Sejumlah ilmuwan Badan Antariksa Eropa (ESA) mendeteksi adanya lubang ozon berukuran tiga kali luas Greenland di sekitar daerah lingkar Arktik atau kutub utara.
KOMPAS/DLR/BIRA/ESA–Ilmuwan Pusat Penerbangan Antariksa Jerman (DLR) menemukan lubang ozon yang tidak biasa di sekitar kutub utara Arktik. Citra itu diambil oleh satelit Copernicus Sentinel-5P selama awal Maret hingga awal April 2020.
Pembentukan lubang ozon terjadi setiap tahun di kutub selatan Bumi, sedangkan lubang ozon di kutub utara relatif jarang. Namun, baru-baru ini sejumlah ilmuwan Badan Antariksa Eropa (ESA) mendeteksi adanya lubang ozon berukuran tiga kali luas Greenland di sekitar daerah lingkar Arktik atau kutub utara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika lubang ozon yang terbentuk makin besar, itu akan meningkatkan risiko paparan sinar ultraviolet yang tinggi bagi masyarakat di sekitar kutub utara. Meski demikian, para ahli meyakini lubang itu akan segera tertutup kembali dalam beberapa minggu ke depan.
Ozon adalah lapisan gas di atmosfer Bumi yang berperan menyerap sinar ultraviolet dari sinar Matahari yang berbahaya bagi Bumi. Setiap tahun, lapisan ozon di kutub selatan Antarktika berlubang sebagai akibat perpaduan antara suhu dingin dan polutan yang dihasilkan manusia.
Saat awal musim dingin di kutub selatan, suhu di Antarktika akan mulai turun hingga terbentuk awan pada ketinggian tertentu. Keberadaan gas klorin dan bromin, polutan kimia industri, akan memicu reaksi di awan yang menggerogoti lapisan ozon di sekitarnya.
Sementara lubang ozon di kutub utara Arktik relatif jarang terbentuk karena suhu di Arktik lebih bervariasi. Terakhir kali lubang ozon di Arktik terbentuk pada 2011 dan ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi saat ini.
”Dari pandangan saya, ini untuk pertama kali kita bisa bicara secara nyata tentang lubang ozon di kutub utara,” kata ahli atmosfer Pusat Penerbangan Antariksa Jerman (DLR), Martin Dameris, seperti dikutip Livescience, Sabtu (11/4/2020).
Lubang di ozon yang terbentuk di Arktik tahun ini diperkirakan dipicu oleh keberadaan angin kencang yang menjebak udara dingin hingga terbentuk pusaran udara dingin atau polar vortex di wilayah kutub utara. Situasi itu membuat suhu di Arktik lebih dingin dan awan yang lebih tinggi dibandingkan dengan biasanya hingga memicu terbentuknya lubang ozon.
Untungnya, saat ini musim semi sudah datang di belahan Bumi utara yang akan diikuti tibanya musim panas beberapa minggu ke depan. Suhu yang makin tinggi di atmosfer akan membuat faktor pemicu terbentuknya lubang ozon di kutub utara berubah. Pusaran udara dingin akan segera berakhir. Situasi inilah yang memberi harapan akan segera tertutupnya kembali lubang ozon di kutub utara.
Namun, jika nyatanya lubang ozon justru makin membesar, maka penduduk di sekitar lingkar kutub utara, seperti di selatan Greenland, kemungkinan harus menggunakan tabir surya untuk beraktivitas di luar rumah. Tabir surya itu akan melindungi mereka dari paparan sinar ultraviolet yang bisa memicu kanker kulit.
Sementara itu, lubang ozon di kutub selatan Antarktika akan terus terjadi, menyesuaikan dengan perubahan musim di wilayah tersebut. Kondisi ini sudah terjadi setidaknya selama empat dekade. Namun, karena nyaris tidak ada penduduk di sekitar kutub selatan, situasi itu tidak terlalu berisiko seperti jika lubang ozon terjadi di kutub utara.
Namun, laporan terbaru menunjukkan, ukuran lubang ozon di kutub selatan itu makin mengecil. Studi Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada 2018 menunjukkan lubang ozon di kutub selatan susut 1-3 persen sejak tahun 2000. Ukuran lubang ozon kutub selatan pada 2019 merupakan yang terkecil dibandingkan dengan ukuran lubang ozon yang tercatat sejak 1982.
Susutnya ukuran lubang ozon kutub selatan itu terjadi berkat adanya pelarangan global penggunaan sejumlah bahan kimia yang bisa merusak ozon sejak 1987. Namun, sejumlah negara kunci justru belum berpartipasi penuh, seperti adanya sejumlah pabrik China pada 2018 yang masih memproduksi dan menggunakan sejumlah zat kimia perusak ozon.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 20 April 2020