Apabila ekspor solar nabati tidak berubah, dan penambahan konsumsi dalam negeri ini dipenuhi dengan penambahan produksi maka membutuhkan perluasan kebun sawit. Namun perlu pertimbangkan dampak sosial dan lingkungan.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO—Uji Coba B20 di Malaysia mulai tahun 2020 ingin memulai penggunaan B20 atau campuran 20 persen minyak nabati kelapa sawit pada bahan bakar diesel/solarnya. Tampak dua mobil uji coba program tersebut dipajang di sela-sela pelaksanaan Malaysia Palm Oil Board: International Palm Oil Congress and Exhibition (PIPOC 2019) di Kuala Lumpur Convention Center, Malaysia, Selasa (19/11/2019).
Indonesia sudah bisa memproduksi bahan bakar minyak yang dibuat dengan bahan nabati minyak sawit yang sepenuhnya bisa menggantikan solar (B100). Solar nabati ini diproduksi Pertamina Research and Technology Center (RTC).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Solar nabati dibuat melalui proses transesterifikasi, yaitu mereaksikan minyak sawit dengan alkohol, misalnya metanol, untuk menghasilkan solar nabati murni, yang juga dikenal dengan fatty acid methyl ester (FAME). Untuk sepenuhnya digunakan sebagai pengganti solar (B100), FAME harus diolah agar karakteristiknya semirip mungkin dengan solar.
Tantangan solar nabati
Kebijakan solar nabati ini masih meninggalkan beberapa pertanyaan. Pertama, bagaimana kelayakan keekonomiannya? Apa dampaknya pada harga energi di dalam negeri? Apakah perlu memperluas kebun sawit dari yang ada? Ide solar nabati ini digadang untuk menjembatani dua tantangan besar.
Pertama, mengurangi kebutuhan impor BBM dan dengan demikian membantu neraca perdagangan Indonesia. Dan kedua, penggunaan solar nabati akan menambah permintaan dalam negeri akan minyak sawit dan dengan demikian akan meningkatkan harga sawit dunia dan akhirnya menguntungkan eksportir minyak sawit seperti Indonesia.
Produksi minyak bumi Indonesia memang terus menurun. Produksi hanya bisa digenjot hingga 283 juta barel (778.000 barel per hari) saja pada 2018. Padahal, kebutuhan bahan bakar minyak Indonesia, termasuk solar nabati, pada tahun 2018 mencapai 466 juta barel per tahun. Kekurangan 120 juta barel per tahun itu harus dipenuhi melalui impor.
Penggunaan B20 pada 2019 diklaim telah membantu Indonesia menurunkan impor solar hingga 45 persen dibandingkan 2018 dan menghemat devisa 5,5 miliar dollar AS. Bahkan, pada Mei 2019, impor solar CN 48 dihentikan walaupun kontrak pembelian jangka panjang tidak bisa begitu saja diputus. Lebih dari 6 miliar liter FAME digunakan untuk campuran solar hingga mencapai B20.
Kedua, industri sawit dibayangi oleh harga minyak sawit dunia yang tak kunjung membaik. Apalagi ada ancaman dari sejumlah negara tujuan ekspor untuk menghentikan impor minyak sawit dari Indonesia.
Harga minyak sawit dunia di bursa Malaysia hari ini sebetulnya memperlihatkan sedikit penguatan dengan harga 2.550 ringgit, atau sedikit di bawah 600 dollar AS per ton, sesudah sempat jatuh pada kisaran 2.207 ringgit (517 dollar AS) per ton awal Mei 2020. Awal Januari 2020, harga sempat mencapai 2.829 ringgit (663 dollar AS) per ton.
Industri sawit Indonesia pernah booming pada 2017 dengan nilai ekspor tertinggi sepanjang sejarah, 22,97 miliar dollar AS, saat harga minyak sawit mentah (crude palm oil) rata-rata 714,3 dollar AS per ton. Namun, masih ada dilema. Penggunaan solar nabati di dalam negeri akan menciptakan permintaan dalam negeri dan dunia, dan akan menaikkan harga. Pada saat ekuilibrium tercipta, produsen minyak sawit akan menikmati volume dan harga yang tinggi.
