Polusi udara dari sekitar Jakarta, yaitu Jawa Barat dan Banten, berkontribusi pada pencemaran udara di Ibu Kota. Pengendalian emisi antarwilayah diperlukan untuk menangani polusi udara lintas batas ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/RIZA FATHONI—Kabut inversi permukaan menyelimuti sebagian besar wilayah Jakarta pada Selasa (9/6/2020) pagi hari. BMKG menyebut hal ini disebabkan oleh adanya kondisi inversi di lapisan atmosfer yang merupakan fenomena biasa saat radiasi matahari belum menghangatkan permukaan bumi yang mendingin di pagi hari, tetapi hal ini dapat diperparah dengan adanya polusi udara.
Wilayah Banten dan Jawa Barat mengandung emisi udara sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan debu halus atau PM2,5 yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Jakarta. Sebagian besar polutan ini dihasilkan kegiatan industri dan energi seperti pembangkit listrik.
Hal tersebut terungkap dari laporan Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) terkait pencemaran udara lintas batas di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat yang dirilis secara daring, Selasa (11/8/2020).
Laporan itu menyebut, inventarisasi emisi di Banten dan Jawa Barat memiliki kadar dua hingga empat kali lipat lebih tinggi dari Jakarta. Ini terjadi karena terdapat 136 fasilitas industri termasuk pembangkit listrik beremisi tinggi.
Emisi sulfur dioksida dan nitrogen oksida yang dihasilkan dari aktivitas industri serta pembangkit listrik tersebut memiliki kadar tertinggi. Konsentrasi PM2,5 primer lebih banyak dihasilkan dari pembakaran pertanian dan perumahan serta kegiatan komersial.
Peneliti CREA, Isabella Suarez, mengemukakan, faktor meteorologi seperti lintasan angin memengaruhi penyebaran senyawa berbahaya tersebut ke wilayah lain, khususnya Jakarta. Adanya kiriman senyawa berbahaya dari luar daerah membuat kualitas udara di Jakarta semakin memburuk.
Pemantauan PM2,5 sepanjang tahun 2018 di Jakarta, terdapat 101 hari berkategori kualitas udara tidak sehat. Pada 2019, jumlah hari berkualitas udara tidak sehat meningkat menjadi 172 hari. Lalu, saat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) akibat pandemi Covid-19 sejak awal hingga pertengahan 2020, rata-rata kualitas udara di Jakarta berkategori sedang hingga tidak sehat.
Kepala Subbidang Informasi Pencemaran Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Suradi mengatakan, dari hasil pemantauan, di wilayah udara Jakarta terjadi pengurangan kecepatan angin. Penetrasi angin yang biasanya berembus hingga wilayah Bogor, saat ini hanya sampai wilayah Jakarta Selatan.
”Ini terkonfirmasi dari data PM2,5 Kedutaan Besar Amerika Serikat bahwa di Jakarta selatan konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dengan Jakarta Pusat maupun Jakarta Utara. Artinya, pengaruh angin lokal di Jakarta perlu diperhatikan,” ujarnya.
Belum optimal
Kepala Divisi Pengendalian Polusi Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Fajri Fadhillah menilai, pemerintah daerah melalui dinas terkait belum optimal dalam melakukan penegakan hukum terhadap industri yang menyebabkan polusi udara. Hal ini juga terlihat dari minimnya informasi terkait pengawasan yang dilakukan.
Padahal, menurut Fajri, pemerintah telah memperoleh berbagai rekomendasi untuk memperbaiki kualitas udara. Rekomendasi itu, antara lain, melakukan inventarisasi emisi, menerapkan strategi dan rencana aksi, menambah jumlah stasiun pemantau kualitas udara, hingga uji emisi kendaraan bermotor secara berkala.
”Udara di Jakarta sulit dipulihkan tanpa adanya upaya maskimal dari Pemprov Jabar dan Banten. Karena pencemaran ini sudah lintas regional, perlu adanya supervisi dan pengawasan dari pemerintah pusat untuk membantu tiga daerah tersebut,” ungkapnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 12 Agustus 2020