Indonesia menyumbang 40 persen total ekspor dunia logam nikel dalam bentuk feronikel. Namun, potensi dan keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia belum menjamin industri nikel bisa tumbuh di tanah air..
Nikel kini menjadi perhatian dunia karena perannya sebagai bahan baku utama baterai untuk kendaraan listrik. Baja tahan karat saat ini menempati 70 persen pemanfaatan nikel dunia.
Indonesia memiliki sumber daya nikel terbesar di dunia, sekitar 27 persen dari total dunia. Bijih nikel juga mengandung logam kobalt (Co)—yang bersama nikel menjadi bahan baku baterai—dan skandium (Sc), bahan baku industri berteknologi tinggi (high tech).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bijih nikel merupakan tanah laterit di Sulawesi Tenggara, Tengah, dan Selatan; Maluku Utara; Maluku; serta Papua Barat. Kualitas bijih nikel Indonesia lebih baik dibanding Filipina dan Australia.
Indonesia juga dekat pusat permintaan nikel dunia, terutama China, Jepang, dan Korea. Kaledonia di Pasifik Selatan memiliki bijih nikel kualitas baik, tetapi kalah di faktor geografi dibanding Indonesia. Indonesia menyumbang 40 persen total ekspor dunia logam nikel dalam bentuk feronikel. Artinya, nikel kita kompetitif di pasar global.
Namun, potensi dan keunggulan komparatif ini belum menjamin industri nikel bisa tumbuh di Indonesia.
Kendala utama membangun industri berbasis sumber daya nikel adalah pendanaan, teknologi, dan pasar yang menyerap produk industri. Sayangnya, walaupun visi ekonomi saat ini ekonomi nilai tambah, pendanaan industri mineral dan logam belum dapat perhatian.
KOMPAS/ONE MAP ESDM INDONESIA—Pulau Kabaena, dengan tampilan puluhan perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), seperti tampak dalam portal ESDM One Map Indonesia. Luas total konsesi perusahaan tambang yang sebagian besar adalah perusahaan nikel ini menutupi lebih dari setengah dari luas wilayah yang hanya 870.000 hektar ini.
Peluang besar
Permintaan baja tahan karat tumbuh 4-5 persen per tahun. Kebutuhan nikel 2019 mencapai 50.000 ton. Pada 2030, dengan adanya kendaraan listrik, kebutuhan akan meroket. Menurut Badan Energi Dunia (IEA) mencapai 1 juta ton. Ini peluang bagi Indonesia.
Presiden Jokowi berkali-kali mengatakan, tak lagi mengekspor bahan mentah. Nikel adalah masa depan energi dunia dan Indonesia harus menjadi lumbung baterai dunia.
China saat ini pusat gravitasi suplai dan permintaan nikel dunia. China memproduksi 26 juta ton baja tahan karat (stainless steel) per tahun, 60 persen dari produksi dunia, sehingga China harus mengimpor bijih nikel dari Filipina dan Indonesia.
China mulai mengolah bijih nikel secara masif awal 2000-an. Sementara Indonesia sudah mulai 1976 dengan teknologi yang sama, yaitu tanur listrik (electric furnace).
Pelaku usaha diminta oleh Pemerintah China untuk memproduksi baja tahan karat dari nickel pig iron (NPI) dengan biaya murah dan semua produk dibeli pemerintah. NPI diproduksi dari hasil peleburan bijih nikel kadar rendah yang diimpor dari Indonesia dan Filipina. Bijih nikel Indonesia yang lebih baik kualitasnya sangat diminati karena biaya produksi NPI jadi lebih murah dan lebih bersih lingkungan.
Maka Indonesia harus membuat kebijakan yang memaksa investor datang ke Indonesia. Salah satu faktor penentu, yaitu keunggulan komparatif nikel Indonesia, harus dikombinasikan dengan kebijakan yang mewajibkan bijih logam hasil penambangan diproses di dalam negeri sebelum diekspor. Kebijakan ini ada dalam UU Pertambangan Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009 atau UU Minerba.
Akibatnya, banyak pabrik NPI di China pindah ke Indonesia. Dalam waktu pendek, lima tahun sejak 2014, Indonesia sudah jadi produsen terbesar NPI dan nomor dua stainless steel dunia. Indonesia menjadi negara pengekspor terbesar logam ini. Produksi nikel menjadi 450.000 ton. Sebelum ada UU Minerba hanya 90.000 ton.
Hilirisasi nikel paling maju dibanding logam lain, seperti aluminium, tembaga, dan besi. Bahkan, dalam waktu singkat sudah diproduksi baja tahan karat. Kebutuhan bijih nikel saat ini 50 juta ton per tahun. Nilai ekspor produk nikel 2019 sebesar 6,8 miliar dollar AS. Bandingkan dengan sebelum ada larangan ekspor bijih yang hanya 1,2 miliar dollar AS. Peran smelter dalam pertumbuhan ekonomi daerah sangat signifikan. Sulawesi Tengah, misalnya, dalam tiga tahun terakhir rata-rata 9,7 persen.
—-Slaq Dump atau tempat pembuangan dan pendinginan sisa pengolahan nikel di PT Vale di Sorowako, Luwu Timur, Sabtu (14/9/2013).
Sulawesi Tengah adalah provinsi penghasil dan pengekspor baja terbesar di Indonesia. Kluster ekonomi berbasis nikel tumbuh di Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Dalam waktu lima tahun ke depan lima pabrik bahan baku baterai akan selesai dibangun dengan kapasitas produksi setara 190.000 ton nikel, terbesar di dunia.