Namun, bukankah naiknya harga minyak sawit dunia akan meningkatkan pula bahan bakar nabati berbahan baku minyak sawit? Harga minyak mentah dunia saat ini masih rendah, 40,59 dollar AS (sekitar Rp 600.000) per barel, atau sekitar Rp 3.778 per liter.
Harga sempat meningkat hingga 63,54 dollar AS pada 5 Januari 2020. Pada 21 April 2020, karena berkurangnya permintaan akibat pandemi, pertama kali dalam sejarah harga minyak di Amerika (West Texas Intermediate) untuk pengiriman Mei turun hingga negatif 37,63 dollar AS per barel (artinya, pembeli akan dibayar untuk membawa minyak). Harga futures gasoil solar untuk industri dunia saat ini sekitar 365 dollar AS per ton, atau sekitar Rp 5.292,5 per liter.
Di Indonesia, harga solar dex hari ini Rp 10.200, dexlite Rp 9.500, dan biosolar Rp 9.400. Banyak yang berpendapat bahwa harga BBM seharusnya bisa lebih rendah lagi. Sementara itu, harga jual solar nabati mungkin bisa mencapai Rp 14.000 atau lebih, lebih tinggi dari harga solar. Tanpa subsidi, campuran solar dengan solar nabati justru menjadi lebih mahal daripada solar biasa.
Perbedaan harga ini biasanya ditutup oleh dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) dengan dana yang dikumpulkan dari kutipan ekspor minyak sawit dan turunannya. Turunnya harga minyak dunia akibat berkurangnya permintaan pasar akan berdampak pada naiknya kebutuhan subsidi kepada solar nabati untuk membuatnya kompetitif melawan solar.
Semakin banyak solar nabati digunakan di Indonesia, akan semakin tinggi pula harga minyak sawit dunia, dan pada gilirannya semakin tinggi juga harga solar nabati di Indonesia. Harga produk pangan dan produk lain yang menggunakan minyak sawit juga akan naik. Saat produsen sawit menikmati harga yang lebih baik, konsumen bahan bakar dan bahan lain harus bersedia membayar harga solar nabati lebih mahal, atau pemerintah memberikan subsidi lebih besar.
Apa implikasi meningkatnya penggunaan solar nabati pada industri sawit kita? Pada 2019, konsumsi solar Indonesia kira-kira sekitar 16 juta kiloliter (16,2 miliar liter), lebih besar ketimbang kuota APBN 2019 sebesar 14,5 juta kiloliter. Kuota volume solar bersubsidi pada APBN 2020 adalah 15,3 kiloliter.
Sebelum pandemi, konsumsi solar diperkirakan akan naik. Dengan adanya pandemi Covid-19, konsumsi solar dan BBM lainnya turun drastis. Konsumsi solar pada Mei 2020 adalah 818.224 kiloliter, turun sekitar 40 persen dari 1.355.120 kiloliter pada Mei 2019. Melihat kecenderungan saat ini, tampaknya kuota APBN 2020 tidak akan terlampaui pada akhir tahun. Namun, pandemi adalah keadaan luar biasa yang sementara. Pasca-pandemi, konsumsi akan kembali meningkat. Di beberapa tempat, bahkan sudah mulai menggeliat naik.
Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pada 2019 Indonesia memproduksi 47,2 juta ton CPO dan 4,6 juta minyak inti sawit (palm kernel oil) yang merupakan produk ikutan CPO. Produksi ini dihasilkan oleh 14,7 juta hektar total perkebunan sawit di Indonesia, dengan produktivitas rata-rata 3,2 ton CPO per hektar.
Dari total produksi pada 2019 ini, 37,4 juta ton adalah untuk diekspor, 20 persen dalam bentuk CPO dan 80 persen sisanya dalam bentuk produk turunan, termasuk oleochemical (8 persen) dan solar nabati (3 persen). Sisanya, 16,67 juta ton, untuk dikonsumsi di dalam negeri. Konsumsi total pada 2019 meningkat 23,57 persen dibandingkan tahun sebelumnya, 3,49 juta ton.
