Musuh terbesar pemerintah dalam upaya penanganan wabah Covid-19 adalah ego sektoral. Ini penyakit kebijakan tertua birokrasi. Kuncinya ada pada ketegasan kepemimpinan nasional dan kehadiran pemerintah melayani semua.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Presiden Joko Widodo saat menyampaikan bahwa dua warga Indonesia positif terinfeksi virus korona jenis baru penyebab Covid-19 di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/3/2020).
Nyaris instan. Setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan dua WNI positif terjangkit, publik bereaksi dan cenderung panik. Masker dan hand sanitizer habis lenyap disergap. Harga bawang putih, jahe, dan kunyit melejit, membuat ibu-ibu menjerit. Bahkan sempat terjadi irrational shopping di sejumlah pusat perbelanjaan seolah besok kiamat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, dibandingkan Covid-19, MERS dan SARS yang juga disebabkan virus korona lebih banyak makan korban jiwa. Tingkat fatalitas SARS 10 persen dan MERS 37 persen (WHO, 2019). Covid-19 memiliki tingkat fatalitas 2,3 persen (GISAID, 2020).
Bagi publik, pengumuman Presiden seolah menegaskan keraguan terhadap ketidakpercayaan pada jajaran pemerintah sendiri yang sebelumnya selalu menyangkal kasus positif Covid-19 di Indonesia. Padahal, pemerintah semua negara tetangga justru mengakui adanya kasus itu di negaranya.
Keraguan ini diperparah penanganan di lapangan yang dipandang tak memadai. Singkatnya, kapasitas pemerintah dalam menangani krisis ini sungguh dipertanyakan.
Karena itu, perlu memikirkan upaya ke depan. Pertama, jika terus dibiarkan, dampaknya bukan hanya meluasnya penularan dan korban, melainkan juga runtuhnya kepercayaan warga pada pemerintahan. Kedua, kita tahu persis: situasi seperti merebaknya wabah Covid-19 ini pasti bukan terakhir kali.
Hidup dalam risiko global
Risiko dan krisis adalah bagian inheren dari kehidupan. Di masa kini, keduanya jadi bagian sekaligus dampak modernitas. Mulai dari pembobolan rekening, kecelakaan di jalan dan wabah, hingga anjloknya harga saham dan mata uang karena panik massal. Kemampuan dan cara menghadapi risiko, karenanya, ciri dari masyarakat modern. Pemikir Jerman Ulrich Beck (1992) dan sosiolog Inggris Anthony Giddens (1999) menyebutnya risk society.
Di satu sisi, wajar pemerintah amat berhati-hati—bahkan sebelumnya cenderung menutup-nutupi—karena berupaya menghindarkan gejolak yang pasti berdampak politis dan terutama ekonomis. Di sisi lain, reaksi panik publik bisa dimengerti karena berupaya melindungi diri di tengah terjangan ketidakpastian di lautan keraguan.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Petugas Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) mengisikan cairan disinfektan ke alat penyemprot di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (12/3/2020).
Karena itu, penting belajar dari sini. Pertama, sektor-sektor terdampak perlu segera dibenahi, khususnya ekonomi yang menentukan nasib orang banyak. Kedua, yang paling penting dan segera mendesak adalah membangun pengetahuan dan kesiagaan warga dan aparat pemerintahan menghadapi situasi ini.
Pokok kedua ini amat penting mengingat krisis seperti Covid-19, MERS, dan SARS akan terus terjadi di masa depan. Karena menyebar cepat ke seluruh dunia tanpa visa, salah satu kunci menghadapinya adalah mengendalikan akibatnya lewat upaya membangun pengetahuan dan kesiagaan bersama. Baik secara teknis (atau medis, dalam hal virus), maupun secara sosial.
Membangun pengetahuan dan kesiagaan
Harus diakui, simpang siur informasi dan kebijakan pemerintah dan kepanikan publik menghadapi Covid-19 menunjukkan kegamangan dan kegagapan kita semua menghadapi situasi tak terduga. Ini akibat rendahnya pengetahuan. Bukan pengetahuan tentang virusnya, tetapi terutama bagaimana mengelola risikonya. Ini juga berlaku untuk krisis-krisis akibat hal-hal lain.
Pertama, pemerintah harus hadir memberikan arah membangun pengetahuan dan kesiagaan masyarakat menghadapi krisis. Dua kata kunci: keterbukaan (dan kejujuran) dan ketegasan.
Pemerintah Inggris menghadapi Covid-19 terbuka menyampaikan, ”Kami belum memiliki data yang lengkap. Namun, seiring pengetahuan kami tentang virus itu, akibat, dan perilakunya… kami akan mengoreksi potensi penyebarannya, keparahannya, dan dampaknya. Lalu kami akan mengkaji lagi rencana tindakan ini dan menyesuaikannya apabila perlu”.
