Wabah dan Kedaulatan Pangan

- Editor

Rabu, 16 September 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pengunjung berbelanja sayuran di  Pasar Ngatpaingan di Dusun Dangean, Desa Gedangan, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (29/9/2019). Dalam kegiatan yang digelar setiap 40 hari itu warga setempat menjual berbagai makanan tradisional yang bahannya diperoleh dari lahan pertanian setempat.  Selain untuk mempromosikan potensi bahan pangan lokal, kegiatan ini juga untuk mengembangkan potensi wisata desa setempat.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
29-09-2019

Pengunjung berbelanja sayuran di Pasar Ngatpaingan di Dusun Dangean, Desa Gedangan, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (29/9/2019). Dalam kegiatan yang digelar setiap 40 hari itu warga setempat menjual berbagai makanan tradisional yang bahannya diperoleh dari lahan pertanian setempat. Selain untuk mempromosikan potensi bahan pangan lokal, kegiatan ini juga untuk mengembangkan potensi wisata desa setempat. KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA) 29-09-2019

CATATAN IPTEK
Pandemi Covid-19 mengajarkan pentingnya berdaulat pangan, yang berarti tidak tergantung pada impor. Namun, kedaulatan hanya bisa dilakukan jika para petani juga berdaulat dalam arus besar pembangunan pertanian.

Tahun ini, cuaca sebenarnya berpihak kepada para petani dari Komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Hasil panen pun berlimpah, dan nyaris tak ada ledakan hama. Namun, harga jual panenan mereka anjlok hingga titik terendah.

“Harga tomat hanya Rp 1.000 per kg, bahkan sampai Rp 500 per kg. Cabai hanya laku Rp 5.000 per kg,” kisah Gunarti (45), petani perempuan dari Sedulur Sikep, yang dihubungi, Selasa (15/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Panenan 3.000 pohon melon yang berlimpah. Biasanya paling sedikit menghasilkan Rp 30 juta. Namun, kali ini hanya laku Rp 9 juta. “Alasannya, pasar sepi dan pembeli tidak punya uang, sementara kami juga tidak mungkin kirim sendiri ke kota,” ujarnya.

Sayur dan buah tidak bisa bertahan lama, sehingga para petani seperti Gunarti, tak memiliki pilihan lain selain menjualnya. Di banyak daerah lain, bahkan petani membuang sayur-mayur yang ditanamnya karena harga anjlok. “Di saat kahanan (situasi) seperti ini, petani tetap bekerja untuk memenuhi pangan orang kota. Katanya, mereka butuh pangan bergizi agar sehat. Tapi, harga hasil pertanian anjloknya keterlaluan,” ungkapnya.

Kisah yang dialami Gunarti menunjukkan bagaimana pandemi Covid-19 telah mengganggu pasokan makanan di hampir setiap tingkatan. Fenomena ini menyingkap rapuhnya sistem pangan kita, yang bertumpu pada rantai pasok. Tak hanya di Indonesia, persoalan ini juga terjadi di berbagai negara.

Maximo Torero, kepala ekonom Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, sistem pangan dunia berada di bawah ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya, karena pandemi menghambat kemampuan orang untuk memanen, membeli, serta menjual makanan. “Ini adalah krisis pangan amat berbeda dari yang pernah kita lihat,” katanya (The Guardian, 9 Juni 2020).

Laporan Program Pangan Dunia PBB (WFP) yang diluncurkan pada bulan April, setidaknya 265 juta orang berisiko kelaparan pada tahun 2020, hampir dua kali lipat pada tahun 2019. Ini terlepas dari fakta bahwa seharusnya ada cukup makanan untuk memberi makan dunia tahun ini karena hasil panen relatif berlimpah.

Segenap masalah yang kita alami saat ini memang tidak melulu disebabkan pandemi. Bahkan sebelum wabah, sistem pangan global gagal di banyak bidang. Menurut perhitungan WFP, sepanjang tahun 2019, sebanyak 135 juta orang di 55 negara menghadapi kelaparan akut, terutama karena keterbatasan akses pada pangan, selain juga dampak konflik dan perubahan iklim.

Pandemi Covid-19 berpotensi menjadi bencana besar bagi jutaan orang yang sudah bergantung pada seutas benang. Ini merupakan pukulan telak bagi jutaan orang lainnya yang hanya bisa makan jika mereka mendapat upah harian, dan banyak di antaranya kini tidak bisa bekerja.

Kekhawatiran terhadap ancaman krisis pangan juga menguat di Indonesia. Apalagi, sebelum pandemi, sistem pangan kita juga bermasalah, sehingga berada dalam posisi rendah untuk Global Food Security Index (GFHI) dan Global Hunger Index (GHI) 2019. Untuk GFSI Indonesia di urutan ke-62 dunia dari 113 negara. Adapun GHI, Indonesia di urutan ke-70 dari 117 negara.

Kerentanan pangan di Indonesia, terutama karena impor delapan komoditas pangan penting yang terus melaju, sementara konversi lahan pertanian kita menyusut. Padahal, wabah membuat banyak negara yang selama ini menjadi sumber impor pangan kita, misalnya Vietnam untuk beras dan Ukraina untuk gandum, membatasi ekspor.

Jika krisis terus bekepanjangan, harga pangan bisa meliar, dan itu bakal jadi pukulan berat bagi negara-neraga yang menggantungkan pangannya dari impor.

Situasi ini yang kemudian menjadi alasan Presiden Joko Widodo mencetak sawah baru di Kalimantan Tengah, sebagai bagian dari program lumbung pangan (food estate) pada 9 Juli 2020. Mantan rival politik, yang juga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ditunjuk mengepalai proyek, yang pernah gagal dilakukan di penghujung Orde Baru ini.

Selain menjadi polemik dari aspek ekologi, rencana pembukaan lumbung pangan yang sebagian berada di bekas lahan gambut ini juga mengundang tanda tanya: akankah ini menjawab rapuhnya kedaulatan pangan kita?

Bagi petani kecil seperti Gunarti, food estate itu bukanlah jawaban atas permasalahannya selama ini. Apalagi, lumbung pangan ini rencananya akan dikelola badan berbasis koporasi petani dan teknologi, dan tidak ada hubungannya dengan upaya mengangkat derajat petani.

Benar bahwa pandemi ini mengajarkan mengenai pentingnya berdaulat pangan, yang berarti tidak lagi tergantung pada impor. Namun, kedaulatan hanya bisa dilakukan jika para petani juga berdaulat dalam arus besar pembangunan pertanian. Kedaulatan juga mensyaratkan sistem pangan berbasis keberagaman pangan lokal.

Hari Pangan Nasional yang diperingati setiap tanggal 16 September, seharusnya bukan hanya menjadi perayaan atas pangan, namun juga kegembiraan bagi petani-petani kita yang selama ini menjadi penyangga sistem pangan, bahkan juga ekonomi domestik yang tangguh dan teruji dalam serangkaian krisis sebelumnya.

Oleh Ahmad Arif, wartawan Kompas

Editor: EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 16 September 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB