LEMBAGA penelitian di Indonesia masih menghadapi masalah klasik, yakni kebuntuan diseminasi hasil riset ilmu pengetahuan dan teknologi ke industri. Berbagai upaya ditempuh untuk menggandeng industri, tetapi tak berjalan. Kini dirintis jurus baru untuk memasukkan hasil riset ke industri.
Lembaga penelitian sesungguhnya telah lama ada di Indonesia, bahkan sebelum negeri ini merdeka. Pada masa kolonial Belanda pernah berdiri Veeartsenijkundig Laboratorium (1908) yang kini menjadi Balai Besar Penelitian Veteriner, Geneeskundig Laboratorium (1888) yang berubah menjadi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Dienst van het Mijnwezen (1850) yang kini bernama Badan Geologi, serta Besoekisch Proefstation (1911), cikal bakal Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember.
Pendirian laboratorium dan lembaga riset itu dirintis para periset dari Belanda, salah satunya Christiaan Eijkman, peraih penghargaan Nobel bidang fisiologi atau kedokteran tahun 1929. Mereka mengemban misi menginventarisasi sumber daya alam untuk dimanfaatkan bagi tujuan eksploitasi. Karena itu, berkembang perkebunan kopi dan kakao, tebu, karet, dan teh hingga ke tahap industri.
Pada masa kemerdekaan, semua lembaga dan industri dinasionalisasi. Namun, pengambilalihan tidak dibarengi dengan transfer teknologi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Upaya penguasaan iptek untuk berkiprah di lembaga riset dan industri pada masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto ditempuh lewat program beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke berbagai negara maju. Namun, proses itu tak mencapai target.
Lembaga riset dan industri strategis yang dirintis Soeharto, yang diharapkan dapat menjadi lokomotif pendorong industri dan ekonomi nasional, mengalami masa surut. Di sisi lain, industri yang umumnya milik asing di Indonesia tak memiliki keterikatan dan tak terjangkau lembaga riset Indonesia.
Setelah sekian lama terpuruk, kini dirintis upaya menjembatani lembaga riset dan industri. Hal ini untuk meningkatkan daya saing menghadapi Perdagangan Bebas ASEAN 2015.
Strategi baru
Kementerian Riset dan Teknologi meninjau ulang konsep triple helix, keterikatan akademisi, pebisnis, dan pemerintah (ABG) yang diterapkan sejak tahun 2004. Konsep ABG untuk meningkatkan daya saing industri berbasis iptek. Untuk memajukan industri dilibatkan komunitas iptek sehingga terbentuk sinergitas ABGC (Academic, Businessmen, Government, and Community).
Dari kerja sama itu terbentuk konsorsium untuk menghasilkan produk unggulan. Sejak tahun 2012 terbentuk antara lain Konsorsium Roket Nasional, Konsorsium Riset Vaksin, Konsorsium Mobil, Konsorsium Fuel Cell, Konsorsium Nanoteknologi, dan Konsorsium Mobil Listrik. Konsorsium Roket Indonesia menghimpun 14 pihak terkait dari sejumlah kementerian, lembaga riset, industri strategis, dan perguruan tinggi.
Untuk mendorong hasil riset masuk ke industri, Kementerian Riset dan Teknologi mulai tahun 2013 mengubah proses seleksi program insentif riset. Fokusnya pada usulan riset hilir yang dapat diterapkan di industri.
Hal sama dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang menggunakan peranti Teknometer untuk melihat tingkat kesiapan produk teknologi digulirkan ke industri. Teknometer akan menunjukkan skala prioritas kegiatan riset yang berprospek baik untuk diterapkan di industri.
Hanya usulan riset yang masuk kategori riset pengembangan yang didanai. Dengan Teknometer, ada penghematan anggaran riset iptek signifikan.
”Satu kegiatan riset bisa memerlukan lebih dari Rp 1 miliar per tahun,” kata Direktur Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi BPPT Asep Husni Yasin Rosadi.
Keterbatasan anggaran pemerintah dan kurangnya sinergi lembaga riset mulai diatasi Dewan Riset Nasional (DRN). Menurut Sekretaris DRN Iding Chaidir, untuk mencapai keterpaduan kegiatan riset iptek di lembaga penelitian nonkementerian (LPNK), litbang kementerian, perguruan tinggi, dan swasta akan dilakukan harmonisasi peraturan.
Selama ini, Kementerian Riset dan Teknologi serta LPNK menggunakan instrumen Kebijakan Strategis Nasional berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2003. Litbang kementerian menggunakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang diatur keppres tahun 2005. Lembaga riset mengajukan usulan program sendiri-sendiri ke Bappenas.
Mulai tahun 2014, perencanaan riset di lembaga riset perintah, swasta, dan perguruan tinggi akan menggunakan substansi hukum sama. Akan dilakukan koordinasi dalam lingkup nasional mengacu Agenda Riset Nasional tahun 2015-2019. Dengan demikian, akan terbentuk kebijakan satu pintu dalam program maupun penganggaran.
Pada diskusi yang diselenggarakan DRN pekan lalu, instansi terkait, yaitu Bappenas, Kementerian BUMN, dan Kementerian Ristek, sepakat memasukkan perencanaan riset iptek dalam siklus perencanaan pembangunan nasional di Bappenas. ”DRN bertugas memandu dan mengevaluasi kegiatan riset yang direncanakan lima tahun ke depan,” ujar Iding.
Tahun 2014 merupakan tahun pergantian pemerintahan. Ini merupakan masa krusial bagi keberlanjutan riset yang tengah berjalan. Pengalaman sebelumnya menunjukkan pergantian pemerintah bisa berdampak pada perubahan kebijakan.
Persiapan bagi bangsa ini semakin sempit untuk mendongkrak daya saing. Hanya dalam waktu kurang dari setahun Indonesia memasuki era pasar bebas ASEAN. Kita berharap, pimpinan pemerintah yang baru dapat membawa bangsa ini berdaya saing tinggi, maju, dan sejahtera.
Oleh: Yuni Ikawati
Sumber: Kompas, 19 Desember 2013