Sekitar sepertiga (35 persen), yaitu 5,75 juta ton, dari 16,7 juta ton total konsumsi minyak sawit domestik Indonesia pada 2019 adalah untuk solar nabati. Sementara konsumsi untuk pangan 9,86 juta ton dan untuk oleochemical 1,05 juta ton, dengan perkiraan penghematan devisa sebesar 3,8 miliar dollar AS dari berkurangnya impor solar. Target serapan solar nabati tahun ini diharapkan mencapai 9 juta-10 juta kiloliter, di antaranya karena ada dorongan untuk mulai menggunakan B30. Jika itu tercapai, dapat menghemat devisa impor sebesar 5,4 miliar dollar AS.
Produktivitas lahan
Pada 2019, produksi solar nabati sebanyak 5,75 juta ton dihasilkan oleh 1,8 juta hektar perkebunan sawit, dengan produktivitas rata-rata 3,2 ton per hektar. Pada 2020, 10 juta ton konsumsi minyak sawit untuk solar nabati akan dihasilkan oleh 3,1 juta hektar perkebunan sawit.
Dengan asumsi produktivitas yang sama, untuk memenuhi seluruh permintaan solar sebanyak 15 juta kiloliter, atau 15 juta ton sepenuhnya dengan solar nabati, akan dibutuhkan 4,8 juta hektar perkebunan sawit. Ini hampir sepertiga dari luas perkebunan sawit yang ada.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI—Lahan perkebunan kelapa sawit PT Ramajaya Pramukti, grup Sinar Mas yang siap dilakukan peremajaan, Rabu (2/10/2019).
Inpres No 8/2018 mengenai Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit (dikenal dengan ”Moratorium Sawit”, ditandatangani 19 September 2018) membatasi pembukaan kebun sawit baru. Artinya, untuk memenuhi kebutuhan yang ada, jalan satu-satunya adalah meningkatkan produktivitas.
Untuk bisa menghasilkan 10 juta ton tambahan produksi sawit dari 47,2 juta ton menjadi sekitar 57 juta ton tanpa menambah kebun baru, produktivitas perkebunan harus ditingkatkan dari 3,2 ton menjadi 3,9 ton per hektar, atau peningkatan produktivitas lebih dari 21 persen.
Pada 2019, diperkirakan 8 juta hektar atau 54,7 persen perkebunan di Indonesia dikelola oleh swasta besar yang memproduksi 27,3 juta ton. Sementara 6 juta hektar atau 40,9 persen dikelola oleh perkebunan rakyat (smallholders) yang menghasilkan 16,2 juta ton. Sisanya, 0,63 juta hektar atau 4,3 persen, adalah perkebunan milik negara yang menghasilkan 0,63 juta ton. Ini berarti produktivitas perkebunan negara adalah yang paling tinggi, 3,67 ton per hektar, diikuti perkebunan besar swasta 3,39 ton dan perkebunan rakyat 2,69 ton per hektar. Sebagai perbandingan, produktivitas kebun di Malaysia adalah 3,7 ton per hektar.
Apakah dengan demikian diketahui untuk Perluasan kebun sawit tidak bisa dihindari? Jika kebutuhan itu dipenuhi dengan suplai suplai ekspor untuk kebutuhan dalam negeri, maka tidak dibutuhkan perkebunan baru, tetapi ini akan menaikkan harga minyak secara signifikan.
Apabila ekspor tidak berubah, dan penambahan produksi dalam negeri ini dipenuhi dengan penambahan, 15 juta ton minyak sawit khusus untuk solar nabati akan membutuhkan 4,7 juta hektar perkebunan. Bahan bakar nabati selalu diklaim sebagai bahan bakar yang berwawasan lingkungan. Namun, keputusan perluasan kebun sawit ini harus mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan yang signifikan.
Agus Sari, Pegiat Lingkungan Hidup.
Sumber: Kompas, 14 September 2020