Sayangnya pemerintah melakukan kebijakan ”buka tutup ekspor bijih”. Ini tidak hanya bertentangan dengan UU Minerba, tetapi juga berdampak buruk pada industri nikel Indonesia. Produksi NPI di China sempat turun karena tak dapat pasokan bijih, tetapi dengan dibukanya ekspor 2017, industri nikel tumbuh kembali di China dan dampaknya Indonesia kehilangan pangsa nikel di pasar global. Setelah dievaluasi, pemerintah mengakui relaksasi ekspor bijih tak memberikan manfaat dan pasokan bijih ke smelter akan terganggu jika tak dibatasi jumlahnya.
Hampir semua proyek smelter pasca-UU Minerba 2009 dimiliki pelaku usaha dari China yang bermitra dengan pelaku usaha Indonesia. Hingga saat ini di Indonesia terdapat 61 tanur listrik impor dari China dan akan terus bertambah, dalam 3-4 tahun menjadi 100 tanur. Bandingkan dengan sebelum UU Minerba, hanya ada tujuh tanur. Namun, tanur baru itu tidak melibatkan pelaku usaha lokal dalam hal perancangan, pengadaan barang, dan konstruksi (EPC).
Sayangnya, teknologi impor enggan menggunakan bijih kadar rendah seperti smelter di China. Akibatnya, pemanfaatan bijih kadar rendah masih harus menunggu teknologi pelindihan atau hidrometalurgi agar Indonesia jadi negara penghasil bahan baku baterai terbesar.
Penguasaan teknologi
Pelaku usaha dalam negeri sebenarnya menguasai teknologi smelter. PT Antam, perusahaan pertama di Indonesia, mengenal teknologi RKEF sejak 1976, lebih dulu dari perusahaan China yang baru mulai awal 2000-an.
Bahkan, pada pembangunan Feni IV, PT Antam pernah melakukan pekerjaan EPC, membangun smelternya sendiri. Namun, Antam tak ekspansi besar-besaran membangun pabrik dengan produk NPI. Menjadi tantangan bagi BUMN untuk menunjukkan bahwa mereka bisa memanfaatkan bijih kadar rendah. Mengapa Antam atau Krakatau Steel tak membangun pabrik baja tahan karat, padahal menurut BPS, Indonesia mengimpor jenis baja ini sekitar 350.000 ton di 2019 dengan nilai 550 juta dollar AS?
Pasca-UU Minerba terbentuk semangat riset sangat tinggi di banyak lembaga penelitian dan perguruan tinggi dalam hal keahlian proses ekstraksi, dan pemanfaatan mineral dan logam.. Namun, hasil riset belum bersinergi dengan industri.
Kekhawatiran yang sering muncul di kalangan BUMN adalah mereka tidak boleh gagal dalam mencoba teknologi baru karena bisa menjadi persoalan, bahkan dianggap merugikan keuangan negara. Semangat inovasi tidak dibarengi dengan dukungan soft structure-nya dalam bentuk regulasi yang mengawal dan melindungi para inovator.
Pemerintah sebagai pengemban fungsi katalisator pembangunan sebenarnya dapat menugasi lembaga riset bersama BUMN membangun pabrik peleburan bijih nikel, pabrik bahan baku baterai, dan pabrik baterai mandiri, dari perancangan hingga konstruksi.
Dapat dikatakan bahwa gerbang hilirisasi sudah dibuka oleh UU Minerba. Namun, arah hilirisasi dibentuk oleh pelaku usaha asing karena mereka menguasai pendanaan, teknologi, dan pasar sesuai mata rantai industri di negaranya.
Penguatan ketahanan
Posisi Indonesia di dalam mata rantai nilai tambah dan suplai global (global value and supply chain) apabila tanpa kehadiran investor hanya sebagai pemasok bahan baku bijih dan sebagian logam nikel untuk industri manufaktur negara lain.
Pertama, untuk memperkuat ketahanan industri nikel pemerintah harus mendorong hadirnya industri baterai, bukan sekadar membangun pabrik bahan baku baterai. Pemerintah perlu mensyaratkan penggunaan nikel kadar rendah pada investor yang ingin membangun smelter feronikel atau NPI.
Kedua, perlu penataan izin usaha pertambangan. Perusahaan yang tidak beroperasi perlu ditinjau ulang dan membantu petambang berinteraksi bisnis dengan smelter.
Ketiga, saat ini Indonesia mengelompokkan sisa industri berupa slag ke dalam limbah beracun dan berbahaya (B3). Slag harus dikeluarkan dari daftar limbah B3, karena slag sudah banyak dimanfaatkan, bahkan ada unsur kimia yang bermanfaat seperti magnesium untuk pengembangan ekonomi sirkular (circular economy).
Pemerintah juga perlu membantu dan mengawal pengelolaan sisa industri dari pabrik bahan baku baterai yang menggunakan teknologi pelindihan, seperti atmospheric atau high pressure acid leach (HPAL).
Keempat, hasil industri nikel, seperti baja tahan karat dan NPI, belum sepenuhnya digunakan oleh industri manufaktur hilir dalam negeri. Industri di Morowali sudah melakukan promosi produk, tetapi belum ada respons dari pelaku usaha. Ini perlu dikaji penyebabnya.
Kelima, perlu ditumbuhkan keterkaitan yang kuat antara industri nikel dan UKM sebagai pemasok barang dan jasa pendukung. Keterlibatan UKM dan tenaga kerja lokal akan memperkuat dukungan sosial (social license) kepada industri.
Komparasi juga perlu dilakukan berkaitan dengan permasalahan tenaga kerja asing (TKA) di sejumlah lokasi smelter baru di Konawe (Sulawesi Tenggara), Morowali (Sulawesi Tengah), serta Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Pulau Obi di Maluku Utara.
Raden Sukhyar, Mantan Dirjen Minerba; Pemerhati Hilirisasi SDA.
Sumber: Kompas, 4 September 2020