Ada kesempatan dalam kesulitan. Pandemi Covid-19 ini membuka peluang bagi kita untuk meraih kesempatan menjadi lebih mandiri akan kebutuhan farmalkes. Bukan sekadar mengurangi ketergantungan impor juga menjaga devisa.
Hari-hari ini dunia sedang kalang-kabut dilanda pandemi Covid-19. Boleh dikatakan, tidak ada satu negara pun yang luput, dan semua berperang melawan musuh tidak kasatmata yang bernama virus korona.
Namun sayang, tindakan dari setiap negara tampaknya belum terorkestrasi dengan baik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun tampak gamang. Soal data dan informasi, misalnya, ada keraguan terhadap apa yang disampaikan China sebagai negara pertama yang terjangkit wabah ini. Soal alat kesehatan (alkes), seperti masker, sarung tangan, dan terutama ventilator, terjadi persaingan antarnegara karena semuanya membutuhkan, sementara pasokan terbatas. Bahkan di Amerika Serikat (AS), antarnegara bagian pun seperti bersaing. Dan masih ada setumpuk persoalan lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yang terlihat seragam dilakukan dunia adalah pembatasan interaksi sosial. Ini tentu hal positif karena berperan besar dalam memutus mata rantai penyebaran virus. Di samping itu, ada berbagai upaya dari banyak negara untuk menemukan vaksin dan obat dari Covid-19. Sejauh ini, menurut kabar, sudah ada enam negara yang mencoba vaksin Covid-19 kepada manusia, yakni AS, China, Rusia, Inggris, Jerman, dan Australia. Kita menangkap nuansa perlombaan untuk menjadi yang terdepan di sini. Demi kemanusiaan, semua upaya ini tentu baik. Namun, kita juga mesti ingat bahwa butuh waktu lama untuk memperoleh hasil yang menjanjikan.
Bagaimana di Indonesia?
Di negeri ini wabah Covid-19 sudah berlangsung dua setengah bulan, terhitung sejak pengumuman kasus pertama awal Maret 2020. Namun, sebagaimana terjadi di negara-negara lain, sistem layanan kesehatan kita pun kewalahan. Di tengah-tengah kegalauan karena belum adanya senjata untuk menghadapi peperangan ini, satu kenyataan pahit terungkap.
Pandemi ini membuka mata kita bahwa Indonesia ternyata mengimpor sebagian besar (lebih dari 90 persen) alkes dan bahan baku untuk obat-obatan. Artinya, industri farmasi dan alat kesehatan (farmalkes) kita amat bergantung kepada luar negeri. Konon ini sesungguhnya fenomena yang sudah berlangsung lama dan telah menjadi keprihatinan sebagian orang.
Namun, karena ini terungkap di saat kita punya kebutuhan farmalkes yang mendesak, sontak membuat mata kita terbelalak. Kenyataan pahit ini muncul di saat seluruh perhatian kita sedang tercurah kepada bagaimana harus bersaing bahkan berebut dengan negara lain untuk mendapatkan alkes dan obat-obatan.
Hal ini tentu sangat merisaukan karena ketergantungan farmalkes yang begitu besar kepada luar negeri mencerminkan bahwa kondisi health security kita rapuh. Kita seperti tidak berdaulat di bidang kesehatan.
Perlu diketahui bahwa sekitar 94 persen dari alkes kita pada 2019 diperoleh dari impor dengan nilai berkisar Rp 26 triliun. Sebagian besar alat yang diimpor itu berteknologi tinggi, seperti ventilator infusion pump, high flow oxygen device, alat operasional digital dan portabel, peralatan kesehatan elektronik, serta reagen dan preparat untuk laboratorium.
Sementara, industri farmasi (obat-obatan) kita pun mendatangkan 95 persen bahan bakunya dari luar negeri. Terbanyak dari China (60 persen) dan India (30 persen). Nilai impor bahan baku ini tahun lalu mencapai 2,7 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 40 triliun.
Walaupun Indonesia juga mengekspor alkes dan obat-obatan, nilai dan kategorinya kurang sepadan dibandingkan impor. Sebagian dari alkes dan obat-obatan yang kita ekspor pun bahan bakunya dari luar negeri. Kita hanya bertindak sebagai ”tukang jahit” atau assembly saja di sini. Artinya, nilai tambah lebih banyak di luar negeri.
Pertanyaannya, adakah peluang bagi kita untuk mengurangi impor farmalkes yang nilainya signifikan tersebut?
Jawabannya ternyata cukup menggembirakan. Pandemi ini ternyata juga telah membuka mata kita bahwa industri dan inovasi lokal cukup punya potensi menghasilkan produk-produk farmalkes yang selama ini diimpor. Ada blessing in disguise di sini.
Sejak pandemi Covid-19 ini merebak di Indonesia, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) telah membentuk konsorsium yang terdiri atas berbagai lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) di bawah koordinasinya, seperti LIPI, BPPT, Batan, Lapan, dan Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman, plus beberapa perguruan tinggi, rumah sakit, BUMN, dan perusahaan swasta. Tujuannya adalah untuk membantu Gugus Tugas yang dibentuk pemerintah dalam menanggulangi pandemi ini.
Pada garis besarnya konsorsium ini menyokong Gugus Tugas dalam tiga hal. Pertama, membantu Kementerian Kesehatan dalam pengujian (tes) PCR atau swab test. Ini krusial karena punya akurasi yang tinggi dalam menentukan seseorang positif Covid-19 atau tidak. Yang pegang peran di sini adalah LBM Eijkman dan LIPI.
Kedua, menghasilkan prototipe alat-alat kesehatan. Selain mampu menghasilkan alat pelindung diri, ternyata konsorsium hanya dalam 1,5 bulan kerjanya juga sudah menunjukkan kemampuan untuk menghasilkan mobile ventilator dan test kit. Kapabilitas untuk berinovasi ini sudah ada sejak lama yang belum tentu akan mendapat perhatian apabila tidak terjadi pandemi.
Untuk ventilator, misalnya, ITB dan UI ternyata sudah mampu membuat. Demikian juga BPPT. Prototipe dari ketiganya sedang diuji Balai Pengujian Fasilitas Kesehatan Kemenkes. Jika lolos, buatan BPPT sudah siap untuk diproduksi oleh PT LEN dan satu perusahaan swasta, dengan kapasitas 200 ventilator per minggu. Kabar terbaru yang menggembirakan, sudah ada empat yang lolos uji alat dan uji klinis oleh Kemenkes. Ini tentu sangat berarti di saat genting seperti sekarang.
Sementara untuk test kit, ada dua macam yang sudah siap diproduksi. Tim yang terdiri dari BPPT, Bio Farma, dan satu perusahaan rintisan sudah siap memproduksi polymerase chain reaction (PCR) test kit sampai dengan 50.000 per minggu. Kelebihannya dibandingkan barang impor, basis PCR test-kit ini berasal dari virus transmisi lokal. Untuk rapid test kit, tim yang terdiri dari BPPT, UGM, dan satu perusahaan sudah siap memproduksi sekitar 100.000 buah awal Mei 2020 sehingga bisa mendukung dilakukannya tes massal yang sangat dibutuhkan dalam penanganan Covid-19.
Ringkasnya, pengembangan alat tes PCR, alat tes diagnostik non-PCR, ventilator, serta unit laboratorium bergerak dengan bio safety level (BSL) 2 sedang dalam pengembangan yang nantinya ditargetkan untuk dapat melalui proses produksi massal dalam waktu dekat.
Ketiga, terkait pengobatan. Konsorsium berupaya menghasilkan vaksin, serum, suplemen, dan obat Covid-19. Untuk menghasilkan vaksin tentu perlu waktu. Namun, kita sebagai bangsa tetap harus berupaya. Seandainya pun negara lain terlebih dulu menemukannya, kita tentu mesti bisa untuk memproduksi prototipenya. Karena pada akhirnya nanti kita harus bisa memproduksi sendiri vaksin tersebut untuk memenuhi kebutuhan bagi ratusan juta penduduk.
Dalam rangka menekan tingkat kematian karena Covid-19, LBM Eijkman berkolaborasi dengan PMI sudah merencanakan pengambilan plasma convalescent dari pasien sembuh dan diberikan kepada pasien dengan kondisi berat. Diharapkan antibodi dari pasien sembuh ini bisa membantu memerangi virus pada pasien-pasien yang sakit. Ini bisa dilakukan segera jika prosedur standar (SOP) dan protokol nasional sudah tersusun.
Lembaga Eijkman juga sudah mulai melakukan penelitian untuk merancang calon antigen yang akan digunakan untuk penelitian vaksin. Untuk serum, setelah mendapat isolat virus, akan bisa diproduksi sendiri.
Perihal suplemen dan obat, konsorsium sedang menguji berbagai obat dari bahan yang sepenuhnya bisa diperoleh dari dalam negeri. Misalnya pil kina, dan dari tanaman herbal yang banyak dijumpai di negeri ini, seperti jahe merah, sambiloto, dan jamu empon-empon.
Momentum perkuat industri
Dari berbagai upaya yang dikoordinasikan Kemenristek/BRIN itu, benar-benar terungkap bahwa sesungguhnya negeri ini punya kemampuan yang baik untuk menghasilkan alat-alat kesehatan dan bahan baku obat-obatan. Inovasi lokal ternyata punya potensi yang cukup menjanjikan.
Oleh karena itu, kerja keras yang dilakukan untuk mengatasi pandemi ini juga semestinya bisa sekaligus dijadikan momentum untuk memperkuat industri dalam negeri, khususnya untuk alkes dan farmasi. Cukup besar peluang bagi kita untuk menekan impor dan mengisinya dengan produksi dalam negeri.
Tentu saja yang dihasilkan Kemenristek/BRIN dan lembaga-lembaga di bawahnya baru berupa prototipe dari berbagai alkes dan obat-obatan. Perlu pelibatan dunia usaha dan industri untuk bisa menghasilkannya dalam skala besar. Yang tak kalah penting, untuk hilirisasi inovasi ini, sangat dibutuhkan dukungan dari regulator dan end-user-nya, yakni kementerian dan lembaga terkait. Jalan itu sudah dirintis dengan pembentukan konsorsium tersebut yang di dalamnya juga termasuk BUMN dan swasta.
Jika nantinya segala upaya konsorsium ini terbukti efektif menopang penanggulangan wabah Covid-19, dukungan dari berbagai pihak terhadap penguatan industri dalam negeri pasti akan mengalir deras. Dengan demikian, berbagai inovasi lokal semestinya bisa segera diarahkan untuk diproduksi secara massal.
Kata orang bijak, ada hikmah di balik musibah. Ada kesempatan dalam kesulitan. Pandemi Covid-19 ini membuka peluang bagi kita untuk meraih kesempatan menjadi lebih mandiri akan kebutuhan farmalkes. Bukan sekadar mengurangi impor untuk menjaga devisa, melainkan untuk hal yang lebih krusial, yakni mengurangi ketergantungan pada luar negeri yang amat besar dari sektor kesehatan, untuk memperkokoh health security dan merangsang perkembangan inovasi di negeri ini.
Oleh BAMBANG PS BRODJONEGORO
Sumber: Kompas, 22 Mei 2020