Keterbukaan semacam ini tidak hanya perlu, tetapi mutlak di masyarakat modern. Kredibilitas pemerintah tak akan merosot jika ia tak sepenuhnya tahu. Pemerintah bukan dewa atau Tuhan tanpa kesalahan. Banyak perkara mulai dari erupsi gunung berapi hingga bencana karena perubahan iklim pemerintah tidak selalu punya ilmu.
Justru, keterbukaan akan melahirkan respek dan meningkatkan kepercayaan publik. Ia juga membuka peluang dan kesempatan publik turut bekerja sama bahu-membahu bersama pemerintah membangun pengetahuan itu.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA–Petugas Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jawa Barat atau Pikobar memantau informasi dan pemberitaan di media terkait virus korona di Gedung Sate, Bandung, Rabu (4/3/2020).
Kedua, menyediakan kanal tunggal sumber informasi resmi tentang krisis yang rutin diperbarui dan mudah diakses semua pihak. Pemerintah China, Singapura, Vietnam, dan banyak negara lain membuka secara transparan jumlah kasus, sebaran dan lokasi, korban meninggal, ataupun yang sudah sembuh total dari Covid-19 sembari menjaga martabat dan identitas mereka.
Saat kebakaran hutan melanda Australia, data luasan yang terbakar dan dampaknya dibuka untuk semua. Ini penting karena tak ada kebijakan tepat tanpa data akurat. Apalagi di saat krisis. Ini juga menunjukkan hadirnya pemerintah untuk menepis keraguan dan ketakpastian.
Ketiga, pemerintah harus secara tegas menyiapkan prosedur standar pencegahan ataupun penanganan yang harus dilaksanakan semua instansi dan aparat terkait, berikut mekanisme pengaduannya. Dalam perkara wabah Covid-19, semua rumah sakit rujukan mesti punya prosedur yang standar dan seragam.
Prosedur ini harus dituangkan dalam bahasa sederhana yang mudah dipahami masyarakat dan disebarkan seluas mungkin sehingga bisa langsung diterapkan dan jika ada penyimpangan bisa segera dilaporkan.
Tujuannya dua: memberikan pengetahuan kepada masyarakat atas apa yang bisa diharapkan dari pemerintah di saat krisis dan membangun akuntabilitas jajaran pemerintahan terkait dalam melaksanakan tugasnya melayani warga saat krisis.
Keempat, karena kesiagaan mengandaikan pengetahuan, perlu otoritas baik intelektual maupun kebijakan yang secara tegas memberikan substansi penanganan saat krisis terjadi sebagai rujukan pengetahuan. Dalam hal Covid-19, pemerintah bersama akademisi dan unsur masyarakat perlu bersama-sama mengkaji lantas menyusun petunjuk teknis pencegahan penularan, pengecekan kesehatan, hingga penanganan kasus baik secara mandiri oleh masyarakat sendiri maupun melalui rujukan ke fasilitas kesehatan.
Aspek komunikasi jadi kunci dalam upaya membangun pengetahuan dan kesiagaan ini. Kabar bohong dan hoaks merajalela sering kali bukan karena tiadanya otoritas, melainkan akibat buruknya komunikasi mengenai substansi.
Kelima, pemerintah mesti secara sadar dan terencana mendorong, memfasilitasi, dan memastikan tumbuhnya inisiatif warga menghadapi krisis. Ini karena pengetahuan bukan hanya diproduksi oleh negara atau dunia akademi semata. Masyarakat pun punya kemampuan memproduksinya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Antrean panjang calon penumpang MRT di Stasiun Fatmawati, Jakarta Selatan, Senin (16/3/2020).
Produksi pengetahuan warga semacam ini mesti diintegrasikan dalam kebijakan pemerintah. Misalnya, berbagai kearifan lokal dan pengetahuan tradisional mengenai khasiat herbal kembali viral dalam upaya menangkal Covid-19 dan krisis kesehatan lainnya.
Terakhir, musuh terbesar semua hal di atas, bagi pemerintah sendiri, adalah ego sektoral. Ini penyakit kebijakan tertua birokrasi. Kuncinya ada pada ketegasan kepemimpinan nasional, bahwa pemerintah mesti hadir dan melayani semua, terutama saat krisis mendera.
(Yanuar Nugroho, Advisor Centre for Innovation Policy & Governance Indonesia; Honorary Fellow University of Manchester, UK)
Sumber: Kompas, 18 Maret 2020