Berkat pelepasliaran yang dilakukan Iwan Kurniawan dan tim, jumlah lutung jawa di hutan Coban Talun dan Malang terus bertambah.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO—Iwan Kurniawan, Manajer Project Javan Langur Center-The Aspinall Foundation Indonesia Program, Malang, 15 Juni 2020
Iwan Kurniawan (47), lutung jawa, dan Coban Talun menjadi tiga hal yang tak terpisahkan. Sejak 2003, Iwan sudah mulai bersinggungan dengan lutung jawa. Langkahnya berlajut, setelah Coban Talun di Kota Batu, Jawa Timur, menjadi lokasi rehabilitasi salah satu primata itu sejak 2011 sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Masih kegiatan rutin sambil antisipasi Covid-19 sesuai protokol (kesehatan) yang ada,” ujar Iwan melalui Whatsapp, Minggu (14/6/2020). Dia menjawab pertanyaan Kompas mengenai aktivitas terbaru Javan Langur Center-The Aspinall Foundation Indonesia Program (JLC-TAFIP) di tengah pandemi yang belum kunjung usai.
Iwan terakhir melepasliarkan lutung jawa (Trachypithecus auratus) akhir Agustus 2019 lalu di kawasan hutan Coban Talun. Setelah itu belum ada rencana pelepasliaran lagi lantaran Covid-19. Namun kegiatan monitor secara intensif lutung yang telah dilepasliarkan di alam terus dilakukan. Di JLC saat ini juga masih ada 23 ekor lutung yang masih dalam proses rehabilitasi.
Sejak 2012 TAFIP bersama Balai Besar Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur telah melakukan sedikitnya 14 kali pelepasliaran dengan jumlah total lutung lebih dari 80 ekor. Pelepasliaran di hutan Coban Talun sebanyak 23 ekor dan hutan lindung Malang selatan 57 ekor.
Lutung yang dilepasliarkan di Coban Talun telah beranak-pinak hingga lebih dari 120 ekor. Padahal pada survei 2010 lalu jumlahnya tak lebih dari 40 ekor. Sementara itu, di Malang selatan, berdasarkan hasil pengamatan terakhir, jumlahnya telah berkembang lebih dari 153 ekor. Padahal saat survei 10 tahun lalu, jumlahnya tak lebih dari belasan ekor.
“Angka ini belum termasuk mereka yang tidak teramati. Pasti jumlahnya lebih banyak,” katanya.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO—Petugas dari Javan Langur Center The Aspinall Foundation Indonesia Program tengah memindahkan lutung jawa sebelum dibawa ke lokasi pelepasliaran di kawasan hutan Coban Talun, Batu, Jawa Timur, Sabtu (31/8/2019).
Setiap tahun TAFIP rata-rata melakukan dua-tiga kali pelepasliaran dengan jumlah dua-tiga kelompok kecil lutung per kegiatan. Satu kelompok lutung biasanya terdiri atas beberapa ekor yang mana di dalamnya terdapat satu pejantan dan lebih dari satu betina.
Sepanjang proses pelepasliaran itu pula Iwan, selaku Project Manajer JLC-TAFIP, selalu terlibat di dalamnya, termasuk mengantarkan mereka ke lokasi rumah baru di hutan. Iwan dan tim terkadang harus menggendong kotak berisi lutung, beberapa kilometer menerobos hutan.
Sebelum pelepasliaran, serangkaian proses dilakukan Iwan dan kawan-kawan, mulai menerima lutung serahan dari BKSDA Jawa Timur hingga kepolisian. Setiap tahun rata-rata ada belasan ekor yang masuk ke JLC, mereka berasal dari sitaan peliharaan warga dan perdagangan satwa dilindungi.
Setelah menerima lutung serahan, Iwan dan kawan-kawan mulai melakukan karantina hingga memasukkan satwa itu ke dalam masa sosialisasi. Begitu kondisi sudah memungkinkan, mereka baru dilepaskan setelah lebih dulu menjalani serangkaian pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh dokter hewan.
