Hepatitis masih menjadi ancaman kesehatan yang serius di Indonesia. Jika tidak segera dideteksi, penyakit infeksi tersebut bisa berlangsung menahun dan menjadi sirosis, bahkan kanker hati.
Hepatitis menjadi ancaman kesehatan di Indonesia, terutama hepatitis B yang menginfeksi 18 juta penduduk, dan menjadi sumber utama kanker hati. Dengan deteksi dini yang baik dan pencegahan melalui imunisasi, penularan penyakit ini seharusnya bisa diatasi.
”Virus hepatitis ada banyak ragam, yaitu A, B, C, D, dan E. Tiga jenis paling berpengaruh secara morbiditas, mortalitas, dan ekonomi ialah hepatitis A, B, dan C. Di Indonesia, paling banyak infeksinya ialah hepatitis B,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu, dalam diskusi daring yang diadakan Kalbe Farma dalam rangka Hari Hepatitis Sedunia, di Jakarta, Senin (27/7/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hepatitis merupakan peradangan sel hati yang bisa disebabkan infeksi virus, bakteri, atau parasit, dampak obat, alkohol, lemak berlebih, dan penyakit autoimun. Namun, sebagian besar penyakit ini disebabkan virus.
Secara global, penderita hepatitis mencapai 2 miliar orang, di mana 240 juta pembawa kronis, dengan risiko sirosis dan kanker hati. Sebanyak 75 persen penderita berada di Asia Tenggara dan Asia Timur dengan kematian 500.000-700.000 orang per tahun. ”Indonesia termasuk daerah dengan endemis sedang-tinggi hepatitis B,” kata Wiendra.
Mengacu data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013, Wiendra menyebutkan, prevalensi hepatitis B di Indonesia mencapai 7,1 persen atau berjumlah sekitar 18 juta penduduk. Sekitar 9 juta kasus di antaranya berkembang menjadi kronis dan 900.000 kasus berlanjut menjadi sirosis atau pengerasan hati dan kanker hati.
Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) Cabang Makassar Fardah Akil mengatakan, sebanyak 40-50 persen dari jumlah total kasus penyakit hati kronik di Indonesia disebabkan infeksi hepatitis B, 30-40 persen disebabkan hepatitis C, dan sisanya, 10-20 persen, akibat berbagai penyebab lain. ”Ini merupakan penyakit menahun, dari kondisi sehat sampai jadi sirosis dan kanker bisa dalam waktu 20-30 tahun,” katanya.
Untuk hepatitis A, lanjut Fardah, faktor risikonya terutama ialah fasilitas lingkungan. Adapun untuk hepatitis B, penularan yang dominan dari ibu ke anak, penularan dalam keluarga, serta riwayat penggunaan alat suntik dan transfusi. Sementara faktor risiko penularan hepatitis C meliputi, antara lain, transfusi darah, penggunaan jarum suntik tidak steril secara bergantian, dan orang dengan HIV.
Pencegahan
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia Andri Sanityo Sulaiman memaparkan, cara terbaik diagnosis hepatitis B ialah melalui tes darah. Jika seseorang tidak terinfeksi, pencegahan penularan penyakit tersebut bisa dilakukan dengan vaksinasi. Sementara orang yang didiagnosis terinfeksi virus itu harus segera menjalani pengobatan.
Deteksi dini hepatitis B menjadi sangat penting karena fase infeksi penyakit ini bersifat menahun. Jika diketahui setelah fase kronis, pengobatannya menjadi lebih sulit. ”Dengan cepat dideteksi, kita bisa mencegah perkembangan penyakit menjadi sirosis, mencegah kematian, dan transmisi virus,” katanya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN—Para petugas dari Dinas Kesehatan Kota Depok dan Puskesmas Cinere melakukan pengecekan dan investigasi lapangan terkait laporan penyakit hepatitis A yang menyerang warga di RT 1 dan RT 2/RW 1, Cinere, Depok, Jawa Barat, Rabu (28/8/2019).
Andri menambahkan, deteksi dini ini terutama diperlukan pada kelompok berisiko tinggi, seperti orang yang terpapar produk darah dalam pekerjaannya, staf di fasilitas untuk pasien retardasi mental, dan pasien yang menjalani hemodialisis atau cuci darah.
Kelompok masyarakat yang juga berisiko tinggi tertular virus tersebut ialah orang yang memiliki kontak seksual dengan pasien hepatitis B, homoseksual aktif, penyalah guna obat-obatan dengan suntik, petugas kesehatan, dan anak yang lahir dari ibu dengan hepatitis B kronik.
Andri menambahkan, vaksinasi hepatitis B cukup efektif. Ini merupakan vaksin pertama yang dinyatakan dapat mencegah kanker. Sejauh ini, hepatitis C belum ditemukan vaksinnya. ”Vaksinasi hepatitis B menghasilkan kekebalan tubuh terhadap hepatitis B, pada anak 100 persen dan dewasa 95 persen, serta bisa bertahan 10 tahun,” ujarnya.
Wiendra memaparkan, Kemenkes telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2017 tentang eliminasi penularan hepatitis B dari ibu ke anak pada tahun 2022. Salah satu upaya eliminasi itu ialah pemberian imunisasi hepatitis B secara gratis pada bayi berusia di bawah 24 jam atau HB O.
”Namun, penyakit ini masih menjadi masalah karena rendahnya kesadaran masyarakat. Hal ini dilihat dari kurangnya cakupan imunisasi pada bayi, padahal vaksin ini diberikan secara gratis,” ujarnya.
Menurut data Kemenkes, cakupan imunisasi HB 0 pada periode Januari sampai Juni 2019 hanya 49,7 persen dan hingga akhir 2019 sebesar 83 persen. Namun, dari periode Januari-Juni 2020, cakupan imunisasi HB0 baru 24,6 persen. ”Semoga sampai akhir tahun cakupan imunisasinya akan bertambah,” katanya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 28 Juli 2020