Penyebaran penyakit Covid-19 akibat virus korona baru terus meluas. Pemanfaatan alat pelindung diri pun meningkat. Masyarakat mesti waspada terhadap limbah infeksius dari penyakit ini.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU MUSTIKA–Sisa limbah medis yang menumpuk di Panguragan, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (23/11/2019). Limbah medis ini merupakan sisa dari kasus di Cirebon pada 2017 lalu yang belum tertangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ataupun warga sekitar.
Penanganan pandemi Covid-19 menimbulkan efek samping berupa tambahan timbulan limbah medis yang sangat banyak. Peningkatan kesadaran masyarakat untuk memakai alat pelindung diri, seperti masker sekali pakai hingga sarung tangan, menyebabkan sampah yang masuk kategori limbah bahan beracun berbahaya tersebut mengalami peningkatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, sebagai limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) karena bersifat infeksius atau berpotensi menyebabkan penyebaran penyakit, dibutuhkan penanganan khusus. Pemerintah daerah ataupun dukungan pelaku usaha diharapkan segera turun untuk membangun sistem pengangkutan alat-alat pelindung diri dari rumah ataupun fasilitas layanan kesehatan pertama, seperti puskesmas dan klinik.
”Masker sekali pakai yang telah selesai dipakai agar digunting atau dipotong untuk menghindari penyalahgunaan,” kata Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sabtu (28/3/2020) di Jakarta.
Ia mengatakan, imbauan memotong masker ini juga menjadi poin terakhir pada surat edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 2 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19). Kekhawatirannya, masker bekas sekali pakai yang statusnya limbah B3 tersebut dimanfaatkan orang untuk dibersihkan dan didistribusikan kembali kepada masyarakat sehingga membahayakan kesehatan pemakainya.
Peningkatan jumlah limbah medis dari penanggulangan penyakit Covid-19 ini masih terus dipantau KLHK. Apalagi, penanganan penanggulangan penyakit Covid-19 masih terus berkembang.
”Namun, KLHK akan terus berkomunikasi dengan pengelola limbah B3 agar mengoptimalkan pengelolaan limbah medis dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta terus melakukan pencatatan dan pelaporan kegiatan pengelolaan limbah B3 infeksius masa penanganan darurat,” kata Rosa Vivien.
Siapkan ”drop box”
Terkait limbah medis berupa alat pelindung diri, seperti masker sekali pakai, yang awam dipakai masyarakat, ia mengatakan, hal tersebut telah diingatkan Menteri LHK dalam surat edaran. Ia mengatakan, dalam kondisi darurat penanganan upaya pemutusan potensi penularan, pemerintah, pemerintah daerah, dan dunia usaha diharapkan dapat berkontribusi langsung dengan penyediaan sarana pengumpulan (drop box) limbah.
Drop box ini menjadi tempat pengumpulan dari rumah masyarakat. Peletakan drop box tersebut, katanya, pada titik terdekat dengan fasilitas pemusnahan limbah infeksius (autoklaf) di daerah masing-masing.
Rosa Vivien menjelaskan, limbah yang harus diinsinerasi harus memenuhi kriteria infeksius dan ”segera harus dimusnahkan” yang tercantum dalam Permenlhk No 56 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Dalam konteks penanganan Covid-19, katanya, limbah infeksius yang mesti diwaspadai antara lain masker dan tisu dari orang dalam pemantauan (ODP) yang terkonfirmasi terinfeksi ataupun dari pasien dalam pengawasan (PDP) yang tidak tertampung perawatannya di fasilitas layanan kesehatan. Jenis limbah yang dapat di-autoklaf adalah limbah yang berkategori belum infeksius, misalnya masker, tisu, dan kapas dari ODP ataupun masyarakat yang merasa sehat.
Untuk fasilitas layanan kesehatan tingkat pertama berupa puskesmas, ia mengatakan, penanganan limbah infeksius bisa ditangani pemda setempat. ”Dalam situasi penanganan darurat ini yang memerlukan penanganan segera, diharapkan pemda dapat berkontribusi melalui SKPD dengan melakukan/ mendampingi kegiatan pengangkutan, pengumpulan, dan pemusnahannya, bisa di fasilitas pemusnahan yang terbaik, seperti di fasyankes terdekat (RSUD ataupun RS swasta) ataupun pada Jasa pengelola LB3 terdekat. Adapun pembiayaan menjadi tanggung jawab pemda,” kata Rosa Vivien.
Lantas terkait insinerator pada rumah sakit, ia mengatakan, hingga 27 Maret 2020 terdapat 98 rumah sakit di seluruh Indonesia yang telah memiliki insinerator berizin pengelolaan limbah B3 dari Menteri LHK. Ia mengatakan, setiap insinerator yang telah berizin maka operasionalnya telah mengacu persyaratan teknis pada diktum perizinan dan SOP operasionalnya.
Rosa pun mengatakan, KLHK telah mewajibkan setiap pihak penghasil limbah B3 medis oleh rumah sakit untuk melakukan pelaporan rutin melalui sistem pelaporan elektronik. Laporan tersebut di antaranya jumlah limbah dihasilkan dan aktivitas pengelolaan/pemusnahannya. Laporan ini dievaluasi KLHK untuk diambil tindakan apabila memerlukan perbaikan.
Terkait penerbitan SE tersebut, Penasihat Senior Nexus3/Balifokus Yuyun Ismawati mengatakan, imbauan seperti ini akan lebih operasional apabila diterbitkan bersama Menteri Kesehatan sebagai otorita tertinggi pengelolaan fasilitas layanan kesehatan/RS. Atau setidaknya, SE ini dikoordinasikan dengan kementerian/lembaga terkait agar bisa dijalankan efektif di lapangan.
”Sebaiknya SE dikeluarkan oleh satu kementerian dengan koordinasi yang jelas dengan kementerian lain yang bertanggung jawab langsung, dan pemda-pemda yang punya RSUD dan puskesmas yang sudah jadi UPT (unit pelaksana teknis),” katanya.
Atas masukan ini, Rosa mengatakan, KLHK menerbitkan SE No 2/2020 pada subyek limbah infeksius (limbah B3) sebagai amanat UU No 32/ 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No 101/ 2014 Pengelolaan Limbah B3. Selama periode penanganan darurat (29 Februari sampai dengan 29 Mei 2020), pengelolaan limbah tersebut dapat dilakukan dengan baik dan optimal oleh semua pihak agar tidak terjadi masalah lingkungan.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sunber: Kompas, 28 Maret 2020