“Soal kendala, ada beberapa. Salah satunya terkait sifat liar mereka yang hilang lantaran telah lama dipelihara manusia. Bahkan ada lutung yang makanannya sama dengan pemilik, seperti roti, tempe. Ada pula yang kondisinya menyedihkan saat masuk kemari, masih kotor dan bau karena umurnya masih bayi. Kemungkinan mereka diambil paksa dari induknya di hutan,” tuturnya.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO—Petugas dari Javan Langur Center The Aspinall Foundation Indonesia Program tengah memasukkan pakan ke peti yang berisi lutung jawa sebelum dibawa ke lokasi pelepasliaran di kawasan hutan Coban Talun, Batu, Jawa Timur, Sabtu (31/8/2019).
Ayah dua orang anak ini mengaku penanganan soal perilaku satwa menjadi tantangan tersendiri. Penanganan perilaku tidak cukup hanya dengan standar perawatan baku tetapi perlu sentuhan “seni” tersendiri. “Kita harus punya dasar pemahaman tentang perilaku mereka. Jadi ada unsur seni di dalam merawat,” ujarnya.
Dari hampir 200 ekor lutung yang masuk ke JLC-TAFIP dan organisasi sebelunya, menurut Iwan ada beberapa ekor yang penanganannya cukup berkesan. Salah satunya lutung hasil sitaan dari seorang warga Jember di mana sang pemilik telah menganggap satwa itu layaknya anak kandungnya sendiri. Ia juga mengenakan popok bayi dan tidur satu ranjang dengan pemiliknya, seorang ibu.
“Jadi sudah pakai pampres, dikelolin sama ibunya. Waktu diminta oleh BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur), si ibu menangis. Saat dievakuasi, si ibu tidak tega dan ikut mengantar sampai sini. Tidak hanya itu. Sampai dua-tiga hari kemudian dia terus menanyakan kabar si lutung,” tutur pengajar Konservasi Satwa Liar dan Pengelolaan Habitat Satwa di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Malang itu.
Iwan yang mengelola JLC-TAFI sejak sembilan tahu lalu, belajar menangani lutung secara otodidak dan berbekal pada satu pengalaman ke pengalaman yang lain. Salah satunya soal makanan di mana kaliandra merah menjadi menu favorit mereka. Tanaman ini punya senyawa yang banyak dibutuhkan lutung dan sesuai dengan pencernaan mereka.
Sepak terjang
Keterlibatan Iwan dengan satwa endemik itu berawal sejak 2003. Saat itu, Iwan merintis berdirinya Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Petung Sewu bersama Rosek Nursahid selaku pendiri ProFauna Indonesia.
PPS bekerja sama dengan BKSDA Jawa Timur dengan spesifikasi penanganan hampir semua satwa dilindungi, salah satunya program rehabilitasi lutung jawa. Tahun 2008 PPS Petung Sewu kolaps namun program penyelamatan lutung jawa itu masih ada dan untuk sementara diambil alih oleh BKSDA.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO—Javan Langur Center-The Aspinall Foundation Indonesia Program di Coban Talun, Batu, Jawa Timur, Kamis (28/3/2019).
Tahun 2010 datang tawaran bantuan dari TAFIP yang berpusat di Inggris dengan catatan pengelolaan dilakukan oleh TAFIP. Iwan tidak keberatan asalkan program rehabilitasi lutung bisa berkelanjutan.
“Saya prinsipnya tidak apa-apa. Siapapun yang mengelola tidak masalah. Yang jelas program ini tetap berkesinambungan karena satwanya saat itu ada. Saat itu masih ada sekitar 15 ekor lutung ekor di PPS Petung Sewu,” ucap alumni Program Studi Ilmu Kehutanan, Minat Konservasi Satwa Liar, Universitas Gadjah Mada (S2) ini.
Sejak saat itulah rehabilitasi lutung diambil alih The Aspinall Foundation dan menjadi Pusat Rehabilitas Lutung Jawa Javan Langur Center sampai sekarang. Tahun 2011 dibangun fasilitas rehabilitasi di Coban Talun–di dalam hutan milik Perhutani—yang berada tidah jauh dari Taman Hutan Raya R Soerjo di kaki Gunung Arjuno-Anjasmoro.
Iwan Kurniawan
Lahir: Malang 25 April 1973
Istri: Erlis Sofila Raenisyah
Anak:
Aisha Aristapandya (13)
Raisha Putra Erwansyah (9)
Pendidikan:
SD Kesatrian 5 Malang
SMPN 16 Malang
SMA Muhammadiyah 1 Malang
Institut Pertanian Malang (S1)
Universitas Gadjah Mada (S2)
Oleh DEFRI WERDIONO
Editor: BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 18 Juni 2020