Ketidakpercayaan terhadap ilmu dan ilmuwan kian terasa di masyarakat yang lebih mengandalkan medsos sebagai sumber informasi, sementara respons tokoh-tokoh pemerintah dan parpol sering membingungkan.
Di tengah bencana atau wabah penyakit sebagaimana yang kita alami sekarang, ada dua situasi yang sering muncul. Pertama, ketidakberdayaan. Kedua, tawaran solusi masalah bencana berupa tokoh, barang, atau prosedur tertentu.
Cerita fiksi Decameron yang ditulis Giovanni Boccaccio tahun 1353 mengisahkan 10 orang muda yang melakukan isolasi sosial dengan pergi menjauh, menghindari wabah sampar yang tengah berkecamuk di kota Firenze, Italia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk menghibur diri di tengah isolasi sosial, ke-10 orang muda itu (7 perempuan, 3 laki-laki) melakukan kegiatan yang menyenangkan di vila-vila pegunungan luar kota dan saling berbagi cerita setiap hari hingga total terkumpul 100 cerita yang menarik.
Menghindar dari wabah bukan pilihan yang ditempuh oleh tokoh cerita La Peste yang ditulis oleh Albert Camus tahun 1947. Ketika ribuan tikus mati dan penyakit sampar menular dari orang ke orang dengan menyebarkan panik dan ketakutan, Dr Rieux (mewakili pemikiran absurd Camus) hanya melakukan satu hal, kepatutan (decency) menolong orang lain yang sakit sesuai dengan profesinya sebagai dokter. Kematian adalah satu-satunya kepastian bagi manusia, kata Dr Rieux.
Yang menarik tidak hanya pesan utama kedua karya sastra itu, tetapi narasi cerita keseharian bagaimana masyarakat menyiasati ancaman sakit dan kematian di tengah pandemi.
Infodemi kisah fiksi
Dalam Decameron diceritakan tentang para tabib terkenal memaparkan penjelasan-penjelasan yang kontradiktif dan rumit tentang wabah sampar yang tengah berlangsung. Diagram-diagram astrologi yang rinci dan membingungkan, teori-teori kompleks tentang keseimbangan cairan tubuh, kenyataannya tidak mampu menjelaskan kematian demi kematian yang terus terjadi.
Begitu pula dalam La Peste ketika kertas kian langka, koran lokal mengumumkan statistik kematian akibat sampar, tetapi kemudian beralih menjadi tempat memasang iklan penangkal racun sampar yang laris, tetapi tidak berdaya untuk mencegah kematian. Sebuah kafe di kota berusaha mendongkrak dagangannya melalui iklan: perlindungan terbaik melawan sampar adalah anggur pilihan.
Informasi yang membingungkan masyarakat (dinamakan infodemi) kian membanjir pada era pandemi Covid-19. Segera setelah WHO mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi, masyarakat dunia juga diingatkan tentang bahaya infodemi, yang membuat orang kian bingung dan tak mengambil langkah-langkah efektif mengendalikan wabah, tetapi justru menghabiskan biaya buat pilihan yang tak ada gunanya, bahkan mungkin membahayakan.
Tak berbeda dengan kisah-kisah novel puluhan bahkan ratusan tahun lalu, masyarakat dibingungkan oleh tawaran-tawaran solusi mengatasi pandemi saat ini.
Apakah kalung eukaliptus dapat mencegah infeksi virus SARS-CoV-2, apakah satu seloki arak setiap hari dapat menangkal virus, atau apakah minuman herbal yang dinamakan ”antibodi” dapat menghancurkan virus yang memasuki tubuh? Apakah berjemur lebih efektif mencegah penyakit dibandingkan dengan pakai masker? Itu semua pertanyaan-pertanyaan dalam kebingungan masyarakat.
Infodemi tidak hanya persoalan di Indonesia, tetapi juga masalah global yang dibahas dalam konferensi internasional oleh WHO pada April, Juni, dan Juli 2020. Presiden AS Donald Trump pernah menganjurkan penelitian apakah menyuntikkan disinfektan dapat mencegah Covid-19, yang mendapat reaksi keras dari para dokter.
Tak kalah membahayakan anjuran Presiden Trump dan Presiden Brasil Jail Bolsonaro untuk mencegah Covid-19 dengan obat malaria chloroquine tanpa pengawasan dokter. Walaupun pernah dilakukan uji klinis obat hydroxychloroquine dengan dukungan WHO, sekarang sudah dihentikan, bahkan penggunaan darurat pun tak dianjurkan akibat efek samping tak hanya gangguan irama jantung, tetapi juga kerusakan ginjal dan hati.
Infodemi tingkat tinggi memperkeruh upaya penanggulangan wabah global ketika Trump menuduh WHO antek China karena lambat dalam mengumumkan pandemi Covid-19.
Meluruskan misinformasi
WHO telah menyediakan akses untuk memperoleh informasi yang akurat dan mudah dipahami bagi masyarakat awam tentang pandemi Covid-19, misalnya melalui WHO Information Network yang menjelaskan tentang situasi penularan Covid-19 di dunia dan kriteria untuk tak lagi harus menjalani isolasi. Kerja sama WHO dengan Google, Facebook, Tencent, Baidu, Twitter, TikTok, Weibo, Pinterest dan lain-lain bertujuan menyaring informasi yang menyesatkan dan menampilkan informasi yang tepercaya.
WHO juga mengajak para influencer melalui Youtube dan Instagram untuk menyebarkan informasi yang didasarkan pada bukti. Tim peneliti khusus mendengarkan percakapan di media sosial, melakukan analisis sentimen, dan apa saja yang memengaruhi emosi negatif atau positif terhadap suatu persoalan terkait pandemi.
Analisis interaksi Facebook pada 100 juta orang dengan pelbagai pandangan berbeda tentang vaksinasi menunjukkan pola pengelompokan dan interkoneksi antara mereka yang mendukung vaksin, yang belum memutuskan, dan yang menolak vaksin.
Uji klinis vaksin masih berlangsung, belum ada vaksin yang dipasarkan, tetapi sudah dipetakan bahwa 4,2 juta orang yang antivaksin lebih terkoneksi dengan mereka (74,1 juta orang) yang masih belum memutuskan setuju atau tak setuju vaksinasi ketimbang 6,9 juta orang yang mendukung penggunaan vaksin untuk mencegah Covid-19.
Infodemi hadir secara struktural, bukan lagi informasi yang disampaikan secara acak. Pihak yang dianggap mengunggah konten informasi untuk memasarkan konsumsi herbal tertentu dan pihak yang mewakili masyarakat yang dinilai telah dirugikan oleh misinformasi itu telah saling melaporkan kepada polisi dan masing-masing memiliki pendukung cukup besar, terlepas dari persetujuan atas konten informasi itu sendiri.
Ketidakpercayaan terhadap ilmu dan ilmuwan kian terasa di masyarakat yang lebih mengandalkan medsos sebagai sumber informasi, sementara respons tokoh-tokoh pemerintah dan parpol sering membingungkan. Meluruskan infodemi tak cukup hanya dengan menyampaikan informasi yang dianggap benar berbasis bukti sekalipun disampaikan oleh tokoh formal ataupun informal yang berpengaruh.
Keyakinan, budaya, sentimen, emosi, dan kebiasaan masyarakat perlu diimplementasikan dan diperhitungkan dalam mengemas pesan yang efektif dan diikuti oleh masyarakat sebagai upaya mengendalikan penularan Covid-19 yang belum terbendung.
Hari Kusnanto, Guru Besar Departemen Kedokteran Keluarga dan Komunitas Fakultas Kedokteran, UGM.
Sumber: Kompas, 12 Agustus 2020