Harapan Prematur Akhir Pandemi Covid-19

- Editor

Selasa, 25 Agustus 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sangat wajar masyarakat berharap pandemi segera berakhir. Namun, harapan ini terkesan prematur. Ini belum mempertimbangkan efek negatif faktor global lain, seperti mutasi virus, re-infection, atau perubahan siklus hidup.

Pandemi Covid-19 telah menjadi malapetaka global (global catastrophe). Efeknya ke mana-mana. Bukan hanya kesehatan, melainkan juga ekonomi, sosial, dan politik. Hanya dalam beberapa bulan, virus Covid-19 telah meruntuhkan aspek-aspek utama kemanusiaan. Di tingkat global, 213 negara telah terdampak dengan jumlah kasus 23,5 juta lebih dan lebih dari 812.000 kematian.

Di Indonesia, lebih dari 153.000 kasus terkonfirmasi dengan 6.600 lebih kematian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Efek catastrophe bukan hanya terjadi pada pandemi saat ini. Pandemi sebelumnya juga menyisakan mimpi buruk. Pandemi influenza pada 1918 menimbulkan malnutrisi masif, penyebaran sporadis berbagai penyakit, serta kematian 18 juta-50 juta orang. Pandemi flu Hong Kong tahun 1957 membunuh 1 juta-4 juta orang, sedangkan flu Rusia tahun 1977 menyebabkan 700.000-an kematian.

Besarnya magnitudo pandemi menyebabkan masyarakat diliputi ketakutan dan berharap pandemi segera berakhir. Pertanyaan yang sering muncul, bilakah pandemi berakhir khususnya di Indonesia?

Model prediksi
Sejak awal pandemi, para ahli telah menggunakan berbagai cara memprediksi perjalanan pandemi. Dengan menggabungkan data yang tersedia, teori-teori pandemi dan penyebaran infeksi, model matematika, serta profil kesehatan dan kapasitas suatu negara, para ahli mengembangkan metode peramalan, mekanis, dan hibrida yang selanjutnya menghasilkan model prediksi dan simulasi berbasis data (data-driven prediction and simulation model). Dengan model ini, mereka memprediksi puncak dan akhir Covid-19 di berbagai negara.

Sayangnya, model-model ini tak bisa memprediksi secara akurat perkembangan Covid-19. Prediksi model SUTD Singapura, misalnya, sebagian besar keliru. Model ini memprediksi Covid-19 akan berakhir di Inggris, Kanada, dan AS minggu pertama Juni. Kenyataannya, hingga saat ini ketiga negara masih berkutat dengan tingkat penyebaran infeksi yang tinggi.

University’s Washington Institute for Health and Metrics and Evaluation (IHME) merupakan salah satu model populer dan dijadikan referensi oleh banyak institusi di AS, termasuk Gedung Putih. IHME terpaksa berkali-kali merevisi prediksinya akibat kekeliruan estimasi. IHME memperkirakan total kematian di AS pada Agustus sebanyak 60.000. Padahal, awal Juli saja, jumlah kematian mendekati 150.000.

Paling tidak ada dua penyebab tak akuratnya berbagai model prediksi. Pertama, kompleksnya interaksi berbagai determinan. Meminjam Epidemiological Triangle Model, penyakit infeksi dan penyebarannya dipengaruhi tiga determinan, yaitu agent atau kuman (jenis, load, virulensi), host atau tubuh (usia, daya tahan tubuh, kebiasaan hidup, pengetahuan kesehatan), dan environment atau lingkungan (suhu, kelembaban, lokasi, fasilitas kesehatan).

Interaksi faktor-faktor ini menentukan apakah penyakit dan distribusinya makin memberat atau tidak. Berkaitan dengan Covid-19, beberapa studi melaporkan determinan yang lebih spesifik. Kepadatan penduduk memengaruhi penyebaran dan perlangsungan. Semakin padat penduduk, semakin cepat penyebaran virus dan semakin lama perlangsungannya. Physical distancing, pengetahuan dan kesadaran berpartisipasi mengurangi penyebaran pandemi. Infodemi atau tumpah ruahnya informasi tak akurat mengenai Covid-19 jadi kendala serius upaya membendung pandemi.

Kedua, tingkat keganasan Covid-19. Covid-19 merupakan strain baru dari virus golongan coronavirus. Masih banyak aspek virus ini yang belum diketahui.

Hingga kini, para ahli terus mempelajari secara detail nature, patogenesis, efek, dan pengobatan virus. Akibatnya, informasi dan strategi penanganan Covid-19 masih berubah-ubah. Beberapa bulan lalu, WHO menyatakan penyebaran virus hanya lewat droplet; saat ini aerosol juga jadi cara penyebaran. Hydroxychloroquine awalnya digunakan sebagai salah satu obat Covid-19; saat ini rekomendasi itu ditarik.

Kompleks dan beragamnya interaksi faktor-faktor di atas menjadi penyebab ketidakakuratan berbagai model prediksi. Sebuah model prediksi akan memiliki keakuratan tinggi jika variabel penentunya dan interaksinya diketahui dengan jelas. Dalam Covid-19 ini, syarat ini belum terpenuhi.

