DAPAT disimpulkan bahwa sistem penulisan skripsi pra-1958 dibimbing oleh gurubesar yang masih sedang giat-giatnya menimba ilmu. Sebelumnya penulis skripsi itu sudah dilandasi oleh penguasaan pengetahuan ilmu dasar dan profesional yang kuat, yang diberikan oleh gurubesar-gurubesar yang tahu apa yang harus diajarkan olehnya. Proses pendidikan ini dapat diterima oleh mahasiswa itu karena di SMA dan di dua tahun pertama tingkat Propaedeuse ia sudah mengalami saringan yang ketat. Hasil pendidikan yang diakhiri dengan pembuatan skripsi itu membuatnya menjadi lulusan perguruan tinggi yang siap menjadi ilmuwan, sehingga ia diberi status doctorandus dalam bahasa Belanda atau doktorand dalam bahasa Jerman, yang artinya ialah ‘calon doktor’. Yang harus dipertanyakan lebih lanjut ialah apakah yang harus dilakukan suatu universitas kalau universitas itu kekurangan tenaga akademik yang berpengalaman, kekurangan sarana laboratorium, kekurangan sarana perpustakaan, dan sebagai akibatnya kekurangan suasana kehidupan akademik, baik di dalam maupun di luar kampus? Apa pula yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi itu kalau lulusan SMA di Indonesia sudah tidak lagi tersaring untuk tujuan mengikuti pendidikan tinggi sehingga berbagai jurusan di berbagai perguruan tinggi akhirnya dijatahi lulusan SMA yang mengikuti istilah Pater Drost S.J. termasuk kelompok-baya di bawah kuartil ketiga di dalam populasi atau lebih parah lagi dari kelompok di bawah median atau mungkin juga kuartil pertama. Apa lagi yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi kalau pendapat umum ialah bahwa yang salah adalah perguruan tinggi kalau perguruan tinggi itu terlalu banyak menghasilkan mahasiswa abadi.
Suasana seperti inilah yang merebak mulai pada awal dasawarsa enampuluhan karena semua gurubesar Belanda yang memiliki tugas-kerja ikatan pendek di Indonesia tidak lagi diperpanjang kontrak-kerjanya, sedangkan anggaran sarana pendidikan menjadi sangat terbatas, dan banyaknya mahasiswa meledak karena saringan di SMA sudah tiada. Keadaan itu bertambah parah pada tahun 1965 menjelang meletusnya peristiwa G-30-S.
Sewaktu saya kembali dari Amerika Serikat dan kemudian diangkat menjadi pejabat sementara Dekan Fakultas Pertanian IPB pada akhir Maret 1966, saya dapati bahwa semua mahasiswa tingkat insinyur masih harus menulis empat skripsi sedangkan skripsi ditulis dengan bahan kepustakaan yang sama itu serta dengan judul yang hampir sama. Demikian pula laporan praktek melaporkan kegiatan BIMAS dalam bentuk buku sehingga yang perlu diubah dari laporan ke laporan hanyalah nama tempat praktek serta data potensi daerah praktek itu. Pada tahap perkembangan seperti ini penulisan skripsi sudah berubah menjadi suatu formalitas saja. Tindakan untuk mengatasi hal itu ialah dengan mengubah isi skripsi menjadi karya tulis ilmiah yang berdasar percobaan. Mahasiswa hanya diwajibkan membuat satu skripsi yang melaporkan suatu proyek penelitian atau proyek survai lapangan yang kecil. Pembimbingannya diserahkan kepada suatu komisi terdiri atas dua hingga tiga orang dosen. Bagi sebagian kecil mahasiswa aturan itu membuatnya lebih cepat lulus, akan tetapi bagi sebagian besar mahasiswa aturan itu membuat mereka menjadi mahasiswa abadi. Ketika saya diangkat menjadi Direktur Pendidikan Sarjana pada tahun 1970, lebih separuh dari populasi mahasiswa IPB terdiri atas mahasiswa tingkat sarjana yang belum menyusun skripsi. Hambatan datang baik dari pihak mahasiswa itu sendiri maupun dari pihak pembimbing. Ternyata banyak mahasiswa kesulitan mendapat pokok bahasan penelitian karena tidak mampu menemukan pernyataan penelitian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini kemudian sering diperparah karena dosennya pun sudah tidak meneliti atau mengikuti perkembangan ilmu dalam bidangnya secara aktif sehingga tidak mampu menyarankan masalah penelitian apa yang baik diteliti pada peringkat Insinyur yang ketika itu hendak disetarakan dengan program Magister. Dengan memperpanjang waktu belajar menjadi enam tahun pun keadaan itu tidak dapat ditolong untuk sebagian besar mahasiswa karena masalahnya bukannya terlalu pendeknya waktu melainkan kurang dikuasainya masalah penemuan pertanyaan penelitian baik oleh dosen pembimbing maupun oleh mahasiswa.
