Menghadapi pandemi, perlu gotong royong semua pihak. Pemerintah serius berupaya atasi, warga sebaiknya menuruti panduan ahli medis, dan jangan sampai kita panik. Kita hadapi bersama dengan penuh optimisme.
KOMPAS/ALIF ICHWAN–Kawasan bebas kendaraan, Car Free Day (CFD) tepanya di bundaran Hotel Indonesia jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (15/3/2020) tampak sepi.
Hanya sehari setelah menyatakan wabah Covid-19 sebagai pandemi, Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus menyurati Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
WHO meminta agar Presiden Jokowi segera menyatakan darurat nasional, membangun laboratorium dengan skala memadai, memperluas pencarian kasus, pelacakan, pengawasan dan pendataan secara cermat, menggencarkan langkah pencegahan termasuk mengajak warga masyarakat agar sering mencuci tangan.
Beberapa pihak menilai, WHO terlalu mendikte dan menggurui. Tapi, inilah respons “gemas” organisasi kesehatan dunia itu melihat respons Indonesia yang dinilai masih terlalu santai.
Dua bulan lebih Kemenkes membanggakan status nol pasien positif Covid-19. Tapi Senin (2/3), dua pekan lalu, pertahanan itu jebol. Presiden mengumumkan dua WNI positif terkena Covid-19. Ada warga Jepang berkunjung ke Indonesia, kemudian berlanjut ke Singapura.
Pemeriksaan teliti di Singapura memastikan warga Jepang ini positif terkena Covid-19. Dilacaklah, selama di Indonesia bertemu siapa saja. Ketemu orangnya, diperiksa, dinyatakan positif tertular, lantas diumumkan Presiden.
Publik geger, karena Presiden yang umumkan, bukan Menkes. Televisi dan media daring terus-menerus menyiarkan breaking news, liputan langsung dari Istana, dilanjut ke lokasi kediaman pasien di Depok. Terkuak betapa gagap dan kacau koordinasi penanganan wabah ini, termasuk hal yang kurang patut seperti penyebutan nama, kediaman dan foto pasien secara jelas, bahkan pemasangan police line di rumah pasien tertular. Kemenkes nampak gagap.
Menyia-nyiakan waktu
Pengumuman Presiden ini bagaikan membuka kotak pandora. Dalam waktu singkat jumlah warga yang dinyatakan positif tertular terus bertambah. Seminggu kemudian (9/3), juru bicara satgas penanganan wabah Covid-19 Achmad Yurianto mengumumkan dari Istana, 19 orang positif tertular.
Sehari kemudian jumlahnya membengkak jadi 27 orang. Esoknya jadi 34 orang. Esoknya lagi melesat jadi 69 orang, dua orang meninggal. Sangat cepat pertambahan jumlah yang tertular. Prediksi-prediksi mencemaskan pun bermunculan, termasuk oleh Badan Intelijen Negara (BIN), yang menyebut puncak serangan Covid-19 ini saat puasa Ramadhan bulan depan.
Apakah pasien positif Covid-19 di Indonesia baru muncul setelah Presiden mengumumkan? Banyak yang meragukan. Indonesia seperti menyia-nyiakan waktu. Lebih dari sebulan lalu beberapa kalangan medis, termasuk dari luar negeri, mempertanyakan mengapa Indonesia belum mengumumkan adanya warga positif tertular. Di saat yang sama ratusan negara lain sudah terbuka menyatakan ada warganya yang tertular.
Korsel, Jepang, Malaysia, Singapura, Italia, Saudi Arabia, Australia, AS, Iran, dan banyak negara lain. Mengapa Indonesia belum? Padahal, lalu lintas perjalanan orang dari Wuhan atau wilayah China lain ke Indonesia dan sebaliknya, sangat banyak, bahkan jauh lebih banyak dibanding negara tetangga.
Berdasar probabilitas statistik, sangat muskil jika di Indonesia belum ada kasus penularan. Apalagi pemeriksaan sampel ratusan suspek Covid-19 hanya dilakukan di lab pemerintah, meski kalangan perguruan tinggi dan swasta mampu melakukannya. Sikap monopolistik ini turut mengganggu kredibilitas pernyataan pemerintah.
Bayangkan, negara maju seperti Italia, Korsel dan Singapura yang layanan publiknya sangat baik, sudah mengakui banyak warganya tertular dan menimbulkan korban tewas. Organisasi kesehatan PBB Unesco melaporkan, sekitar 300 juta pelajar terpaksa harus diliburkan. Sekian ribu jadwal penerbangan antar negara dibatalkan.
Italia bahkan resmi menutup pintu masuk ke negaranya alias lockdown. Indeks saham di berbagai negara, termasuk Indonesia, rontok semua. Demikian pula nilai rupiah yang terus merosot. Bisa dikatakan, hampir semua aspek kehidupan global terkena imbas.
KOMPAS/LASTI KURNIA–Loket Visa kedatangan terlihat sepi tanpa ada kedatangan penumpang di Terminal Kedatangan Internasional, Terminal Tiga Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (11/3/2020).
