Penderita tuberkulosis merupakan salah satu yang rentan mengalami komplikasi saat pandemi Covid-19 bersama orang dengan gangguan jantung, diabetes, serta rendah kekebalan tubuhnya. Apa yang harus dilakukan?
KOMPAS/FABIO MARIA LOPES COSTA–Pelaksanaan program Gedor TB di rumah salah satu warga di Kampung Nolokla, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua, Kamis (19/3/2020). Program ini efektif untuk mendeteksi warga yang diduga menderita penyakit tuberkulosis dan sosialisasi cara pencegahan penyakit menular tersebut.
Kita memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia, yang dilaksanakan setiap 24 Maret, dalam suasana kelam akibat pandemi Covid-19. Penderita tuberkulosis merupakan salah satu yang rentan mengalami komplikasi Covid-19 bersama mereka yang mengalami gangguan jantung, diabetes, serta rendah kekebalan tubuhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tuberkulosis (TBC) merupakan satu dari 10 penyebab kematian tertinggi di dunia. Data terakhir WHO mencatat, ada 1,5 juta penduduk dunia yang meninggal akibat TBC tahun 2018. Sementara itu, ada 10 juta penderita baru TBC pada tahun itu.
Dua pertiga penderita TBC dunia berada di delapan negara. India yang terbanyak. Disusul China, Indonesia, Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Afrika Selatan. Di Asia dan Afrika, boleh jadi penderita TBC banyak yang akan meninggal akibat pandemi virus korona baru.
Tuberkulosis disebabkan Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini paling banyak terjadi di paru. Ada pula TBC tulang, kelenjar getah bening, pleura (selaput paru), meningitis, dan urogenital (saluran kencing dan reproduksi).
Penularan tuberkulosis terjadi melalui udara, yakni ketika orang terhirup bakteri dalam percikan cairan batuk, bersin, serta ludah penderita. Menurut WHO, sekitar 25 persen warga dunia mengalami kondisi TBC laten, yakni terinfeksi bakteri, tetapi tidak atau belum menunjukkan gejala. Jika kondisi tubuh drop, barulah bakteri merajalela.
Bisa dicegah
Sebenarnya TBC bisa dicegah, diobati, dan disembuhkan. WHO mengklaim, dalam kurun 2000-2018, ada 58 juta orang diselamatkan lewat pengobatan.
Terapi standar dilakukan dengan empat jenis obat antimikroba selama 6 bulan. Program itu diikuti dengan pengawasan tenaga kesehatan atau relawan terlatih terkait kepatuhan minum obat. Hal itu harus dilakukan karena sulit menjaga kedisiplinan penderita untuk minum obat.
Selain efek samping yang tidak nyaman, seperti mual, gatal-gatal, kesemutan, nyeri sendi, serta gangguan penglihatan, pendengaran, dan keseimbangan, penderita umumnya bosan minum obat. Di sisi lain, gejala penyakit berkurang sehingga penderita merasa sembuh.
Dalam sambutan terkait Hari Tuberkulosis Sedunia, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan, Covid-19 memperlihatkan betapa rentannya orang dengan gangguan paru serta lemahnya kekebalan tubuh.
”Dunia berkomitmen mengatasi TBC pada 2030. Meningkatkan pencegahan merupakan kunci untuk mencapai hal itu. Jutaan orang harus bisa mengakses pengobatan pencegahan TBC untuk menghentikan timbulnya penyakit, mencegah penderitaan, dan menyelamatkan kehidupan,” katanya.
Direktur Jenderal WHO menekankan pentingnya upaya mengatasi masalah kesehatan masyarakat yang telah berlangsung lama ini, dan tak kendor melaksanakan pengendalian TBC di saat pandemi Covid-19.
Bakteri kebal obat
Setelah obat digunakan selama puluhan tahun, di sejumlah negara timbul strain kuman TBC yang resisten (kebal) terhadap salah satu atau beberapa jenis obat. Kasus resistensi obat muncul jika obat anti-TB digunakan secara tidak tepat, peresepan yang salah, mutu obat rendah, dan penderita tidak patuh minum obat sampai tuntas.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI–Petugas Poli Tuberkulosis Puskesmas Sario Manado, Sulawesi Utara, Ivonne Paendong, menunjukkan obat paket stop tuberkulosis, Rabu (18/3/2020). RHZE yang berbungkus merah diminum selama dua bulan pertama pengobatan, sedangkan RH yang berbungkus kuning diminum selama empat bulan. Paket obat yang harus dikonsumsi nonstop selama enam bulan itu dibagikan secara gratis kepada pasien.
Data Kementerian Kesehatan Indonesia, pada 2018 ada 842.000 kasus, yang terlaporkan 569.899 kasus. Artinya, ada 32 persen yang belum terjangkau diagnosis dan pengobatan.