Proyek perintis sarjana S-1
Kejadian-kejadian seperti di ataslah yang menjadi latar-belakang berkembangnya ide mengadakan program S-1 yang terdiri atas 8 semester dan dianggap sebagai proyek perintis. Karena di SMA berlainan halnya dengan di Amerika Serikat mata pelajaran Matematika, Kimia, Fisika, dan Biologi diwajibkan untuk Jurusan B sedangkan IPB menerima mahasiswa dari lulusan SMA-B, diharapkan bahwa lulusan Program S-1 IPB akan mempunyai dasar yang lebih kokoh dari program B.S. di Amerika Serikat.
Perlu kiranya direnungkan bahwa program B.S. Amerika Serikat berlangsung selama empat tahun, namun tingkat satunya diisi kebanyakan oleh mata pelajaran matematika, kimia, fisika, dan biologi yang di Indonesia diberikan di SMA. Program Bakaloriat di Inggris berlangsung selama tiga tahun akan tetapi program itu hanya dapat diikuti oleh lulusan Sekolah Menengah kelas 13 yang mungkin boleh disetarakan dengan tingkat pertama program bakaloriat empat tahun di Amerika Serikat.
Berdasar perbandingan-perbandingan ini serta dengan keyakinan bahwa seorang sarjana walau bukan sebagai peneliti harus mampu memecahkan masalah, diputuskanlah bahwa di IPB program S-1 empat tahun tetap harus diakhiri dengan penulisan suatu skripsi. Namun bentuk skripsi itu bukan lagi sebagai telaah pustaka yang luas karena kepustakaan mutakhir pun sangat langka, melainkan sebagai suatu latihan untuk meneliti atau memperbaiki suatu prosedur teknologi di lapangan berdasarkan kepustakaan mutakhir yang sangat terbatas. Penulisan skripsi itu dilakukan di bawah bimbingan suatu komisi, sedangkan sebagai anggota komisi dipilih dosen-dosen muda yang sekaligus menjadi magang peneliti pada ketua komisi pembimbing. Sebelum diterima sebagai skripsi, rencana penelitiannya harus didiskusikan dalam suatu kolokium, sedangkan hasil penelitiannya harus dilaporkan dalam suatu seminar. Hal ini akan menghindarkan adanya penjiplakan skripsi.
