Virus korona pada manusia sudah ada sejak lama. Virus terus bermutasi, bahkan ada virus dari hewan yang melompat ke manusia. Hal ini menjadi tantangan dalam upaya mengatasi pandemi Covid-19.
Ada tujuh virus korona yang saat ini menginfeksi manusia. Keluarga besar virus korona (Coronaviridae) sebenarnya dikenal lebih dari 50 tahun lalu. Strain OC43 dan 229E ditemukan pertengahan 1960-an. Selain itu, ada NL63 yang diidentifikasi di Belanda tahun 2004 dan HKU1 di Hong Kong pada 2005.
Malik Peiris, Guru Besar Patologi Universitas Hong Kong, sekaligus ilmuwan yang pertama kali mengisolasi virus SARS, dalam The Oxford Textbook of Medicine (edisi keenam) terbitan 2020, memaparkan, infeksi OC43 dan 229E terjadi pada anak-anak. Umumnya berupa gejala ringan pada saluran pernapasan atas. Kalaupun sampai ke paru dan terjadi pneumonia, tidak sampai mematikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebanyak 85-100 persen orang dewasa memiliki antibodi untuk kedua virus itu. Pola penyebaran penyakit NL-63 hampir sama, sedangkan HKU1 masih sedikit diketahui.
Tahun 2002 muncul virus korona yang menimbulkan wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS). Kemudian ada virus korona penyebab sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) pada 2012. Meski akibatnya lebih parah dibandingkan virus korona terdahulu, kedua virus tidak terlalu menimbulkan guncangan, kecuali pada beberapa negara.
Dunia terkejut ketika virus korona baru (SARS-CoV-2) yang diidentifikasi akhir tahun 2019 lalu ternyata menular sangat cepat, masif, dengan jumlah kematian tak terduga. Sejauh ini terdapat tak kurang dari 3.660.504 kasus positif Covid-19 di seluruh dunia dengan 252.682 kematian.
Indonesia, yang adem ayem saat SARS ataupun MERS mewabah di bagian dunia lain, juga terkena dampak. Tak kurang dari 12.071 kasus positif dan 872 kematian tercatat per 5 Mei 2020.
Para ilmuwan menengarai, tiga strain virus korona yang belakangan muncul dan menimbulkan akibat parah adalah virus zoonotik (beredar pada hewan dan kemudian melompat ke manusia). Jadi, sebenarnya ketiga strain virus itu sudah lama beredar pada hewan, tetapi baru menginfeksi manusia.
Catharine Paules dari Fakultas Kedokteran Universitas Negara Bagian Pennsylvania serta Hillary Marston dan Anthony Fauci dari Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular Institut Kesehatan Nasional, Amerika Serikat, di Jurnal Asosiasi Kedokteran Amerika (JAMA), Januari 2020, menyatakan, semula musang pandan dan anjing rakun dianggap sebagai sumber virus. Dengan semakin banyaknya hasil urutan genomik virus, ada konsensus bahwa inang alaminya adalah kelelawar.
Menginvasi tubuh
Materi genetik virus korona berada di asam ribonukleat (RNA). Saat menginfeksi sel manusia, virus korona membuat salinan RNA dan memperbanyak diri.
Virus secara acak berubah (bermutasi) agar mudah menginfeksi manusia lain dan menyebar. Karena itu, ada virus korona yang tidak menimbulkan gejala atau ringan. Namun, strain korona yang sama bisa menimbulkan gejala berat dan mematikan.
Para peneliti China mempelajari perubahan RNA virus korona dari waktu ke waktu. Mereka memeriksa 103 sampel virus SARS-CoV-2 yang dikumpulkan dari pasien dan membandingkan dengan virus korona pada hewan. Ternyata virus korona pada manusia cukup beragam.
Pada SARS-CoV-2 ada dua tipe, L dan S. Diduga tipe S beredar lebih dulu, sedangkan tipe L lebih banyak pada awal wabah.
Virus yang menyebar lewat percikan bersin atau batuk penderita itu masuk dan beredar di saluran pernapasan, yakni hidung, tenggorokan, dan paru. Saat menginfeksi, virus korona menancapkan ujung runcing protein permukaannya ke reseptor sel manusia.
Reseptor dominan pada manusia untuk virus SARS adalah glikoprotein, enzim pengubah angiotensin 2 (ACE2), yang banyak ditemukan di saluran pernapasan bawah (paru). Itu sebabnya, dampak berat SARS banyak berupa pneumonia, yakni peradangan kantung-kantung udara kecil (alveoli) tempat darah bertukar oksigen dan karbon dioksida pada paru. Sebagian penderita mengalami diare akibat replikasi virus di saluran pencernaan.
Dalam 2-14 hari, sistem kekebalan tubuh merespons dengan gejala antara lain demam, batuk, sakit kepala, sakit tenggorokan, nyeri otot, gangguan indera penciuman dan perasa, mual, dan diare. Penderita lain menunjukkan gejala ruam kulit, meningitis, ataupun penggumpalan darah yang bisa menyebabkan stroke.
Pada sebagian orang, gejala berhenti pada demam dan batuk. Namun, ada yang mengalami gejala napas pendek dan cepat, detak jantung cepat, pusing serta berkeringat, berlanjut dengan sindrom kesulitan pernapasan akut (ARDS). Pada CT scan dada, demikian laman Webmd, akan tampak bayangan berbentuk gumpalan asap. Ini menunjukkan kerusakan pada jaringan dan pembuluh darah alveoli paru.
Saat paru dipenuhi cairan akibat peradangan, pertukaran oksigen di paru makin sulit sehingga organ-organ tubuh tidak mendapat cukup oksigen. Kerja paru, ginjal, dan hati pun terganggu. Penderita memerlukan bantuan ventilator untuk bernapas.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Pada foto yang diambil pada 3 Maret 2017, tampak petugas medis menganalisis hasil rontgen paru pasien di RSUP Persahabatan, Jakarta. Pada hasil pencitraan paru penderita pneumonia akan tampak bayangan berbentuk gumpalan asap. Ini menunjukkan kerusakan pada jaringan dan pembuluh darah alveoli paru.
Upaya mengatasi
Sejauh ini, faktor-faktor terkait penularan SARS-CoV, sejak melompat dari hewan ke manusia hingga penularan antarmanusia, belum dipahami sepenuhnya. Berakhirnya wabah SARS tahun 2002-2004 lebih karena upaya kesehatan masyarakat, bukan karena vaksin atau obat yang ampuh.
Tahun 2017, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan SARS-CoV dan MERS-CoV dalam daftar prioritas patogen. Hal itu diharapkan dapat menggenjot penelitian dan pengembangan penanggulangan terhadap virus korona. Hasil belum didapat, keburu muncul strain virus korona baru di Wuhan, China, akhir Desember 2019.
Pada 10 Januari 2020, para peneliti dari Pusat Klinik Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Shanghai serta para kolaboratornya mengunggah urutan genomik lengkap SARS-CoV-2 ke basis data publik.
DOUGLAS MAGNO/AFP–Seorang peneliti bekerja di laboratorium untuk mengembangkan vaksin melawan SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 di Belo Horizonte, Negara Bagian Minas Gerais, Brasil, 26 Maret 2020.
Para peneliti biomedis di seluruh dunia segera mengembangkan penanggulangan untuk SARS-CoV-2 menggunakan informasi dari SARS-CoV dan MERS-CoV sebagai prototipe, antara lain mendapatkan reagen untuk pemeriksaan virus. Saat ini, antivirus spektrum luas, seperti remdesivir, kombinasi lopinavir dan ritonavir, juga interferon beta, sedang diuji klinis. Sementara para ilmuwan lain berupaya keras mendapatkan vaksin.
Sejauh ini belum ada terapi yang divalidasi secara klinis untuk mengeliminasi virus korona. Di sisi lain, virus terus menyebar, bermutasi, serta menimbulkan korban jiwa. Mutasi itu menambah tantangan bagi dunia kedokteran untuk menemukan vaksin dan obat yang tepat. Karena itu, perlu kesadaran penuh bagi pemerintah dan masyarakat untuk disiplin dalam upaya mencegah penularan.
Oleh. Atika Walujani Moedjiono, wartawan Kompas
Sumber: Kompas, 6 Mei 2020
Editor: ILHAM KHOIRI