Cahaya bintang raksasa merah Betelgeuse meredup secara tiba-tiba. Fenomena itu diduga akibat munculnya bintik bintang superbesar dalias raksasa yang menutupi lebih dari separuh permukaannya.
KOMPAS/MAX PLANCK INSTITUTE FOR ASTRONOMY/GRAPHICS DEPARTMENT—Gambaran artis yang menunjukkan bintik bintang superbesar yang menutupi permukaan bintang raksasa merah Betelgeuse. Bintik bintang yang mencakup 50-70 persen permukaan Betelgeuse itu membuat kecerlangan bintang menurun. Selain itu, selama berputarannya, bintang akan melepaskan sejumlah gas ke lingkungan sekitarnya. Gas itu akan mengalami kondensasi hingga membentuk debu alam semesta.
Meredupnya cahaya bintang raksasa merah Betelgeuse secara tiba-tiba diduga akibat munculnya bintik bintang superbesar dalias raksasa yang menutupi lebih dari separuh permukaannya. Studi ini membantah dugaan sebelumnya yang menyebut pelemahan cahaya Betelgeuse itu dipicu oleh adanya awan debu yang mengelilinginya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Betelgeuse adalah bintang yang mudah diamati dari belahan Bumi selatan, termasuk dari Indonesia. Sesuai sebutannya, bintang raksasa merah, massa bintang ini 18-19 kali lebih masif dibandingkan Matahari, namun ukurannya 936 kali lebih besar dari ukuran Matahari. Jaraknya dari Bumi sekitar 640 tahun cahaya. Jika Betelgeuse diletakkan di posisi Matahari di Tata Surya, maka permukaan Betelgeuse akan sampai ke wilayah Sabuk Asteroid, daerah antara planet Mars dan Jupiter.
Betelgeuse merupakan bintang paling terang di rasi Orion atau rasi Waluku dalam mitologi Jawa. Warnanya yang merah cerah, termasuk dalam bintang terterang ke-10 di langit malam, serta posisinya di rasi Orion yang mudah ditandai membuat keberadaan Betelgeuse juga mudah ditemukan.
Di bulan Juli ini, Betelgeuse dan Orion sudah tidak dapat diamati setelah Matahari terbenam. Waktu terbaik untuk mengamati bintang dan rasi ini yakni pada akhir Desember hingga pertengahan Januari. Saat itu, lintang Waluku bisa disaksikan sepanjang malam. Masyarakat Jawa dulu meyakini, kemunculan Orion di timur setelah Matahari terbenam jadi tanda datangnya musim tanam hingga rasi ini dinamai Waluku atau Luku yang artinya bajak.
KOMPAS/KOMPAS—Masyarakat Jawa mengenal rasi Orion, tempat bintang Betelgeuse berada, sebagai Lintang Luku atau Waluku. Dulu, kemunculan rasi ini di langit timur selepas Matahari tenggelam menjadi tanda datangnya musim panen padi.
Sejak September 2019 lalu, sejumlah astronom mengamati kecerlangan bintang ini turun drastis. Turunnya kecerlangan itu memunculkan dugaan bahwa bintang ini akan segera mengakhiri hidupnya menjadi supernova.
Dalam teori evolusi bintang, bintang raksasa merah merupakan tahap akhir dari kehidupan suatu bintang untuk bintang-bintang seukuran Matahari. Karena itu, dalam beberapa miliar tahun lagi, Matahari juga akan mengembang menjadi bintang raksasa merah sebelum mati.
Namun sejak Mei 2020, kecerlangan normal bintang ini telah kembali. Situasi itu membuat sejumlah astronom menduga, penurunan kecerlangan cahaya bintang Betelgeuse sebelumnya akibat adanya debu tebal yang menyelimutinya hingga menghalangi cahaya Betelgeuse yang menuju Bumi.
Meski demikian, studi terbaru yang dipublikasikan di The Astrophysical Journal Letters pada Senin (29/6/2020) menunjukkan peredupan Betelgeuse itu dipicu oleh sesuatu hal yang ada pada bintang itu sendiri, bukan dari lingkungan sekitarnya.
