relatif berlimpah.
Segenap masalah yang kita alami saat ini memang tidak melulu disebabkan pandemi. Bahkan sebelum wabah, sistem pangan global gagal di banyak bidang. Menurut perhitungan WFP, sepanjang tahun 2019, sebanyak 135 juta orang di 55 negara menghadapi kelaparan akut, terutama karena keterbatasan akses pada pangan, selain juga dampak konflik dan perubahan iklim.
Pandemi Covid-19 berpotensi menjadi bencana besar bagi jutaan orang yang sudah bergantung pada seutas benang. Ini merupakan pukulan telak bagi jutaan orang lainnya yang hanya bisa makan jika mereka mendapat upah harian, dan banyak di antaranya kini tidak bisa bekerja.
Kekhawatiran terhadap ancaman krisis pangan juga menguat di Indonesia. Apalagi, sebelum pandemi, sistem pangan kita juga bermasalah, sehingga berada dalam posisi rendah untuk Global Food Security Index (GFHI) dan Global Hunger Index (GHI) 2019. Untuk GFSI Indonesia di urutan ke-62 dunia dari 113 negara. Adapun GHI, Indonesia di urutan ke-70 dari 117 negara.
Kerentanan pangan di Indonesia, terutama karena impor delapan komoditas pangan penting yang terus melaju, sementara konversi lahan pertanian kita menyusut. Padahal, wabah membuat banyak negara yang selama ini menjadi sumber impor pangan kita, misalnya Vietnam untuk beras dan Ukraina untuk gandum, membatasi ekspor.
Jika krisis terus bekepanjangan, harga pangan bisa meliar, dan itu bakal jadi pukulan berat bagi negara-neraga yang menggantungkan pangannya dari impor.
Situasi ini yang kemudian menjadi alasan Presiden Joko Widodo mencetak sawah baru di Kalimantan Tengah, sebagai bagian dari program lumbung pangan (food estate) pada 9 Juli 2020. Mantan rival politik, yang juga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ditunjuk mengepalai proyek, yang pernah gagal dilakukan di penghujung Orde Baru ini.
Selain menjadi polemik dari aspek ekologi, rencana pembukaan lumbung pangan yang sebagian berada di bekas lahan gambut ini juga mengundang tanda tanya: akankah ini menjawab rapuhnya kedaulatan pangan kita?
Bagi petani kecil seperti Gunarti, food estate itu bukanlah jawaban atas permasalahannya selama ini. Apalagi, lumbung pangan ini rencananya akan dikelola badan berbasis koporasi petani dan teknologi, dan tidak ada hubungannya dengan upaya mengangkat derajat petani.
Benar bahwa pandemi ini mengajarkan mengenai pentingnya berdaulat pangan, yang berarti tidak lagi tergantung pada impor. Namun, kedaulatan hanya bisa dilakukan jika para petani juga berdaulat dalam arus besar pembangunan pertanian. Kedaulatan juga mensyaratkan sistem pangan berbasis keberagaman pangan lokal.
Hari Pangan Nasional yang diperingati setiap tanggal 16 September, seharusnya bukan hanya menjadi perayaan atas pangan, namun juga kegembiraan bagi petani-petani kita yang selama ini menjadi penyangga sistem pangan, bahkan juga ekonomi domestik yang tangguh dan teruji dalam serangkaian krisis sebelumnya.
Oleh Ahmad Arif, wartawan Kompas
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 16 September 2020