Dalam situasi seperti ini, mengapa Indonesia belum mengumumkan adanya warga yang tertular? Wajar banyak pihak meragukan, termasuk PM Australia Scott Morrison, yang mengatakan Indonesia negara besar dan banyak pulau, sehingga sulit untuk memberikan jaminan absolut bahwa belum ada pasien positif Covid-19. Itu diungkapkan Morrison beberapa hari sebelum Presiden Jokowi mengumumkan ada WNI yang positif tertular.
Tapi, semua keraguan banyak pihak ini dijawab Menkes dengan santai. “Orang ragu ya biarin saja, nanggapin orang ragu, lak pusing,” jawabnya seperti dikutip media. Jauh sebelumnya, Menkes juga menunjukkan gestur percaya diri. “Secara medis, doa, semua karena doa, saya yakin doalah yang membuat kita semua bebas korona,” ujarnya (15/2).
Menkes pernah pula mengatakan orang Indonesia sangat kuat kekebalan tubuhnya sehingga virus korona sulit menulari. Bahkan, Menkes merasa nyaman saja saat banyak pihak meragukan keterangannya, dan tak merasa terbebani menghadapi wabah ini. “Ya nyamanlah. Nyaman karena kita ikhlas, bekerja ikhlas, berserah, memberikan yang terbaik,” ujarnya seperti dikutip banyak media.
Delapan kandidat vaksin
Inilah masalahnya. Sikap Menkes yang nampak meremehkan dan santai inilah yang buat publik nasional dan internasional meragukan. Majalah mingguan nasional menurunkan laporan yang menyebutkan, Presiden kecewa dengan sikap Menkes. Barangkali ini yang membuat Presiden akhirnya mengambil alih kendali, mengumumkan sendiri sudah ada WNI yang tertular.
Keputusan Presiden ini dapat memompakan semangat dan optimisme seluruh jajaran untuk gigih menghadapi wabah Covid-19. Apalagi, dunia internasional juga berharap dan mendukung agar Indonesia bisa sukses menanggulangi wabah ini.
Indonesia juga sudah menunjukkan upaya serius. Pemulangam WNI dari Wuhan dan dilanjut mengarantina di kepulauan Natuna, adalah contoh upaya serius. Meski begitu, nampak kegagapan jajaran Menkes yang tak melakukan sosialisasi terlebih dulu ke warga Natuna sehingga sempat timbulkan protes penolakan.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA—Para penumpang kapal pesiar MV Columbus membeli oleh-oleh yang dijual pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di area terminal Pelabuhan Gili Mas, Lembar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Selasa (10/3/2020).
Indonesia negara kepulauan dengan ribuan pulau, berpenduduk keempat terbanyak dunia. Karakter Covid-19 kian menunjukkan patogenitas dengan daya transmisi sangat kuat, cepat dan efisien. Bayangkan, satu orang yang terinfeksi bisa menularkan ke 2-3 orang lain dengan sangat cepat, eksponensial. Meminjam semboyan pahlawan nasional Pangeran Sambernyowo pendiri Mangkunegaran, wabah Covid-19 ini berpotensi mengarah ke “Tiji tibeh, mati siji mati kabeh” (mati satu mati semua).
Para ahli kesehatan epidemologi mengatakan Covid-19 ini memiliki risiko fatalitas sekitar 3 persen. Ini jauh lebih parah daripada influenza musiman biasa. Pernah ada pandemi influenza 1957 dengan tingkat fatalitas 0,6 persen dan 1918 dengan fatalitas 2 persen. Seperti halnya pandemi Covid-19, wabah saat itu menyebar dengan cakupan sangat luas, menimpa banyak negara secara masif, dengan jumlah korban sangat banyak.
Wabah Covid-19 sebenarnya sangat kentara mengarah ke pandemi. Covid-19 dapat membunuh orang dewasa yang sehat, selain orang tua yang sudah sakit sebelumnya. Data sejauh ini menunjukkan, ada bukti kuat Covid-19 dapat ditularkan oleh orang yang hanya menderita sakit ringan atau bahkan sehat tanpa gejala.
Artinya, menghadapi Covid-19 ini akan jauh lebih sulit daripada saat menghadapi wabah sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) atau sindrom pernapasan akut yang parah (SARS), yang hanya disebarkan oleh orang yang bergejala. Faktanya, Covid-19 telah menyebabkan kasus 10 kali lebih banyak dalam rentang waktu hanya seperempatnya jika dibanding SARS.
Dengan gambaran ini, bisa dipahami WHO akhirnya mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi. Karena itu, kita perlu lebih sigap, setelah kehilangan banyak waktu krusial. Kita juga perlu mempercepat dan memperkuat pekerjaan di sektor perawatan, berpacu dengan maut menghasilkan vaksin bagi Covid-19.
