Pemahaman tentang keragaman virus, implikasi pada spesies tertentu, lokasi geografisnya, dan perilaku manusia adalah hal esensial untuk cegah potensi wabah zoonosis di masa depan setidaknya mengurangi dampaknya.
Dengan kejadian pandemi Covid-19 saat ini, kita mengingat kembali sejumlah pandemi yang terjadi di abad ke-20. Ada tiga pandemi flu abad ke-20, yaitu flu Spanyol 1918, flu Asia 1957, dan flu Hong Kong 1968. Flu Spanyol adalah pandemi terbesar di abad ke-20 dengan kematian diestimasi 50 juta orang. Dua pandemi terakhir berasal dari China dan meninggalkan jejak kematian sekitar empat juta orang di seluruh dunia.
Covid-19 adalah pandemi ketiga yang muncul di abad ke-21. Ada tiga pandemi yaitu severe acute respiratory syndrome (SARS) 2003, H1N1 flu babi 2009, dan Covid-19 sekarang ini. Di antara rentang waktu tersebut, dunia mengalami epidemi regional berkali-kali seperti Nipah 1998, West Nile Fever 2002, H5N1 flu burung 2003, Middle East Respiratory Syndrome (MERS) 2012, Ebola 2014, Zika 2015, dan Rift Valley Fever 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sumber alami
Seperti pandemi sebelumnya, virus Covid-19 yang telah menyebar ke seluruh dunia dianggap oleh para ahli dimulai dari suatu sumber alami. Meskipun spekulasi dan teori konspirasi yang banyak beredar di internet menyatakan virus Covid-19 bersumber dari laboratorium atau hasil rekayasa genetika, tak ada bukti ilmiah terutama tentang virusnya yang mendukung klaim ini.
Para ahli menyatakan, virus Covid-19 adalah produk dari seleksi evolusi alamiah dan sangat mungkin sumbernya adalah kelelawar, sama halnya dengan Ebola, SARS, MERS, Nipah, dan Marburg. Jumlah kasus Covid-19 meningkat sangat cepat karena penularan dari manusia ke manusia setelah diperkirakan adanya suatu introduksi tunggal ke populasi manusia.
Penelitian telah membuktikan bahwa Ebola menyebar dari kera dan kelelawar di Kongo, SARS dari musang dan kelelawar di China, MERS dari unta dan kelelawar di Arab Saudi, dan Nipah dari babi dan kelelawar di Malaysia. Begitu juga, flu babi berasal dari suatu peternakan babi di Meksiko, dan flu burung dari unggas di Hong Kong. Selain itu, yang menyebar melalui vektor, seperti West Nile Fever dari burung dan nyamuk di Uganda, Zika dari kera dan nyamuk di Uganda, dan Rift Valley Fever dari ternak dan nyamuk di Kenya.
Kelelawar mempunyai sistem kekebalan luar biasa yang memungkinkan mereka menjadi reservoir untuk banyak patogen yang tidak berdampak kepada kelelawar itu sendiri, tetapi berdampak secara dahsyat bagi manusia apabila patogen mampu membuat lompatan. Beberapa dari zoonosis tersebut adalah baru bagi manusia sehingga kita tidak mempunyai kekebalan untuk melawan patogen tersebut.
LAPORAN WWF INTERNASIONAL—Tabel berbagai penyakit menular akibat zoonosis yang ada pada laporan terbaru WWF berjudul The Loss of Nature and Rise of Pandemics: Protecting Human and Planetary Earth, Maret 2020.
Keseimbangan ekosistem
Peter Dazak, ahli ekologi penyakit, mengatakan 70 persen penyakit yang baru muncul pada manusia di abad ini bersumber zoonotik. Peristiwa kemunculan zoonosis adalah kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti evolusi genetik, perubahan demografi, kondisi lingkungan, atau perubahan iklim yang memengaruhi keseimbangan ekosistem.
Faktor pemicu dari kejadian zoonosis dapat dikategorikan dalam tiga kelompok. Pertama, kerusakan lingkungan karena deforestasi dan kehilangan habitat. Hal yang mendorong kehidupan satwa liar dan manusia menjadi lebih dekat, memicu pelimpahan patogen dari hewan ke manusia. Ebola, West Nile, Nipah, dan Zika masuk ke dalam kategori ini.
Begitu juga, ternak yang kontak dengan satwa liar dan menularkan patogen ke manusia, seperti Rift Valley Fever.
Banyak ahli epidemiologi merujuk kepada fakta mengenai China sebagai tempat munculnya Covid-19. Populasi penduduk 1,4 miliar, kedekatan antara penghuni kota dan desa, begitu juga rumah potong hewan dan pasar di kota di mana hewan disembelih. Sebanyak 14 dari 50 kota metropolitan di dunia yang paling padat penduduknya ada di China.
Kedua, praktik-praktik budaya terutama praktik mengonsumsi satwa liar eksotik, kadang-kadang juga yang mentah, bisa menyebarkan patogen baru ke manusia. Baik SARS maupun Covid-19 bersumber dari pasar satwa liar di China. Kita tahu praktik seperti ini memang tak terbatas hanya di China, tetapi juga di Afrika dan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
Sejak munculnya SARS pada 2003, di bawah tekanan global Pemerintah China melakukan pelarangan terhadap perdagangan dan konsumsi satwa liar, tetapi ditegakkan secara buruk. Baru pada 2018, Pemerintah China memberlakukan legislasi secara nasional. Hukum ini sekarang digulirkan lagi dengan munculnya epidemi Covid-19. Meskipun belum terlambat, masyarakat global membayar harga dari tindakan China yang abai.
FOTO: C. GOLDSMITH – PUBLIC HEALTH IMAGE LIBRARY #11098—Gambar berwarna dari virus 1918 yang diambil oleh mikroskop elektron transmisi (TEM). Virus 1918 menyebabkan pandemi flu paling mematikan dalam sejarah manusia, yang merenggut nyawa sekitar 50 juta orang di seluruh dunia.
Ketiga, peternakan intensif yang menyebabkan hubungan antarternak sangat dekat satu sama lain dan menjadi peluang untuk penyebaran patogen secara luas. Flu burung dan flu babi keduanya bersumber dari peternakan intensif.
Faktor-faktor di atas diketahui secara luas dan banyak negara di dunia memiliki legislasi yang diberlakukan untuk mengendalikan hal tersebut. Tetapi banyak juga negara-negara berkembang, seperti juga Indonesia, belum bertindak apa-apa terhadap isu ini.
Dalam dunia yang terglobalisasi, regulasi yang lemah dan implementasi yang buruk di satu negara dapat berpengaruh ke negara lain, seperti yang tergambarkan dalam kasus Covid-19.
”One Health”
Zoonosis telah membunuh jutaan orang dalam dua abad terakhir. Dunia menyadari bahwa mencegah lompatan virus dari hewan ke manusia dapat menyelamatkan ekonomi negara dan kehidupan manusia. Biaya ekonomi bisa berkisar dari beberapa miliar dollar dalam kasus epidemi regional sampai beberapa triliun dollar untuk pandemi. Ini bukan lagi suatu isu nasional, tetapi isu global dan memerlukan suatu respons yang juga bersifat global.
Indonesia mengalami epidemi flu burung dan SARS dalam dua dekade terakhir. Meski sifat virus keduanya berbeda, penting untuk diketahui sumbernya. Kumpulan virus yang berbeda akan terus bersirkulasi pada populasi hewan dan satwa liar.
Pemahaman tentang keragaman virus, implikasi pada spesies tertentu, dan lokasi geografisnya, bersamaan dengan pemahaman tentang perilaku manusia yang dapat meningkatkan risiko pelimpahan patogen ke manusia, adalah esensial untuk mencegah potensi wabah zoonosis di masa depan atau paling tidak mengurangi dampaknya. Begitu juga berguna sebagai hewan percobaan untuk calon vaksin.
Konsep One Health bertujuan untuk mencapai hasil kesehatan global yang lebih baik melalui pemahaman dan pencegahan risiko yang berasal dari keterkaitan antara manusia, hewan, dan lingkungan. Pendekatan multidisiplin diperlukan dalam implementasi program, kebijakan, dan penelitian, di mana bidang kesehatan, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan melakukan komunikasi dan kerja sama untuk memperkuat prediksi, pencegahan, dan kesiapsiagaan wabah zoonosis.
Tri Satya Putri Naipospos, Ketua 2 Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia.
Sumber: Kompas, 18 Juni 2020