Apabila berhasil, vaksin ini akan menjadi monumen terbesar bagaimana kerja sama penelitian biologi akademis, industri, pemerintah, dan donor bersatu menciptakan vaksin tercepat dalam sejarah manusia.
Pandemi Covid-19 telah membunuh lebih dari 400.000 orang dan menginfeksi 7 juta lebih manusia di seluruh dunia (data 8 Juni 2020). Sampai saat ini belum ada vaksin SARS-CoV-2 di dunia. Namun, seperti dilansir jurnal penelitian ternama, Nature, terdapat 90 jumlah calon vaksin SARS-CoV-2 yang sedang diteliti di dunia. Setidaknya, ada enam grup yang melakukan uji klinis vaksin pada manusia (salah satunya di Universitas Oxford) dan lebih banyak lagi yang melakukan uji klinis vaksin dengan hewan percobaan.
Biasanya pengembangan vaksin memerlukan waktu paling cepat empat tahun (vaksin tercepat dalam sejarah adalah vaksin gondok). Untuk situasi darurat Covid-19, diharapkan proses ini bisa dipercepat jadi 18 bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk mengetahui bagaimana vaksin SARS-CoV-2 bekerja, kita perlu mengetahui mekanisme bagaimana sistem imunitas manusia bekerja. Setelah mengerti mekanisme infeksi virus, kita bisa lebih memahami bagaimana para peneliti di seluruh dunia mendesain vaksin tersebut.
Sistem imunitas
Sistem imunitas manusia sangatlah kompleks, tetapi artikel ini coba merangkum secara sederhana mengenai sistem imunitas adaptif yang relevan untuk melawan infeksi SARS-CoV-2. Saat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) menginfeksi tubuh manusia, ia menempel di protein manusia ACE2 (dan dibantu enzim manusia bernama TMPRSS2) yang sering ditemukan di lapisan terluar sel paru-paru manusia. Proses penempelan ini dilakukan oleh protein virus yang disebut spike protein (protein inilah yang terlihat seperti mahkota atau crown sehingga disebut korona).
Setelah masuk ke dalam sel paru-paru manusia, virus ini punya dua jenis pekerjaan yang mesti dilakukan. Pertama, membajak mesin produksi protein milik manusia untuk memproduksi protein-protein yang dibutuhkan virus. Kedua, menyalin informasi atau genom milik virus sebanyak mungkin dalam bentuk untaian RNA.
Setelah kedua hal ini selesai dilakukan, partikel-partikel virus yang baru kemudian dibentuk dan siap diekspor untuk menginfeksi sel lainnya. Tidak semua RNA yang disalin digunakan untuk memproduksi partikel-partikel virus yang baru. Kelebihan RNA inilah yang dideteksi oleh tes reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) untuk mendiagnosis Covid-19.
Infeksi SARS-CoV-2 ini ditangani oleh kelompok sel imunitas manusia khusus yang disebut antigen presenting cells (APC). Salah satu anggota sel APC ini adalah sel makrofaga (artinya pemakan besar). Hal inilah yang memang dilakukan makrofaga: memakan secara utuh partikel-partikel SARS-CoV-2 (ataupun jenis patogen lainnya) dan memproses ancaman yang disebabkan oleh virus tersebut. Informasi intelijen inilah yang disebarkan ke kelompok sel lainnya bernama sel pembantu T (T-helper cells), disingkat T karena sel ini diproduksi di organ timus.
Selain aksi langsung makrofaga, anggota lain kelompok sel APC juga ikut membantu dengan cara mengenali sel-sel yang telah diinfeksi oleh patogen, kemudian memberi tahu informasi tersebut ke sel pembantu T. Sel-sel yang telah terinfeksi oleh virus dan tetangga sel tersebut biasanya memproduksi protein (seperti interleukin 6) yang menyebabkan peradangan, sebuah sinyal panggilan untuk sel-sel imunitas untuk segera mematikan sel-sel yang sudah diinfeksi patogen dan memakan patogen yang ada.
Peradangan berlebihan akibat sistem imunitas yang tidak seimbang inilah yang diduga sebagai penyebab utama mengapa banyak pasien yang terdampak SARS-CoV-2 kemudian meninggal. Ini disebabkan saluran pernapasan mereka buntu akibat terlalu banyak sel yang mati sehingga terjadi penumpukan cairan yang menghambat aliran oksigen ke paru-paru.
Informasi yang disebarkan sel pembantu T inilah yang menjadi mekanisme dasar bagaimana sistem imunitas adaptif kita bekerja. Pertama, sel pembantu T segera menstimulasi pembentukan sel T pembunuh, yang bertugas sebagai pembantu APC untuk membunuh sel-sel yang telah terinfeksi oleh SARS-CoV-2 saat ini dan saat di mana patogen tersebut datang lagi.
Kedua, sel pembantu T juga merangsang pembentukan sel khusus bernama sel B yang diproduksi di sumsum tulang. Sel B inilah pabrik yang memproduksi antibodi melawan patogen yang bekerja dengan cara menempel ke permukaan patogen untuk menghambat interaksi protein spike ke protein ACE2 (dalam contoh SARS-CoV-2) dan memberikan tanda ke sel imunitas supaya lebih mudah dikenali, lalu kemudian dihancurkan. Antibodi inilah yang juga diperiksa oleh tes cepat untuk mendiagnosis Covid-19.
