Pagebluk

- Editor

Rabu, 1 April 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

CATATAN IPTEK
Seabad silam, Indonesia (kala itu bernama Hindia Belanda) didera pandemi flu Spanyol yang menewaskan 1,5 juta orang. Kini, Covid-19 menerpa negeri ini. Agar korban tak berjatuhan, kita mesti lebih serius mengatasinya.

Ingatan pendek adalah musuh kesiapsiagaan. Namun, sulit dipercaya bahwa kita hampir sepenuhnya melupakan wabah yang pernah merenggut jutaan jiwa penduduk negeri ini sehingga terlambat mengantisipasi pandemi Covid-19. Bahkan, saat bahaya sudah di depan mata, langkah yang diambil masih semenjana.

Wabah mematikan itu melanda Indonesia yang saat itu bernama Hindia Belanda, seabad silam. Pandemi yang dikenal sebagai flu Spanyol itu dipicu oleh virus H1N1. Sebanyak 21,5 juta-50 juta orang diperkirakan meninggal di seluruh dunia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Colin Brown (The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia, 1987) menulis, 1,5 juta orang di Hindia Belanda meninggal akibat pandemi ini. Namun, Siddharth Chandra dari Michigan State University di jurnal Population Studies (2013) mengoreksinya. Hindia Belanda salah satu negara dengan korban terbanyak.

Siddharth menyebutkan flu Spanyol menewaskan 4,26-4,37 juta orang di Jawa dan Madura saja. Madura kehilangan populasi 23,71 persen, disusul Banten 21,13 persen, dan Kediri 20,62 persen. Dia tak menghitung kematian di daerah-daerah lain. Namun, laporan Dinas Kesehatan Sipil Hindia Belanda 1920 menyebutkan, tak ada wilayah kolonial yang aman dari flu Spanyol dengan tingkat kematian rata-rata sama atau bahkan melebihi 10 persen: 12 persen untuk penduduk Ternate, 10 persen di Halmahera, 10,8 persen di Riau, dan 10 persen populasi di Gorontalo.

Orang Jawa mengenal pandemi yang merebak sejak musim kemarau, Juni 1918 hingga Februari 1919 itu sebagai pagebluk. Wabah itu demikian ganas sehingga orang yang terpapar virus pada pagi hari, sorenya meninggal, ”Isuk lara, sore mati.”

Kengerian flu Spanyol ini juga dikenal dalam berbagai bahasa daerah lain. Misalnya, orang Kulawi di pedalaman Sulawesi Tengah menyebutnya sebagai hiropu, kematian tiba-tiba tanpa diketahui penyebabnya. Dikisahkan, mereka yang turut mengantar korban ke pemakanan bakal menjadi mayat di hari berikutnya.

Dikisahkan dalam laporan dan koran lama, besarnya korban disebabkan keterlambatan respons, bahkan pengabaian risiko oleh Kolonial Belanda. Seperti ditulis Karel Zaalberg, editor di Bataviaasch Nieuwsblad, pemerintah terlambat dan malah menutupi fakta sesungguhnya. Pewarta Soerabaia menyebut Dinas Kesehatan Sipil tak memiliki solusi konkret (Ravando, Kompas, 21/3/2020).

Pada awalnya, pandemi ini dikira sebagai flu biasa. Bahkan, seorang dokter di Batavia menyatakan di koran-koran, flu Spanyol lebih ringan daripada flu pada umumnya. Ketika korban mulai berjatuhan, seperti ditulis Koloniaal Weekblad (1919), para pejabat itu berkilah, ”Tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu, selain amal baik.” Mereka juga menyalahkan penduduk yang dianggap jorok dan kurang gizi.

Menelisik catatan sejarah kolonial dan membandingkannya dengan respons Pemerintah Indonesia saat ini dalam menangani Covid-19, kita melihat siklus berulang. Seperti kita ingat, dan harus kita catat dalam lembaran sejarah bangsa ini, ada daftar panjang pernyataan dan keputusan yang meremehkan ancaman Covid-19 ketika wabah baru merebak di Wuhan, China.

Misalnya, saat negara lain mulai menutup penerbangan, kita promosi wisata. Berbagai kekhawatiran dibalas dengan lelucon dan narasi antisains dari para pejabat negeri, mulai dari tropis aman hingga kita kebal karena sering makan nasi kucing. Bahkan, ketika negara-negara tetangga mulai melaporkan adanya wabah, Menteri Kesehatan Terawan, yang seharusnya menjadi penjaga kesehatan dan keselamatan masyarakat, sempat menyatakan, ”Indonesia terbebas dari korona karena kekuatan doa.”

Narasi antisains, yang terus dibangun ini telah menggerogoti kesiapsiaagaan dan telah memicu pembelahan massa. Kini, ketika wabah telanjur menyebar di hampir seluruh negeri, mau tak mau kita harus bersatu, bahwa musuh bersama saat ini adalah Covid-19.

Semoga kita selamat melaluinya….

Oleh AHMAD ARIF

Editor: ILHAM KHOIRI

Sumber: Kompas, 1 April 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB