Satu dari Tiga Anak di Dunia Keracunan Timbel

- Editor

Kamis, 30 Juli 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Studi terbaru menunjukkan, sepertiga anak-anak di dunia keracunan timbel, terutama yang berasal dari proses peleburan aki bekas yang tidak memenuhi prosedur. Keracunan timbel dapat merusak otak anak secara permanen.

KOMPAS/HARRY SUSILO—Petugas kesehatan mengambil sampel darah Ridho (12), anak penderita gangguan mental, di Kampung Cinangka Kaum, Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (20/9/2018). Gangguan mental yang dialami Ridho diduga salah satunya dipicu tingginya kadar timbal di lingkungan Desa Cinangka yang diakibatkan aktivitas peleburan aki bekas ilegal di kawasan tersebut.

Satu dari tiga anak di dunia atau sekitar 800 juta anak keracunan timbel, dengan kadar timbel dalam darah sebesar atau lebih dari 5 mikrogram per desiliter. Kadar timbal dalam darah dapat menyebabkan kerusakan otak anak yang tidak dapat diperbaiki.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Timbal bersifat neurotoksin, dan neurotoksin terutama berbahaya bagi bayi dan anak usia balita karena kerusakan otak pada masa ini berarti terjadi sebelum otak dapat berkembang secara penuh. Akibatnya, anak akan mengalami gangguan neurologis, kognitif, dan fisik sepanjang hidupnya.

Hal tersebut dipaparkan dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (UNICEF) dan Pure Earth yang diluncurkan di New York pada Kamis (30/7/2020). Laporan berjudul The Toxic Truth: Children’s exposure to lead pollution undermines a generation of potential ini merupakan laporan pertama di dunia yang meneliti keracunan timbel pada anak.

Laporan yang dimuat di situs unicef.org tersebut menyajikan analisis terhadap paparan timbel pada anak yang dilakukan oleh Institute of Health Metrics Evaluation (IHME). Analisis ini diverifikasi oleh sebuah penelitian yang sudah disetujui untuk dipublikasikan pada jurnal Environmental Health Perspectives.

Laporan ini menampilkan studi kasus dari lima negara, yaitu Kathgora di Bangladesh, Tbilisi di Georgia, Agbogbloshie di Ghana, Pesarean di Indonesia, dan Negara Bagian Morelos di Meksiko. Di lima negara ini pencemaran timbel dan limbah logam berat beracun lainnya telah berdampak pada anak-anak.

Penyebab utama keracunan timbel pada anak-anak tersebut, berasal dari proses daur ulang baterai atau aki kendaraan yang tidak memenuhi standar. Ini seperti yang terjadi di Desa Pasarean, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.

Sejak tahun 1970-an, desa Pasarean menjadi sentra daur ulang baterai bekas dan peleburan timah. Meski kegiatan peleburan telah dipindah ke zona industri sekitar 1 kilometer dari Pasarean sejak 2010, tetapi tumpukan sisa material di desa itu ternyata menjadi sumber polusi timbal.

KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA—-Tumpukan slag atau sisa pembakaran aki bekas ditumpuk di area peleburan aki bekas ilegal di Kampung Janada Inpres, Desa Jagabaya, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Senin (20/8/2018).

Pada 2015 Pure Earth mengambil sampel darah 46 warga yang tinggal dekat bekas smelter peleburan logam di desa itu. Hasilnya, 41 persen memiliki darah kadar timbel pada atau lebih besar dari 45 mikrogram per desiliter (?g/dL).

Menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (DSDC) Amerika Serikat, kadar timbel dalam darah sebesar atau lebih dari 5 µg/dL menyebabkan seseorang membutuhkan perawatan.

Meski tidak ada sampel darah diambil dari anak-anak, para peneliti Pure Earth mendengar berulang kali dari orangtua dan pihak sekolah di desa itu bahwa anak-anak mengalami masalah dalam menangkap pelajaran di sekolah. Beberapa melaporkan adanya kelainan fisik yang nyata dan cacat mental, serta keterlambatan perkembangan pada sejumlah anak.

Di Indonesia, kondisi serupa tidak hanya terjadi di Pasarean. Investigasi Kompas di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan Kabupaten Tangerang, Banten pada Oktober 2018 menemukan, kadar timbel dalam tanah dan darah warga di permukiman sekitar peleburan aki bekas sangat mengkhawatirkan. (Kompas, 15/10/2018)

Bahaya laten
“Keracunan timbel pada awalnya tidak menimbulkan banyak gejala, sehingga hal ini justru menjadi bahaya laten terhadap kesehatan dan tumbuh kembang anak dengan konsekuensi yang bisa jadi fatal,” ujar Henrietta Fore, Direktur Eksekutif UNICEF.