Kekebalan tubuh atas suatu patogen akan terjadi apabila sistem imunitas kita dapat langsung memproduksi satu antibodi spesifik, yaitu jenis Immunoglobulin G (IgG), yang mengenal patogen tersebut tanpa menimbulkan reaksi inflamasi berlebihan. Pasien yang telah sembuh dari Covid-19 memiliki antibodi IgG anti-SARS-CoV-2 sehingga mereka kebal akan infeksi virus tersebut meskipun masih belum jelas berapa lama mereka akan kebal terhadap SARS-CoV-2.
Tujuan dan strategi
Imunisasi menggunakan vaksin SARS-CoV-2 bertujuan melatih sistem imunitas manusia untuk melawan virus ketika ia datang menginfeksi tubuh manusia. Jika sistem imunitas manusia sudah terlatih, ada kemungkinan besar manusia yang terinfeksi SARS-CoV-2 tak mengalami gejala berat dan mengurangi risiko kematian.
Ada empat strategi yang digunakan untuk mendesain vaksin SARS-CoV-2. Semua strategi ini belum menyelesaikan uji klinis sehingga efek sampingnya belum diketahui.
Pertama, strategi menggunakan SARS-CoV-2 yang sudah dilemahkan. Virus yang diisolasi dapat dilemahkan dengan dua cara: mengedit genom RNA-nya sehingga ia tak dapat berkembang secara efisien di dalam tubuh manusia atau dengan ”mematikan” virus itu dengan suhu tinggi atau zat kimia, seperti formaldehyde.
Strategi ini sudah lazim digunakan untuk vaksin campak atau polio. Vaksin jenis ini diharapkan menstimulasi sistem imunitas adaptif tanpa menimbulkan gejala parah Covid-19. Saat ini, perusahaan Codagenix di AS dan Sinovac di China tengah meneliti perkembangan vaksin menggunakan strategi ini.
Strategi kedua, menggunakan virus lain yang jauh lebih aman ketimbang SARS-CoV-2 sebagai vektor, dengan cara memasukkan genom RNA milik SARS-CoV-2 ke dalam ”pakaian” virus jinak, seperti virus campak yang dilemahkan. Vektor virus diharapkan mampu menstimulasi sistem imunitas manusia melawan Covid-19. Teknik ini seperti menciptakan vaksin malaria yang tengah dilakukan di Oxford, Inggris.
Cara ketiga untuk mendesain vaksin ialah memperkenalkan protein milik virus secara langsung ke manusia. Teknik ini lazim dilakukan dalam vaksin melawan penyakit hepatitis B. Protein virus, seperti spike, diproduksi di tabung reaktor industri, dimurnikan, dan disuntikkan ke tubuh manusia. Harapannya, sel imunitas dapat mengenali protein ini secara langsung dan melatih sistem melawan SARS-CoV-2.
Masalah dengan vaksin berbasis protein adalah potensi dosis berulang yang membutuhkan lebih banyak waktu dan biaya lebih daripada vaksin satu kali dosis. Namun, uji coba klinis menggunakan monyet memberikan dampak, vaksin ini dapat menimbulkan kekebalan tubuh.
Vaksin berbasis asam nukleat, seperti RNA dan DNA, juga sedang dikembangkan oleh beberapa tim peneliti, termasuk dari perusahaan farmasi Lonza dari Swiss. Saat ini belum ada vaksin penyakit apa pun yang berbasis asam nukleat. Strategi vaksin berdasarkan asam nukleat bekerja dengan cara menciptakan susunan RNA atau DNA yang mengandung beberapa informasi (tetapi tidak seluruhnya) yang dibutuhkan untuk memproduksi protein milik SARS-CoV-2, diperkenalkan ke sel manusia, lalu sel tersebut memproduksi protein virus untuk menstimulasi sistem imunitas.
Keuntungan besar vaksin berdasarkan asam nukleat, secara teori, membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk diproduksi secara massal. Namun, belum ada studi untuk mengetahui betapa efisien dan efek samping dari vaksin asam nukleat.
Dunia tanpa vaksin
Harapannya, akan ada lebih dari satu jenis vaksin yang aman. Ibarat bermain sepak bola di masa perpanjangan waktu, tim yang memainkan lebih dari satu penyerang memiliki peluang lebih besar mencetak gol. Walaupun begitu, kita berharap perpanjangan waktu ini digunakan sebaik-baiknya untuk meriset secara teliti uji klinis vaksin dan menyusun strategi untuk memproduksi vaksin secara massal. Menciptakan 4,6 miliar dosis vaksin (60 persen penduduk dunia) bukanlah hal mudah dan butuh koordinasi besar-besaran seluruh dunia.
Apabila berhasil, vaksin ini akan menjadi monumen terbesar bagaimana kerja sama penelitian biologi akademis, industri, pemerintah, dan donor bersatu menciptakan vaksin tercepat dalam sejarah manusia untuk mengatasi pandemi Covid-19. Sebelum era pandemi Covid-19, ada kecemasan pada segelintir masyarakat dunia yang meragukan pentingnya vaksinasi. Alangkah ironis, Covid-19 memberikan contoh ekstrem di mana penyakit berbahaya tanpa vaksin dapat meruntuhkan tatanan publik dan perekonomian dunia.
(Vincentius Ajikusumo, Doktor Biokimia Universitas Cambridge dan Anggota Inovator 4.0 Indonesia)
Sumber: Kompas, 12 Juni 2020