Sementara itu diadakan upaya peningkatan kemampuan dosen pembimbing dengan mengirim dosen muda menuntut gelar pascasarjana di dalam dan luar negeri. Maka lahirlah Sekolah Pasca Sarjana IPB pada tanggal 31 Maret 1975 dan diadakanlah pengiriman dosen muda terutama ke University of Wisconsin. Di samping itu diadakan upaya menjaring mahasiswa baru yang termasuk peringkat pemuncak 25 persen, terutama dengan memperluas jaringan daerah penyeleksian ke kota-kota kecil di Jawa dan Luar Jawa. Maka lahirlah Pola Undangan Mahasiswa Tanpa Ujian Saringan Masuk yang juga dimulai pada tahun kuliah 1975-1976. Karena tenaga akademik yang mampu membimbing mahasiswa ke arah masalah penelitian masih sedikit, diadakanlah kuliah metode penelitian bagi semua mahasiswa oleh seorang dosen yang masih aktif meneliti, melengkapi kuliah-kuliah matematika dan statistika menuju penguasaan metode pemecahan masalah secara kuantitatif. Sejak saya membimbing mahasiswa menulis skripsi berdasar penelitian, saya tidak merasa bahwa hasil penelitian mereka itu hanya formalitas saja. Demikian pula halnya saya yakini mengenai perasaan rekan-rekan saya. Banyak sekali kebijakan saya yang diambil untuk memperbaiki proses pendidikan, terutama proses penjaringan calon mahasiswa yang berkelayakan akademik tinggi didasari atas temuan-temuan mahasiswa bimbingan saya. Salah satu temuan terakhir mahasiswa saya ialah bahwa di Kotamadya Bogor lulusan terbaik SMU ‘pinggiran’, diukur oleh pencapaian NEM-nya, masih sepadan dengan lulusan SMU terbaik di pusat kota dalam kelompok 25 persen terbaik. Demikian pula ia menemukan bahwa persebaran NEM untuk bahasa Inggris berpuncak tiga, yang mengisyaratkan adanya tiga peringkat penguasaan bahasa Inggris pada lulusan SMU. Setelah diteliti, kelompok yang terbaik berasal dari SMU ‘terbaik’ di pusat kota, yang menengah dari SMU ‘biasa’ di pusat kota, dan yang terendah dari SMU ‘pinggiran’. Implikasi temuannya ini ialah bahwa kita harus berpikir matang apabila ingin menjadikan bahasa Inggris sebagai butir seleksi UMPTN, kalau kita benar-benar ingin menegakkan UUD 1945 Pasal 31 ayat 1.
Kesimpulan
Masa belajar yang menjadi panjang belum tentu karena adanya syarat penulisan skripsi. Ada kemungkinan masukan ke universitas itu termasuk kelompok di bawah median seperti ditunjukkan oleh disertasi Dr Toemin Masoem dari Fakultas Ilmu Komputer UI. Ada pula kemungkinannya di program studi yang mengalami gejala itu masih kekurangan dosen yang sedang aktif meneliti. Ada juga kemungkinan persyaratan kredit kuliahnya terlalu banyak. Bahkan 141 kredit semester pun menurut saya terlalu banyak. Di Universitas Teknologi Malaysia Skudai, Johor Baru, saya saksikan sendiri mahasiswa baru pulang dari perpustakaan pukul 12 malam. Persyaratan mereka hanya 120 kredit, sedangkan di Indonesia saya juga melihat ada program studi yang meminta 160 kredit semester atau 60 jam kerja per minggu sebagai syarat kelulusan, namun mahasiswanya tidak pernah saya lihat belajar rata-rata 10 jam per hari. Kalau di suatu universitas tidak ada dosen pembimbing yang dapat membimbing mahasiswa mengadakan latihan pemecahan masalah, memang baiklah untuk meniadakan skripsi agar skripsi itu tidak menjadi formalitas saja. Tetapi hal itu sama saja dengan upaya mengobati demam dengan obat antipiretik. Gejala demamnya memang sembuh namun penyebab demamnya masih tetap merajalela. Oleh karena itu iklan obat demam selalu disertai peringatan, kalau masih terus berlangsung agar pergi ke dokter. Menurut pendapat saya meniadakan skripsi sarjana hanyalah berkhasiat seperti minyak angin dan obat demam. Bagi dosen-dosen universitas di luar Jawa yang sudah punya cukup banyak tenaga akademik berpendidikan S-2 dan S-3 saya berseru bahwa inilah kesempatan menerobos kemapanan. Pertahankanlah syarat penulisan skripsi atas dasar penelitian yang berlandaskan percobaan menggunakan pendekatan metodologi kuantitatif, dan dalam waktu yang dekat ini alumni S-1 Anda akan merajai pasaran tenaga kerja!
* Andi Hakim Nasoetion, Guru Besar pada jurusan Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor.
Tulisan diambil dari HU Kompas, Rabu, 10 April 1996