Layanan kedokteran yang presisi perlu didukung pula dengan penggunaan teknologi digital. Kombinasi antara mahadata dengan kecerdasan buatan dinilai dapat berdampak lebih besar pada pelayanan kesehatan masyarakat.
Pemanfaatan analisis mahadata kesehatan perlu ditingkatkan untuk mendukung pelayanan yang lebih baik. Selain untuk mengidentifikasi risiko kesehatan dari perilaku masyarakat, data ini juga bermanfaat untuk menentukan intervensi kesehatan yang tepat.
Wakil Direktur Riset dan Inovasi Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Budi Wiweko mengatakan, mahadata biasanya didasarkan pada data perilaku pasien yang mengakses fasilitas pelayanan kesehatan. Dari data tersebut, analisis akan dilakukan untuk memprediksi risiko kesehatan seseorang di masa depan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Big data (mahadata) yang terdiri dari data individu, data genetik, proteomik, dan metabolomik dapat mendukung pelayanan kedokteran yang presisi. Dengan begitu, akurasi, efektivitas pelayanan, serta keselamatan pasien bisa ditingkatkan. Diagnostik dan tata laksana penyakit pun lebih baik,” tuturnya.
Menurut Wiku, layanan kedokteran yang presisi perlu didukung pula dengan penggunaan teknologi digital. Kombinasi antara mahadata dengan kecerdasan buatan dinilai dapat berdampak lebih besar pada pelayanan kesehatan masyarakat.
Meski begitu, analisis mahadata untuk layanan kedokteran presisi harus didukung oleh beberapa syarat, antara lain infrastruktur teknologi informasi yang mumpuni dan terkoneksi serta perlindungan dari regulasi kesehatan. Untuk itu, dukungan dan komitmen pemerintah sangat dibutuhkan.
“Kapasitas dari tenaga kesehatan dalam memanfaatkan kecerdasan buatan juga perlu ditingkatkan. Setidaknya ada tiga hal yang harus dimiliki, yakni literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. Untuk menjadi tenaga kesehatan yang baik, kita perlu mengadopsi dan beradaptasi dengan teknologi terkini,” ujar Wiku.
Menteri Riset dan Teknologi/ Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang PS Brodjonegoro menambahkan, selain kemampuan untuk memanfaatkan teknologi, kemandirian dalam menghasilkan teknologi kesehatan juga perlu diutamakan. Indonesia kini masih bergantung pada produk kesehatan dari luar negeri.
—Persentase produk impor alat kesehatan dan bahan baku obat di Indonesia
Dari produk farmasi, misalnya, sekitar 95 persen bahan dasar yang digunakan berasal dari impor. Bahkan, nilai impor yang dikeluarkan terus meningkat setiap tahun. Kondisi ini juga terjadi pada sektor alat kesehatan. Meskipun industri alat kesehatan tumbuh sebesar 12 persen, sebagian besar alat yang digunakan masih diimpor yakni mencapai 90 persen.
“Percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan perlu dilakukan. Melalui program riset dan inovasi nasional 2020-2024, terutama yang berfokus pada riset kesehatan, diharapkan kemandirian bangsa bisa segera terwujud,” kata Bambang.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga Menteri Kesehatan periode 2014-2019, Nila F Moeloek menilai, ketergantungan bahan baku obat impor disebabkan karena kurangnya minat swasta dalam membangun industri bahan baku obat. Untuk itulah, pemerintah perlu mengintervensi agar riset dasar untuk bahan baku obat bisa ditingkatkan.
Peluang inovasi kesehatan di era pandemi Covid-19 bisa dimanfaatkan sebagai batu loncatan menuju kemandirian nasional. Percepatan hasil inovasi alat kesehatan bisa didukung dengan percepatan perizinan dari pemerintah. Itu bisa dilakukan dengan memberikan relaksasi uji klinis pada alat kesehatan yang tidak berisiko tinggi.
Selain itu, Nila menambahkan, tantangan lainnya adalah keterbatasan kemampuan sumber daya manusia untuk membuat alat kesehatan teknologi tinggi. Untuk itu, peran perguruan tinggi dan lembaga penelitian lain dibutuhkan untuk mengatasi persoalan ini.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, Sugihadi menuturkan, pemerintah juga perlu memastikan agar produk inovasi karya dalam negeri menjadi prioritas dalam pengadaan kebutuhan masyarakat. Setidaknya, jika rumah sakit pemerintah dan BUMN diwajibkan untuk membeli produk alat kesehatan dalam negeri, penyerapannya bisa sangat signifikan. Ini karena sekitar 80 persen pasar alat kesehatan dibeli dari anggaran APBN dan APBD.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 31 Juli 2020