Bakteri TBC resisten obat (TB RO) merupakan masalah kesehatan masyarakat dan ancaman terhadap kesehatan. WHO memperkirakan, ada 23.000 kasus TB yang bersifat multidrug resistant/resisten rifampisin (MDR/RR) di Indonesia. Tahun 2017, tercatat ada 442.000 kasus TBC, tetapi baru 27,36 persen diobati, dan 8.600-15.000 kasus di antaranya TB RO.
TB RO adalah TB yang disebabkan bakteri yang kebal terhadap isoniazid dan rifampisin, dua obat lini pertama yang paling efektif terhadap TBC. Di tingkat dunia, WHO menaksir ada 484.000 kasus baru TBC yang resisten terhadap rifampisin.
Meski demikian, WHO optimistis TB MDR bisa diobati dan disembuhkan dengan menggunakan obat lini kedua. Namun, pilihan obatnya terbatas dan perlu kemoterapi ekstensif, yakni 2 tahun, dengan obat-obatan yang mahal dan bersifat toksik.
Pada beberapa kasus, resistensi obat lebih parah bisa terjadi. TBC yang resisten terhadap obat secara luas (TB XDR) merupakan bentuk TB RO yang lebih serius akibat bakteri yang tidak responsif terhadap obat lini kedua. Akibatnya, seringkali penderita tidak punya pilihan pengobatan selanjutnya.
Pada tahun 2016, WHO menyetujui pengobatan untuk penderita TB MDR yang bakterinya masih responsif terhadap obat anti-TB lini kedua. Pengobatan ini perlu 9-12 bulan dan lebih murah daripada pengobatan konvensional untuk TB MDR yang perlu waktu 2 tahun. Sementara pasien TB XDR, yang bakterinya resisten terhadap obat lini kedua, mendapat pengobatan lebih lama dan ditambah satu jenis obat baru, bedkuilin atau delamanid.
Pengobatan pencegahan TB
Pada Pertemuan Tingkat Tinggi PBB tentang TBC tahun 2018, para pemimpin dunia berkomitmen memastikan akses ke pengobatan pencegahan TBC bagi sedikitnya 24 juta orang yang bergaul erat dengan penderita TBC aktif serta 6 juta orang dengan HIV pada 2022. Namun, hingga saat ini hanya sebagian kecil dari target tersebut yang tercapai.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI–Suasana permukiman padat di Jalan Sam Ratulangi 15, Titiwungan, Sario, Manado, Sulawesi Utara, Kamis (19/3/2020). Para penderita tuberkulosis di Manado umumnya tinggal di permukiman padat. Rumah minim ventilasi dan pencahayaan menyebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan lebih lama di udara.
Karena itu, tahun ini WHO mengeluarkan pedoman baru dengan merekomendasikan rangkaian pendekatan inovatif untuk meningkatkan akses ke pengobatan pencegahan TBC. Beberapa pendekatan itu meliputi antara lain, memperluas pengobatan pencegahan TBC bagi populasi yang berisiko tinggi, yakni orang yang tinggal di pemukiman padat dan kumuh, keluarga penderita TBC, orang dengan HIV, serta mereka yang memiliki kekebalan tubuh rendah.
Keluarga penderita TBC, dan orang dengan HIV disarankan menjalani penapisan. Jika tidak menunjukkan gejala TBC aktif, mereka harus memulai pengobatan pencegahan TBC.
Penapisan bisa dilakukan lewat tes kulit tuberkulin ataupun uji pelepasan interferon-gamma (interferon-gamma release assay/IGRA). Tes tidak perlu dilakukan pada orang dengan HIV atau anak balita dalam keluarga penderita TBC aktif. Mereka bisa langsung mendapat pengobatan pencegahan.
WHO merekomendasikan pilihan lebih pendek untuk pengobatan pencegahan selain pemberian isoniazid setiap hari selama 6 bulan yang digunakan saat ini. Ada beberapa pilihan yang direkomendasikan.
Pertama, pemberian rifapentin dan isoniazid setiap hari selama sebulan. Kedua, rifapentin dan isoniazid seminggu sekali selama 3 bulan. Ketiga, rifampisin dan isoniazid setiap hari selama 3 bulan. Keempat, rifampisin setiap hari selama 4 bulan.
Dampak TBC sangat berat bagi kesehatan, sosial, dan ekonomi warga di seluruh dunia. Peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia bertujuan meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai infeksi yang paling mematikan itu. Dengan tema ”Ini Saatnya (It’s Time)”, fokus tahun ini adalah mempercepat respons TBC untuk menyelamatkan jiwa dan mengakhiri penderitaan.
Namun, saat seluruh perhatian dunia tertuju pada Covid-19, akankah hal itu mengganggu upaya eliminasi TBC? Dengan alotnya komitmen sebagian pemimpin negara dan dunia, dapatkah strategi mengakhiri TBC mampu mengeliminasi penyakit itu pada 2030 sesuai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals)?
Oleh ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 26 Maret 2020