Jawa Timur menjadi episentrum wabah Covid-19 terbesar kedua di Indonesia setelah DKI Jakarta. Hal itu menandai menjalarnya gelombang pandemi penyakit yang disebabkan virus korona baru tersebut ke daerah-daerah.
Gelombang pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona (corona virus) baru kini menjalar ke daerah-daerah. Jawa Timur menjadi episenter atau pusat wabah Covid-19 terbesar kedua di Indonesia dan dikhawatirkan jumlah kasus dan kematiannya bakal menyalip Jakarta. Situasi di Jawa Timur ini harus menjadi peringatan bagi daerah lain.
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan yang disampaikan Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto pada Minggu (7/6), jumlah kasus baru di Jawa Timur mencapai 113 kasus sehingga total kasus positif Covid-19 di provinsi ini mencapai 5.948. Jumlah ini merupakan nomor dua setelah Jakarta yang memiliki kasus positif sebanyak 8.033.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jumlah kematian di Jawa Timur telah mencapai 483 orang, atau nomor dua setelah Jakarta yang mencapai 529 orang. Sedangkan jumlah orang dalam pemantauan (ODP) di Jawa Timur yang meninggal sebanyak 109 orang dan pasien dalam pemeriksaan (PDP) yang meninggal husebanyak 699 orang.
“Sekitar 60 kasus di Jawa Timur disumbangkan dari Surabaya yang sejak seminggu terakhir melakukan pemeriksaan massal. Sisi positifnya, kita jadi tahu sebaran Covid-19 di Surabaya,” kata epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Laura Navika Yamani.
Menurut Laura, saat ini surveilans digalakkan dan telah menemukan 30 kluster di 31 kecamatan di Surabaya. “Ada kluster pasar, instansi, pabrik, mal, bahkan juga penularan di dalam keluarga yang menyebabkan satu keluarga yang meninggal. Tingginya penularan ini terutama dari OTG (orang tanpa gejala),” tuturnya.
Pemeriksaan secara massal dan surveilans seperti di Surabaya ini seharusnya juga dilakukan di daerah-daerah lain di Jawa Timur, bahkan juga di daerah lain yang kasusnya masih minim. “Belajar dari Surabaya, kita harus deteksi sejak awal, jangan sampai membesar dan menjaga perbatasan agar tidak ada penularan dari zona merah,” kata dia.
Laura menambahkan, seperti di Jakarta, kepadatan dan mobilitas penduduk di Surabaya juga sangat tinggi. “Selain itu, yang membedakan mungkin tingkat kedisiplinan mayarakat. Di Surabaya dikenal bonek (nekad) sehingga sering menyepelakan protokol keselamatan, seperti tidak menjaga jarak dan enggan pakai masker,” ungkapnya.
Ketua Pusat Riset Keselamatan Pasien Unair Inge Dhamanti mengatakan, dalam praktiknya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Surabaya Raya, meliputi Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik banyak diabaikan. “PSBB di Surabaya Raya ini sudah tiga kali diperpanjang, tetapi tidak ada yang berubah. Masih bebas sekali. Pemeriksaan, hanya terlihat di jalan utama, kalau di pinggiran bebas sekali. Banyak yang nongkrong, jalan tidak pakai masker,” ujarnya.
Layanan kesehatan
Inge mengkhawatirkan keterbatasan layanan kesehatan yang tidak bisa menampung pasien. Saat ini banyak rumah sakit melampaui kapasitas, terutama karena masih lamanya waktu tunggu hasil pemeriksaan. Beberapa rumah sakit juga sudah menerapkan prioritas mana yang akan ditangani.
Menurut Inge, situasi saat ini mulai terbantu dengan dibukanya rumah sakit non rujukan yang diarahkan turut menampung pasien Covid-19. Namun, kondisi ini bisa meningkatkan risiko tenaga kesehatan, terutama karena jumlah alat pelindung diri (APD) yang belum mencukupi.
“Sekalipun sudah banyak bantuan APD, namun di lapangan masih kekuarangan. Standarnya, untuk melayani satu pasien di ruang isolasi buruh 20 APD per hari. Yang terjadi, dokter dan perawat harus pakai APD yang sama sepanjang hari untuk melayani banyak pasien,” tuturnya.
Inge juga menemukan, di salah satu rumah sakit di Kota Surabaya, yang pasiennya di ruang isolasi jarang dikunjungi perawat ataupun dokter lantaran keterbatasan APD. Persoalan APD, dan membludaknya pasien ini, pada akhirnya meningkatkan risiko tertular pada tenaga kesehatan.
Kepala Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daha Husada Kediri, Jawa Timur Tri Maharani mengatakan, dalam seminggu terakhir terdapat empat dokter di Jawa Timur yang meninggal dunia karena Covid-19, salah satunya di Kediri.
“Situasi di kota-kota lain di Jawa Timur, saat ini juga mengkhawatirkan. Namun demikian, pemeriksaan masih kurang, terutama di daerah-daerah, termasuk di Kediri. Untuk tes PCR (reaksi rantai polimerase) masih susah, saya yang menjadi PDP karena kontak dengan pasien meninggal, juga harus tes di Tulungagung,” ujarnya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 8 Juni 2020