Prediksi di Indonesia
Sulit memprediksi kapan Covid-19 berakhir di Indonesia. Para ahli belum ada yang memberikan prediksi detail. Variabel yang memengaruhinya banyak dan kompleks. Namun, bila diharuskan memperkirakan secara kasar, kecil kemungkinan pandemi akan berakhir dalam waktu dekat. Periode 3-4 bulan mendatang belum cukup untuk membawa tren grafik Covid-19 menjadi normal.

Pertama, Indonesia terlambat melakukan langkah nyata penanganan Covid-19. Karena start lambat, finis pun akan lambat. Kasus Covid-19 pertama terkonfirmasi awal Maret dan pemerintah baru mencanangkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) awal April. Praktis, penanganannya baru 3-4 bulan. Saat ini, tren grafik epidemiologi masih menanjak dengan jumlah kasus tertinggi terjadi pada 9 Juli, yaitu 2.657 kasus. Setelah itu, jumlah kasus berfluktuasi meski tetap di atas 1.000-an, bahkan kini di atas 2.000-an.

Bila kasus 9 Juli diasumsikan sebagai puncak grafik Covid-19, berdasar the bell curve of normal distribution dari Covid-19, diperlukan setidaknya tiga bulan ke depan untuk tiba pada jumlah kasus di bawah 250-an. Artinya, jumlah kasus baru akan sangat rendah sekitar Oktober-November. Ini skenario terbaik, dengan asumsi semua kewaspadaan (standard precaution) kesehatan yang dipraktikkan saat ini tetap dilanjutkan.

Kedua, sejumlah kondisi menjadi kendala (barrier) perbaikan. Kendala pertama, adanya kebijakan relaksasi dan kebijakan new normal di tengah perkembangan Covid-19 yang belum membaik. Sejumlah studi melaporkan bahwa relaksasi prematur sangat berpotensi melahirkan ledakan eksponensial dan memunculkan gelombang kedua pandemi. Dari 21 negara yang melakukan relaksasi lockdown, 10 negara melaporkan kembali peningkatan signifikan kasus korona.

Kendala kedua, maraknya penggunaan rapid test. Saat ini, rapid test dijadikan keharusan (standard requirement) bagi orang yang ingin melakukan perjalanan dan mengunjungi instansi publik. Padahal, WHO dengan tegas menyebutkan rapid test hanya digunakan pada setting penelitian epidemiologi dan tidak untuk pengambilan keputusan medis.

Alasannya, sensitivitas tes ini hanya 34-80 persen. Artinya, dari 10 orang yang benar-benar positif, tes ini hanya bisa secara tepat mendeteksi 3-8 orang. Sisanya akan dianggap negatif meskipun sebenarnya positif (false negative). Orang dengan status false negative ini bebas ke mana-mana dan berpotensi menyebarkan penyakit.

Kendala ketiga, merebaknya infodemi, yaitu informasi yang tak terverifikasi keakuratan dan kebenarannya. Infodemi beragam, mulai dari bahwa Covid-19 adalah sebuah konspirasi, lahan bisnis petugas kesehatan, tak lebih dari sekadar flu biasa, hingga tawaran obat dan bahan penyembuh Covid-19, seperti kalung Covid, obat China, minyak kayu putih, dan jahe.

Infodemi ini menyebar luas lewat media sosial dan media lain dan menimbulkan kebingungan informasi. Masyarakat yang percaya dapat mempraktikkan perilaku dan tindakan kontraproduktif bagi penanganan Covid-19. Apabila barrier-barrier ini tetap ada, kecil kemungkinan pandemi akan berakhir 3-4 bulan mendatang. Paling tidak, butuh 6-12 bulan agar jumlah kasus benar-benar rendah. Ini skenario terburuk.

Sangat wajar masyarakat berharap pandemi segera berakhir. Namun, saat ini, harapan ini terkesan prematur. Secara kasar, dibutuhkan 3-4 bulan (best scenario) hingga 6-12 bulan (worst scenario) sebelum jumlah kasus baru di Indonesia jadi sangat rendah atau tak terdeteksi lagi (flatten the curve). Ini belum mempertimbangkan efek negatif faktor global lain, seperti mutasi virus, re-infection, atau perubahan siklus hidup dan virulensi virus.

Analisis di atas belum membicarakan efek jangka panjang pada berbagai bidang yang masih akan terjadi setelah kasus mereda (the after-effects of the pandemic).

Sebagian ahli memperkirakan efek ini dapat berlangsung beberapa tahun atau bahkan lebih lama. Ini senada dengan pesan Direktur WHO Dr Tedros Adhanom, ”Make no mistake: we have a long way to go. This virus will be with us for a long time”. Makin beralasan bahwa harapan pandemi segera berakhir dan semua kembali normal dalam waktu dekat merupakan harapan prematur.

Iqbal Mochtar, Dokter dan Pengamat Masalah Kesehatan

Editor: HARYO DAMARDONO

Sumber: Kompas, 25 Agustus 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB