Pada Hari Hepatitis Sedunia 2020, Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) perlu diintensifkan di semua tingkat administrasi kesehatan, dilengkapi dengan sarana dan anggaran program yang bersangkutan.
Virus hepatitis (A, B, C, D, dan E) yang menyebabkan penyakit hati akut dan kronis telah menimbulkan masalah kesehatan besar. Angka kematian dunia yang tinggi (1,4 juta per tahun) setara dengan angka kematian karena HIV, tuberkulosis, dan malaria.
Hepatitis A dan E ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi virus hepatitis A dan E, menyebabkan jutaan penyakit hepatitis akut dan ribuan kematian setiap tahun. Kedua penyakit ini dapat sembuh tanpa menjadi kronis. Upaya menurunkan kasus dilakukan dengan memperbaiki sanitasi dan vaksinasi di beberapa negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berbeda dengan hepatitis A dan E, hepatitis B dan C merupakan penyakit akut yang dapat berlanjut menjadi kronis dengan jumlah tinggi (257 juta hepatitis B kronis dan 71 juta hepatitis C kronis). Kedua penyakit ini menyebabkan kematian yang juga tinggi (887.000 karena hepatitis B dan 399.000 karena hepatitis C), yang umumnya memicu sirosis dan kanker hati. Di samping itu, terdapat hepatitis D yang terjadi pada 5 persen penderita hepatitis B kronis.
Hepatitis B dan C ditularkan melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh penderita dengan angka penularan tertinggi saat kelahiran dan usia dini. Upaya pencegahannya adalah vaksinasi hepatitis B, penggunaan peralatan medis steril, skrining donor darah, dan pendidikan masyarakat tentang penggunaan alat-alat yang berisiko penularan (tato, pisau cukur, dan alat-alat pribadi yang dapat menyebabkan luka).
Kondisi Indonesia
Berbagai upaya telah dilakukan di Indonesia dalam 50 tahun terakhir berupa studi epidemiologi hepatitis B, skrining donor darah oleh Palang Merah Indonesia sejak 1992, dan Proyek Percontohan Vaksinasi Hepatitis B Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada bayi baru lahir di Lombok 1989-1992. Hasil proyek ini diterapkan di sejumlah negara dan dicanangkan sebagai Program Nasional di Indonesia tahun 1997.
Meski demikian, upaya penanggulangan belum menyeluruh di semua negara hingga awal 2010 Indonesia bersama Brasil dan Kolombia memelopori resolusi virus hepatitis. Resolusi ini diterima sebagai Resolusi Sidang Umum Kesehatan Dunia (World Health Assembly/WHA Resolution A63/18) pada 20 Mei 2010 bahwa hepatitis menjadi program prioritas dunia. Peristiwa ini segera diikuti semua negara.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang umum tahun 2015 menetapkan Sustainable Development Goals (SDG) 2016-2030 dengan ”memerangi hepatitis” sebagai salah satu target. Lalu WHO menetapkan Global Health Sector Strategy (GHSS) 2016-2030, yang menetapkan target eliminasi virus hepatitis pada 2030.
Respons Indonesia berupa Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 53 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Virus Hepatitis, mencakup upaya nasional, mulai dari promosi, preventif, sampai deteksi dan penanganan kasus. Disusul Permenkes Nomor 52 Tahun 2017 tentang Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari Ibu ke Anak.
Indonesia merupakan salah satu negara pertama di Asia yang memberi perhatian pada infeksi vertikal ini. Semua itu berhasil menurunkan prevalensi hepatitis B dari 9,4 persen (endemis tinggi) pada 2007 menjadi 7,1 persen (endemis sedang) pada 2013. Untuk pertama kalinya dilakukan studi seroepidemiologi hepatitis B pada 2 juta ibu hamil di 34 provinsi (2018 dan 2019) sehingga diperoleh angka nasional untuk program pencegahan infeksi vertikal hepatitis B.
Titik tengah
Tahun 2020 adalah ”titik tengah” perjalanan penanggulangan hepatitis virus, mulai dari ditetapkan sebagai prioritas kesehatan dunia pada 2010 sampai target eliminasi 2030.
Namun, pada 2020 terjadi pandemi Covid-19 sehingga tiga program prioritas terkena dampak: tertundanya kunjungan pasien ke fasilitas kesehatan sehingga kontinuitas pengobatan terganggu; pembatasan jam kerja yang mengganggu layanan kesehatan dan dialihfungsikannya sebagian perawatan (ruangan dan tenaga medis) untuk penderita Covid-19; serta terganggunya pelaksanaan program kesehatan masyarakat karena berkurangnya mobilitas, tenaga, dan ketersediaan logistik.
Meski demikian, upaya memerangi hepatitis dan pencapaian target eliminasi dalam sisa 10 tahun harus terlaksana. Hari Hepatitis Sedunia, 28 Juli 2020, merupakan momentum restrukturisasi strategi.
Strategi pertama adalah ”mikroeliminasi”, yaitu memprioritaskan program ke populasi spesifik dengan risiko dan prevalensi tinggi, misalnya kelompok pengguna obat suntik, narapidana, penderita dengan hemodialisis, anak sekolah, tenaga kesehatan, dan ibu hamil, tanpa mengabaikan program nasional (”makroeliminasi”).
Keunggulan mikroeliminasi adalah target realistik, intervensi lebih cepat, serta strategi sesuai ciri khas kelompok sehingga sarana dan biaya lebih akurat.
Strategi kedua adalah memfungsikan masyarakat sebagai pelaksana kegiatan, bukan hanya obyek program. Misalnya, partisipasi organisasi Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) untuk hepatitis C. Strategi ini disepakati dalam Universal Health Coverage Conference (Tokyo, 2017) yang menempatkan kelompok masyarakat sebagai pusat kegiatan (people-centered system).
Bentuknya adalah Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) yang ditetapkan dengan Instruksi Presiden Nomor 01 Tahun 2017), yaitu tindakan sistematis dan terencana, dilakukan bersama-sama untuk meningkatkan kualitas hidup.
Pada Hari Hepatitis Sedunia 2020, Germas perlu diintensifkan di semua tingkat administrasi kesehatan, dilengkapi dengan sarana dan anggaran program yang bersangkutan.
David Handojo Muljono, Deputi Penelitian Translasional Lembaga Eijkman; Ketua Komite Ahli Hepatitis dan PISP Kemenkes.
Sumber: Kompas, 28 Juli 2020