Di masa pandemi ini, harapan berada pada pundak peneliti untuk menemukan amunisi yang ampuh mengatasi Covid-19.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA—-Direktur Laboratorium Hepatika Bumi Gora yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Mataram sekaligus peneliti Mulyanto (kiri), mengawasi pembuatan prototipe alat tes diagnostik cepat (RTD) RI-GHA Covid-19 RDT IgG/IgM di Laboratorium Hepatika Bumi Gora di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin (1/6/2020).
Virus SARS-CoV-2 saat ini menjadi lawan utama bagi setiap peneliti dan ilmuwan di seluruh dunia. Para peneliti terus berupaya menyiapkan senjata pamungkas yang bisa melawan virus tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak seperti biasanya. Seluruh proses penelitian harus dikerjakan secara cepat dan tepat. Itu karena jika semakin lama senjata tersebut dihasilkan, semakin banyak pula masyarakat yang terdampak.
“Virus ini benar-benar sesuatu yang baru bagi kami para peneliti. Seperti banyak kejutan setiap kami mendalaminya. Namun, kami juga harus bisa cepat menghasilkan penelitian yang bisa melawan virus ini,” ujar Yulia Rosa Saharman, salah satu peneliti di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Yulia juga merupakan salah satu peneliti yang mendapatkan dana hibah penelitian dari Kementerian Riset dan Teknologi untuk melakukan analisis terkait deteksi kit untuk pemeriksaan pasien dengan Covid-19. Adapun judul penelitiannya terkait perbandingan analisis Real-Q 2019-nCov Detection Kit dengan Real Time PCR untuk penapisan pasien dengan Covid-19. Dalam penelitian tersebut, ia mendapatkan pendanaan sektiar Rp 46 juta.
Menurut dia, sebagai peneliti, meskipun sudah banyak penelitian terkait virus yang dilakukan, virus Sars-Cov-2 tetap menerik untuk dipelajari lebih dalam. Banyak hal baru yang bisa didapatkan, baik dari tingkah lakunya maupun karakteristik dari virus tersebut. Dengan mengetahui dan mengenal virus ini dengan baik, penanganan yang tepat pun akan lebih mudah dilakukan.
Penelitian terkait virus ini pun tidak seperti biasanya yang bisa dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Kebutuhan yang mendesak serta dampak yang besar membuat para peneliti harus bisa menghasilkan inovasi yang cepat. Namun, inovasi tersebut tetap harus memenuhi syarat ketepatan dan keamanan bagi masyarakat. Untuk itulah, kerja sama antarlintas lembaga serta dukungan penuh dari pemerintah menjadi sangat penting.
Hal ini sama dengan yang dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kecepatan untuk melakukan pemeriksaan spesimen juga menjadi kunci untuk penanganan pasien selanjutnya.
“Jika hasil pemeriksaan spesimen pasien lama, tata laksana pada pasien tersebut juga akan terhambat. Padahal, penanganan pada pasien bisa cepat agar penularannya tidak semakin luas, terutama pada pasien tanpa gejala,” tutur Yulia.
Secara terpisah, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang PS Brodjonegoro, menyampaikan, pandemi Covid-19 juga menjadi bukti bahwa dalam waktu yang singkat para peneliti dalam negeri mampu menghasilkan bebagai inovasi sampai ke tahap hilirisasi. Hal ini bisa terwujud apabila seluruh pihak bekerjasama dan fokus terhadap satu penelitian yang dibutuhkan.
“Jadi kita melihat, pandemi Covid-19 menjadi trigger untuk mewujudkan kemandirian bangsa di masa depan, terutama untuk membangun ekosistem industri alat kesehatan dan bahan baku obat,” tuturnya.
Selain itu, dukungan penuh dari pemerintah juga sangat menentukan keberhasilan dari suatu penelitian. Dukungan tersebut, mulai dari regulasi, pendanaan, dan pemanfaatan dari inovasi yang dihasilkan. Menurut Bambang, dukungan pemerintah sebagai regulator untuk pengadaan awal sangat mutlak dalam pengembangan suatu inovasi. Bahkan, ketika ada hasil inovasi dalam negeri yang bisa menggantikan produk impor maka itu harus harus jadi prioritas untuk dimanfaatkan oleh pemerintah, termasuk badan usaha milik negara.
Selain itu, gap komunikasi antara peneliti dengan industri juga menjadi kendala dalam hilirisasi riset selama ini. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan industri dan pasar. Hal inilah yang membuat sebagian hasil penelitian hanya sampai pada tahap prototype atau purwarupa dan tidak diproduksi secara berlanjut oleh industri.
“Kegiatan riset dan inovasi itu juga harus dikerjakan dengan pendekatan triple helix. Jadi sebagai pemerintah tugasnya adalah menfasiliiasi dan membuat regulasi yang memungkinkan peneliti dan industri bertemu sehingga peneliti bisa mengerti apa yang dibutuhkan industri; dan industri juga tahu apa yang dikerjakan oleh para peneliti di lembaga penelitian,” katanya.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Editor: DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 30 Juni 2020