Kolaborasi riset antarpihak terbukti membuahkan sejumlah inovasi sebagai solusi mengatasi kondisi darurat pandemi Covid-19 saat ini. Gairah bekerja sama ini diharapkan terus dipelihara hingga masa mendatang,
Kolaborasi riset antarpihak terkait yang saling mengisi terbukti membuahkan sejumlah inovasi sebagai solusi mengatasi kondisi darurat pandemi Covid-19 saat ini. Gairah bekerja sama ini diharapkan terus dipelihara menjadi atmosfer riset di masa mendatang.
Kepercayaan para pihak ini pun perlu terus dijaga sehingga mampu melahirkan inovasi yang bisa diterima pasar dan memiliki durabilitas panjang di pasaran. Kerjasama terfokus pada bidang tertentu yang menjadi kebutuhan bangsa pun menjadi pilihan strategi di tengah keterbatasan anggaran riset dan inovasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dari pandemi Covid-19, ada dua hal yang bisa dipelajari,” kata Bambang PS Brodjonegoro, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, dalam wawancara tatap muka daring kepada Kompas, Senin (29/6/2020).
Pertama, kata dia, pengembangan riset dan inovasi agar fokus pada penemuan dan produk yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Ketika sudah fokus, prosesnya menjadi terarah yaitu menghasilkan produk yang lolos berbagai pengujian dan sertifikat yang dibutuhkan.
“Soal Covid-19 ini kan jelas apa fokus kita, yakni mulai dari produk inovasi untuk pencegahan, deteksi, penanganan berupa obat dan terapi, dan alat kesehatan pendukung,” kata dia.
Pelajaran kedua, lanjutnya, dukungan pemerintah sebagai regulator dan sebagai pihak awal yang melakukan pengadaan akan hasil inovasi dinilai mutlak. Tanpa keberpihakan seperti itu, inovasi tak bisa berkembang di suatu negara.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Hammam Riza, Selasa dalam diskusi virtual, menunjukkan peningkatan keberhasilan penelitian maupun inovasi dilakukan lewat kerjasama pentaheliks. Maksudnya, riset dan inovasi melibatkan berbagai kementerian di pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga penelitian, industri, investor dan penyandang dana, serta organisasi non pemerintah termasuk media.
Ia mencontohkan pengembangan ekstrak daun jambu biji untuk meningkatkan daya tahan tubuh karena memiliki berbagai senyawa yang bisa meningkatkan imunitas terhadap virus SARS-CoV-2. Riset yang sedang disiapkan uji klinisnya ini dilakukan bersama antara Universitas Indonesia (UI), IPB University, PT Soho, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Wakil Ketua Sains dan Kebijakan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia Tatas HP Brotosudarmo, dihubungi di Jerman, mengatakan komunitas dan media perlu dilibatkan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini agar pola pentahelix bisa diwujudkan, tidak hanya triple helix antara peneliti, pemerintah dan industri seperti yang terjadi selama ini.
Komunitas sains dan peneliti perlu dilibatkan mulai dari penilaian riset atau pemberian dana riset. Hal ini untuk mengoptimalkan dana riset dan menghindari tumpang tindih.
Pelibatan komunitas sains dan peneliti beserta media juga bisa berperan dalam mengenalkan produk inovasi yang benar-benar bagus ke masyarakat. Ini agar produk dikenal, diterima dan dipercaya masyarakat, serta mampu bersaing dengan produk serupa dari luar negeri.
Perbaikan koordinasi antarlembaga itu juga penting untuk meneruskan kerja sama yang sudah terjalin selama ini dan membangun saling percaya diantara para pihak. “Jangan sampai peneliti diminta membuat inovasi tertentu, namun sistem pendukung lainnya tidak disiapkan dan dikoordinasikan, seperti sistem penganggaran dan pelaporannya,” ucapnya.
Selain itu, pelibatan industri dalam pengembangan riset dan inovasi juga perlu diperluas. Selama pandemi, pemerintah lebih banyak melibatkan badan usaha milik negara. Peran swasta maupun industri kecil dan menengah dilihatnya masih sangat kurang.
“Produksi alat pelindung diri dan masker sebenarnya bisa dikerjakan industri kecil dan menengah, namun mereka perlu didampingi hingga produk yang dihasilkan tetap terstandar,” katanya.
Pelibatan swasta dan industri kecil dan menengah itu juga untuk menjaga keberlangsungan ekonomi. Pola itu sekaligus bisa menjadi jaring pengaman sosial karena perekonomian masyarakat yang terdampak Covid-19 tidak dapat langsung pulih saat memasuki masa transisi seperti saat ini atau ketika pandemi nanti berakhir. Pelibatan itu juga bisa mendorong munculnya banyak teknopreneur baru seperti yang digadang-gadang pemerintah.
Ilmu dasar
Meski mengapresiasi kemunculan berbagai invensi dan inovasi selama pandemi, Tatas mengatakan inovasi tersebut umumnya masih bersifat ATM atau amati, tiru, dan modifikasi, bukan inovasi yang berbasis ilmu dasar. Ia menyebut, tidak ada yang salah dengan inovasi ATM, terlebih dalam situasi kedaruratan yang membutuhkan kecepatan, seperti saat ini.
Namun, diingatkan Tatas, produk inovasi model ini sulit untuk bertahan lama di pasaran, hanya sekitar 2-3 tahun. Produk ini juga akan bersaing dengan produk-produk impor yang berbasis pada riset dasar.
“Dalam persaingan global, persaingan antarproduk inovasi itu tak bisa dihindarkan,” kata Tatas yang juga Direktur Pusat Unggulan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Universitas Ma Chung, Malang.
Karena itu, inovasi berbasis riset dasar perlu terus didorong di Indonesia. Demikian pula relasi atau kerja sama yang lebih cair antara peneliti dari berbagai bidang keilmuan juga perlu diperluas.
Tatas menyebut contoh produk inovasi ATM diantaranya adalah inovasi obat rekombinan untuk melawan Covid-10. Produk sejenis ini tak bisa bertahan lama karena cepat atau lambat. Produk tersebut akan segera bersaing dengan produk negara lain yang didasarkan atas riset dasar dan telah menjalani uji yang panjang.
Riset dasar, diantaranya studi terkait SARS-CoV 2, virus penyebab Covid-19. Studi terkait karakter dan struktur proteinnya kurang didalami di Indonesia. RTG/TAN/MZW/ATK/ICH)
Oleh TIM KOMPAS
Editor: TIM KOMPAS
Sumber: Kompas, 1 Juli 2020