Saat ini para ilmuwan berbagai negara sedang berusaha mengurutkan genom virus dan mengembangkan beberapa kandidat vaksin bagi Covid-19. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan beberapa perguruan tinggi yang memiliki pusat kajian penyakit tropis seperti Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga bisa bekerja sama untuk hasilkan vaksin.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Menristek Dikti Mohamad Nasir (kiri) meninjau laboratorium Pusat Genom Nasional di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, setelah peresmian fasilitas tersebut, Kamis (26/4/2018).Pusat Genom ini berfokus pada penelitian identifikasi penyakit infeksi maupun penyakit terkait genetik, pengembangan alat uji diagnostik dan vaksin serta penemuan obat baru untuk penyakit infeksi.
Kerja sama antar negara dalam bentuk Koalisi untuk Inisiatif Kesiapsiagaan Epidemi juga sudah disiapkan. Kabar terbaru, sudah ada delapan kandidat vaksin yang menjanjikan untuk segera memasuki tahap uji klinis. Jika beberapa dari calon vaksin ini terbukti aman dan efektif di uji tes pada hewan, mereka bisa siap untuk tahap uji coba skala besar awal Juni. Dan kita bisa yakin penemuan obat juga dapat dipercepat.
Siaga Anggaran
Lalu bagaimana anggarannya? Perang melawan Covid-19 ini jelas butuh biaya sangat besar. Ini untuk perkuat sektor pengawasan dan pada sisi tanggap penyakit. Alat pemindai panas suhu harus lebih banyak disiapkan di tempat-tempat publik, sebagai pendeteksi awal. Demikian juga alat uji spesimen, harus disiapkan dalam jumlah memadai.
Sebuah media nasional melaporkan, sampai akhir Februari, Kemenkes baru memeriksa 136 sampel. Dengan penduduk sekitar 270 juta, jumlah sampel ini sangat minim. Untuk perbandingan di periode sama Singapura yang berpenduduk 5,6 juta sudah memeriksa lebih dari 1.200 sampel. Malaysia yang berpenduduk 31 juta sudah memeriksa 1.000 sampel lebih, Australia yang berpenduduk 25 juta sudah 4.000 sampel.
Pandemi Covid-19 ini luar biasa. Negara-negara lain merespons dengan cepat, di antaranya segera menutup arus kedatangan tamu dari negara yang terkena wabah. Italia menyatakan lockdown, meliburkan semua aktivitas yang menghimpun warga dalam skala besar. Kompetisi sepakbola diliburkan. Ini segera diikuti beberapa negara lain.
Saat negara lain menutup kedatangan tamu asing, Indonesia malah mengucurkan anggaran besar untuk menarik kedatangan turis. Beberapa pemda, kantor swasta, dan lembaga pendidikan justru menunjukkan langkah lebih masuk akal. Seperti meliburkan tempat wisata dan membatalkan izin keramaian, menganjurkan meliburkan sekolah dan kuliah, menyediakan cairan pembersih tangan dan pemindai panas di tempat umum, serta menganjurkan umat beragama lebih mengamankan diri dalam berkumpul saat ibadah, bahkan mengumumkan titik titik rawan penyebaran suspek Covid-19.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN–Suasana kegiatan belajar mengajar di SDN 15 Kota Ambon, Maluku pada Senin (16/3/2020). Selama dua minggu terhitung mulai Selasa (17/3), Pemkot Ambon menghentikan sementara kegiatan di sekolah demi mencegah penyebaran virus corona baru.
Syukurlah, sekarang Presiden Jokowi sigap. Begitu WHO menyatakan Covid-19 pandemi, Presiden langsung membentuk Tim Reaksi Cepat, dan menunjuk Letjen Doni Monardo sebagai ketua. Kita dukung Jenderal Doni dalam perang melawan pandemi ini.
Sejumlah pekerjaan besar menanti, seperti tertuang di surat Dirjen WHO ke Presiden Jokowi. Anggaran besar mesti disiapkan. Menkeu Sri Mulyani menyediakan Rp 1 triliun. Sudah semestinya, dukungan ini termasuk pula untuk mendukung upaya secepatnya menghasilkan vaksin Covid-19.
Jika vaksin sudah dihasilkan dan sudah melewati uji klinis, pemerintah harus segera mengeluarkan dana sangat besar untuk pengadaan, distribusi dan tindakan vaksinasinya ke seluruh pelosok nasional. Dengan begitu, Indonesia tak hanya berupaya mengamankan warganya sendiri, tapi juga berkontribusi pada dunia untuk ikut meminimalkan penyebaran virus ganas ini.
Menghadapi pandemi, perlu gotong royong semua pihak. Pemerintah serius berupaya atasi, warga sebaiknya menuruti panduan ahli medis. Dan tak kalah penting, jangan sampai kita panik. Kita hadapi bersama dengan penuh optimisme. Agar “tiji tibeh” juga, yakni “mukti siji, mukti kabeh” (sentosa satu sentosa semuanya).
(Djoko Santoso, Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga)
Sumber: Kompas, 17 Maret 2020