Selain berdampak merusak otak, paparan timbal pada anak juga telah dikaitkan dengan masalah kesehatan jiwa dan gangguan perilaku, serta peningkatan tindak kejahatan dan kekerasan. Dalam laporan itu disebutkan, anak-anak pada usia lebih tua menghadapi konsekuensi berat, antara lain peningkatan risiko mengalami kerusakan ginjal dan penyakit kardiovaskuler saat dewasa kelak.

Pada negara berpendapatan rendah dan menengah, paparan timbal pada anak diperkirakan menimbulkan kerugian senilai hampir 1 triliun dollar Amerika akibat hilangnya potensi ekonomi anak-anak terdampak racun timbal sepanjang usia mereka. Dalam laporan itu disebutkan, separuh lebih anak yang terpapar timbal berada di Asia Selatan.

Penyebab utama keracunan timbal pada anak-anak tersebut, berasal dari proses daur ulang baterai atau aki kendaraan yang tidak memenuhi standar. Ini terutama terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.

Kepemilikan kendaraan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah meningkat tiga kali lipat sejak 2000. Hal ini ditambah kurangnya peraturan dan sarana daur ulang aki mengakibatkan volume baterai kendaraan yang didaur ulang tanpa prosedur aman naik 50 persen.

Pekerja di usaha daur ulang aki membongkar wadah aki, menumpahkan debu asam dan timbal ke tanah, kemudian melebur sisa timbal menggunakan tungku pembakaran model sederhana yang terbuka. Pembakaran mengeluarkan asap beracun yang mencemari lingkungan sekitar. Seringkali, pekerja dan masyarakat yang terpapar tidak tahu bahwa timbal adalah neurotoksin yang keras.

(KOMPAS/RYAN RINALDY)—Seorang pekerja membelah slag atau limbah dari peleburan aki bekas yang masih mengandung timeal di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (20/8/2018). Sebagian warga masih menggantungkan hidupnya dengan bekerja di peleburan aki bekas ilegal. Setidaknya, pembelah slag bisa membawa pulang sekitar Rp 30.000 per hari.

Sumber-sumber lain paparan timbal pada anak-anak meliputi air yang berasal dari pipa-pipa berlapis timbal; timbal dari industri seperti pertambangan; cat dan pigmen yang mengandung timbal; bensin timbal; timbal solder dalam kaleng makanan; dan timbal di dalam bumbu-bumbu, produk kosmetik, obat-obatan tradisional, mainan, dan produk konsumer lainnya.

Paparan timbal juga bersifat tidak langsung. Orangtua yang dalam pekerjaannya terpapar timbal sering kali pulang dengan debu yang sudah tercemar menempel pada pakaian, rambut, tangan, dan sepatu, sehingga tanpa sengaja membuat anak-anaknya terpapar unsur beracun itu.

“Kini, timbal sudah dapat didaur ulang dengan aman tanpa membahayakan pekerja, anak mereka, dan lingkungan sekitar. Area-area yang tercemar timbal pun bisa dipulihkan,” kata Richard Fuller, Presiden Pure Earth.

Fuller mengatakan, masyarakat bisa diedukasi tentang bahaya timbal dan dilatih melindungi diri sendiri dan anak-anaknya. “Manfaat yang akan kita dapatkan dari hal ini (edukasi) luar biasa, kesehatan lebih baik, produktivitas meningkat, IQ lebih tinggi, tingkat kekerasan menurun, dan masa depan jutaan anak di dunia lebih cerah,” kata dia.

Di negara-negara berpendapatan tinggi, kadar timbal dalam darah telah turun drastis sejak bensin bertimbal dan produk cat yang mengandung timbal tidak lagi diproduksi. Namun, kadar yang sama pada anak di negara berpendapatan rendah dan menengah masih tinggi serta, dalam banyak kasus, menyentuh tingkat yang berbahaya walaupun produk bensin timbal sudah dihapuskan secara global sejak 10 tahun yang lalu.

“Informasi tentang seberapa luas polusi timbal, dan pemahaman tentang dampaknya yang merusak terhadap kehidupan seseorang dan masyarakat, diharapkan memicu tindakan segera untuk melindungi anak dan menghentikan fenomena ini,” kata Fore.

UNICEF dan Pure Earth mengimbau pemerintah di lima negara yang diteliti tersebut untuk segera menghapus praktik-praktik berbahaya, termasuk daur ulang baterai yang tidak sesuai prosedur.

Sumber: Kompas, 30 Juli 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 28 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB