Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia saat ini, tanpa mengurangi potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia masa mendatang.(Our Common Future)
TIGA belas tahun lalu, April 1987, World Commission on Environment and Development menyelesaikan tugasnya menyusun konsep pembangunan berkelanjutan. Dunia yang saat itu sedang dirundung kemelut lingkungan, segera menyambut konsep baru ini dengan penuh harapan.
Pemerintah Indonesia pun segera mengadopsi konsep tersebut.Pada bagian awalnya, laporan yang dikeluarkan komisi tersebut-yang berjudul “Our Common Future”-menyebutkan bahwa masih ada 5.000 hari sebelum datangnya abad baru. Selama 5.000 hari itu manusia menghadapi tantangan untuk menyelesaikan berbagai krisis, antara lain krisis akibat bencana alam yang cenderung terus meningkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada tahun delapan puluhan, sekitar 35 juta orang menderita akibat kekeringan di Afrika saja, dan puluhan juta lagi di India. Disamping itu, era menjelang lahirnya konsep Pembangunan Berkelanjutan juga ditandai oleh berbagai bencana lingkungan seperti tumpahan bahan kimia di Sungai Rhine, tidak terkendalikannya reaktor nuklir di Chernobyl Rusia, maupun kebocoran gas beracun di Bhopal India.
Kecenderungan kini
Kini, 5.000 hari sejak lahirnya konsep Pembangunan Berkelanjutan telah berakhir. Apakah lingkungan hidup menjadi semakin baik sejak berlakunya Pembangunan Berkelanjutan?
Dari media akhir-akhir ini saja bisa disaksikan, betapa besar bencana alam seperti kekeringan yang saat ini terjadi di India dan Benua Afrika. Di pihak lain, bencana banjir juga cenderung meningkat. Belakangan juga muncul kebakaran hutan di Amerika Serikat dan tumpahan bahan kimia di Eropa Timur.
Majalah Time baru saja mengeluarkan edisi khususnya (April-Mei 2000)tentang lingkungan hidup. Salah satu artikelnya yang berjudul “Condition Critical” melaporkan tentang kondisi lingkungan yang makin menurun, antara lain makin rusaknya lahan pertanian di berbagai negara, makin meluasnya “kawasan mati” di berbagai laut akibat aliran limbah kimia dari daratan, hancurnya dasar laut karena penggunaan pukat harimau, serta tingginya tingkat perusakan di sepanjang pantai.
Artikel tersebut juga mengetengahkan berbagai kecenderungan yang mengkhawatirkan; antara lain 50% lahan basah (wetland) sudah musnah, 58% terumbu karang dalam keadaan terancam, 80% grassland terancam penurunan kualitas, 20% lahan terancam menjadi padang pasir dan penyediaan air tanah makin menipis dimana-mana.
Sumber lain dari Vital Signs melaporkan pula tentang makin runyamnya situasi hutan. Antara tahun 1980 sampai tahun 1995, dunia kehilangan 200 juta hektar hutan, area yang luasnya kurang lebih sebesar republik ini.
Setiap tahun dunia juga masih kehilangan 16 juta hektar hutan. Sementara itu, Vital Signs menyebutkan pula tentang pengurasan sumber daya alam lainnya yang terus melaju serta bumi yang terus semakin panas.
Gagal atau sukses
Sebagai konsep, pembangunan berkelanjutan tidak memberikan panduan bagaimana mengukur keberhasilan pelaksanaannya. Walaupun demikian, tanpa harus terperosok dalam kenjlimetan definisi akademis, bisa dikatakan bahwa setelah tiga belas tahun, pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan pada tingkat global telah gagal.
Pada tingkat global kualitas lingkungan masih tetap menurun, sebagian besar manusia masih hidup jauh dari tingkat pemenuhan kebutuhan dan aspirasinya, sedang sebagian yang lain hidup di luar batas kemampuan lingkungan dan sumber daya alamnya.
Untuk menilai pada tingkat negara, kualitas lingkungan serta stok sumber daya alam yang menurun sudah dapat memberikan indikasi kegagalan pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Beberapa negara memang mempunyai kantong-kantong dimana kualitas lingkungan meningkat.
Namun pada umumnya, di negara-negara tersebut terjadi aliran masuk sumber daya alam dari negara-negara lain yang sumber daya alamnya terkuras. Hal ini hanya dimungkinkan karena negara-negara tersebut mempunyai kapital, teknologi serta sumber daya manusia yang besar, kuat dan canggih.
Amerika Serikat misalnya, yang penduduknya hanya 5% dari penduduk dunia, menggunakan 25% dari seluruh produksi minyak bumi; setengahnya diimpor dari negara-negara lain. Memang tidak mudah untuk menunjuk satu negara yang berhasil dalam pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan.
Kurang benar
Ada tiga kemungkinan yang kurang benar disini: kesalahan yang terletak sejak dari konsep, kesalahan strategi, atau kesalahan pada pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.
Pada tingkat konsep, walau ada beberapa kelemahan non-prinsip sebenarnya pembangunan berkelanjutan masih bisa dipertahankan, apalagi konsep alternatif tidak tersedia.
Pada tingkat strategi, yang bisa dideteksi baru kelemahannya. Karena kelemahan strategi inilah maka pelaksanaannya menjadi tidak efektif. Baik dokumen “Our Common Future” maupun tulisan-tulisan turunnya menyarankan berbagai strategi, tetapi tidak menyebutkan kekuatan apa yang harus diraih agar strategi tersebut mungkin dilaksanakan.
Kekuatan politik adalah “critical success factor” yang dilupakan. Berbagai agenda pelestarian tidak mungkin dilaksanakan tanpa kekuatan politik yang sangat besar karena harus bersaing dengan ratusan agenda nasional dan global lainnya.
Pada tingkat strategi, masalah kedua adalah tidak adanya sistim pertanggungjawaban. Mereka yang mengambil keputusan tidak harus bertanggung jawab atas akibat dari keputusan-keputusannya yang melanggar prinsip pelestarian. Dengan demikian maka seluruh konsep menjadi semacam imbauan.
Kedua masalah tadi menunjukkan bahwa dalam proses pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan, mereka yang ada di titik-titik strategis tidak diikutsertakan. Dengan demikian, konsepnya lebih condong kepada pencapaian suatu visi berdasarkan idealisme, bukan pragmatisme.
Namun untuk mengatasinya masih ada jalan. Paling tidak, ada tiga langkah yang perlu dilakukan. Yang pertama adalah menyadari kelemahan strategi pembangunan berkelanjutan. Yang kedua adalah menyertakan mereka yang ada di titik-titik strategis serta politisi yang pragmatis untuk menyusun agenda peningkatan kekuatan politik.
Ketiga, membuat kesepakatan tentang agenda tersebut di antara para pelestari dan pecinta lingkungan.
(Nabiel Makarim, mantan deputi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan)
Tulisan ini diambil dari Kompas Minggu, 4 Juni 2000