KOMPAS/ESO/L. CALCADA—Betelgeuse adalah bintang raksasa merah yang juga merupakan bintang variabel. Cahayanya bisa berubah dari terang menjadi redup atau sebaliknya. Demikian pula ukurannya bisa menyusut atau mengembang. Kini, Betelgeuse meredup cahayanya. Sejumlah astronom menilai peredupan itu sebagai hal alami, namun ada pula yang menduga itu adalah tanda akan terjadinya supernova atau ledakan bintang.
Para peneliti menggunakan Teleskop James Clerk Maxwell (JCMT) yang ada di Hawaii, Amerika Serikat, untuk mengamati cahaya Betelgeuse dalam panjang cahaya submilimeter, panjang gelombang yang tidak bisa diamati mata manusia. Data yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan data pengamatan Betelgeuse selama 13 tahun terakhir, termasuk data submilimeter yang dperoleh Teleskop Atacama Pathfinder Experiment yang ada di Gurun Atacama, Chile.
Hasilnya, “Cahaya Betelgeuse berkurang 20 persen selama peredupannya, termasuk peredupan cahaya dalam panjang gelombang submilimeter,” kata pimpinan studi Thavisha Dharmawardena dari Institut Max Planck untuk Astronomi di Jerman, seperti dikutip Space, Rabu (1/7/2020).
Menurunkan suhu
Menurut Dharmawardena, peredupan sebesar itu tidak mungkin disebabkan oleh adanya debu di sekitar bintang. Namun, itu dipicu oleh perubahan dari dalam bintang. Peredupan itu telah menurunkan suhu rata-rata permukaan Betelgeuses dari 3.230 derajat celsius menjadi 200 derajat celsius saja.
Namun, penurunan suhu sebesar itu tidak terjadi merata di seluruh permukaan bintang. Citra resolusi tinggi Betelgeuse yang diperoleh pada Desember 2019 menunjukkan tingkat kecerahan permukaan Betelgeuse yang memang tidak merata.
“Ada indikasi munculnya bintik bintang yang mencakup 50-70 persen dari permukaan Betelgeuse yang teramati. Suhu di permukaan bintik bintang itu lebih rendah dibanding di permukaan lain bintang tersebut,” tambahnya.
Bintik bintang, mirip dengan bintik Matahari yang muncul berulang dalam periode tertentu, adalah bagian permukaan bintang yang lebih gelap dibanding sekitarnya dan memiliki medan magnet yang sangat kuat. Kemunculan bintik itu di Matahari akan memicu terjadinya badai Matahari dan lontaran material korona (coronal mass ejection).
Penelitian terhadap Betelgeuse masih akan dilakukan menggunakan JCMT dalam beberapa tahun ke depan. Studi itu untuk mengetahui lebih lanjut tentang karakter dan proses kematian bintang raksasa yang kematiannya akan berdampak besar pada lingkungan sekitarnya.
“Ledakan bintang-bintang raksasa seukuran Betelgeuse pada generasi sebelumnya telah menghasilkan berbagai unsur atau elemen yang ada di Bumi, termasuk yang ada di tubuh manusia, serta menyebarkannya ke seluruh galaksi Bimasakti melalui ledakan supernova,” kata peneliti senior JCMT Steve Mairs.
Berbagai unsur berat yang ada di Bumi dan alam semesta, termasuk emas, tercipta dari proses supernova atau ledakan bintang, juga oleh proses tabrakan dua bintang neutron. Materi itu kemudian tersebar di seluruh semesta. Jika ada satu pemicu, materi yang tersebar itu bisa membentuk bintang baru beserta planet-planetnya.
KOMPAS/ESO/DIGITIZED SKY SURVEY 2/DAVIDE DE MARTIN—Citra bintang Betelgeuse yang diperoleh dari Digitized Sky Survey 2 (DSS2). Betelgeuse adalah bintang terterang di rasi Orion dan bintang paling terang ke-10 di langit malam.
Proses itulah yang membuat Bumi memiliki emas. Dari kandungan emas yang ada di Tata Surya, seperti dikutip Kompas, 2 Agustus 2013, astronom memperkirakan Bumi setidaknya tercipta lebih dari satu kali supernova.
“Meski kita tidak dapat memprediksi kapan sebuah bintang akan meledak, namun dengan melacak perubahan kecerlangan cahaya bintang tidak hanya memungkinkan kita untuk lebih memahami evolusi bintang, namun juga membantu memprediksi apa yang akan terjadi di lingkungan kosmik kita sendiri,” kata Mairs.
Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 4 Juli 2020