Satu dari tiga perempuan dan satu dari lima lelaki berusia di atas 50 tahun di Indonesia berisiko terkena osteoporosis atau penyakit tulang keropos. Kini, ditemukan sistem untuk mengetahui risiko penyakit itu lebih dini.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan lebih dari 200 juta jiwa warga bumi terkena osteoporosis atau penyakit tulang keropos. Di Indonesia, menurut Yayasan Osteoporosis Internasional (IOF), satu dari tiga perempuan dan satu dari lima lelaki berusia di atas 50 tahun sangat berisiko terkena penyakit ini. Perhimpunan Osteoporosis Indonesia mencatat prevalensi penyakit yang menyerang sistem kerangka manusia ini pada perempuan usia 20-70 tahun mencapai 23 persen.
Meski prevalensi tinggi, masyarakat belum terbiasa memeriksakan diri untuk lebih dini mendeteksi osteoporosis. Mereka keberatan dengan tarif pemeriksaan yang mahal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seseorang yang terkena penyakit ini mengalami penurunan massa dan kepadatan mineral tulang, kualitas jaringan tulang, dan gangguan jaringan mikro-arsitektur tulang. Penyakit yang mengakibatkan tulang rapuh dan mudah patah ini tidak dirasakan karena penurunan massa tulang dapat terjadi bertahun-tahun tanpa disertai gejala. Peristiwa biasa, misalnya terjatuh dapat berdampak fatal terhadap penderita osteoporosis.
Penanganan utama osteoporosis bergantung pada deteksi. Dengan pemeriksaan dini, seseorang mengetahui potensi keropos tulang dalam dirinya, lalu melaksanakan berbagai program antisipasi.
Terkait dengan hal ini, peneliti Departemen Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Elektro dan Informatika Cerdas, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Jawa Timur, mengembangkan perangkat lunak Ostheoporosis Diagnosis System yang berbasis kecerdasan buatan. Aplikasi ini mampu mendeteksi osteoporosis dengan mudah, murah, dan akurat. Cukup dengan pembacaan pada citra panorama gigi yang biasanya didapat pasien saat pemeriksaan gigi.
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO–Guru besar pengolahan citra digital Prof Agus Zainal Arifin saat orasi ilmiah dalam pengukuhan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (12/2/2020).
Deteksi osteoporosis
Pengembangan teknologi pembacaan citra panorama gigi untuk deteksi osteoporosis itu mengantarkan dosen senior Departemen Teknik Informatika Agus Zainal Arifin menjadi guru besar pengolahan citra digital yang dikukuhkan dalam Sidang Terbuka Dewan Profesor ITS di Surabaya, pertengahan Februari 2020 lalu.
“Pasien yang memeriksakan diri terkait dengan osteoporosis biasanya terlambat atau mengalami gangguan dan keluhan akibat serangan penyakit ini,” kata Agus Zainal. Deteksi dini keropos tulang penting untuk pencegahan. Namun, kesadaran pemeriksaan awal osteoporosis rendah. Maklum, biaya pemeriksaan kondisi tulang mencapai Rp 700.000 untuk sekali datang. Bagi warga kebanyakan, biaya itu memberatkan.
Pemeriksaan osteoporosis mencakup pengukuran kepadatan mineral tulang atau disebut BMD (bone mineral density) pada tulang belakang (lumbar spine). Bagian yang diperiksa adalah tulang punggung (lumbar spine) dan tulang paha (femoral neck) dengan memakai alat DEXA (Dual Energy XRay Absorptiometry). Alat ini berharga mahal sehingga penggunaannya untuk pasien membuat tarif pemeriksaan pun jadi tinggi.
Di sisi lain, dari sejumlah penelitian di dalam dan luar negeri yang dibaca Agus Zainal, kepadatan tulang rahang berkaitan dengan kepadatan tulang tubuh dalam hal deteksi osteoporosis. Data kepadatan tulang rahang biasanya dimiliki dokter gigi. Sumbernya adalah citra panorama gigi pasien saat pemeriksaan gigi dan mulut. Seseorang lebih terbiasa datang ke dokter gigi daripada ke dokter tulang. Malkum, untuk citra panorama gigi, tarifnya berksar antara Rp 50.000 sampai Rp 100.000.
Citra panorama gigi
Citra panorama gigi dapat digunakan untuk mengetahui, apakah seseorang terkena osteoporosis atau tidak. Dokter gigi dapat membaca citra panorama gigi dengan mengamati penurunan ketebalan cortical bone pada bagian bawah rahang. Meski begitu, pembacaan dokter gigi terhadap citra panorama gigi masih manual. Pembacaan manual memungkinkan terjadinya kesalahan, katakanlah karena subyektivitas, pengalaman kerja, bahkan perbedaan penilaian antar dokter.
“Metode pembacaan citra panorama gigi memakai perbandingan rekam jejak medis sehingga pasien harus sudah melakukan pemeriksaan gigi sebelumnya agar penurunan tingkat kepadatan tulang rahangnya dapat diamati dengan jelas,” ujar Agus Zainal. Teknologi informasi dimanfaatkan untuk membaca citra panorama gigi yang akurat dan ditunjang dengan big data, kecerdasan buatan, dan internet of things (IoT).
“Selama lima tahun, saya mengembangkan perangkat lunak Ostheoporosis Diagnosis System untuk memudahkan pembacaan citra panorama gigi agar akurat dan cepat,” ujar penerima Ristek-Kalbe Science Awards 2010 ini.
Untuk mendeteksi osteoporosis, data citra panorama gigi dibaca oleh alat itu. Sistem kemudian menghitung lebar cortical bone. Jika lebarnya lebih dari 3 milimeter, berarti pasien mengalami osteoporosis. Hasil pembacaan dapat diketahui dalam hitungan detik.
Formula itu diuji dengan 125 orang sebagai sampel, menggunakan Ostheoporosis Diagnosis System dan BMD untuk mencocokkan hasilnya. “Software Ostheoporosis Diagnosis System memiliki kepekaan sebesar 92 dan kekhususan 86,7,” tuturnya. Perangkat lunak ini mendapatkan paten di Amerika Serikat sejak 2011.
Kini, perangkat itu digunakan dua dokter gigi. Pasien dari kedua dokter gigi itu memberikan pembacaan kondisi kepadatan tulang dari data citra panorama gigi sebelum pemeriksaan gigi dan mulut. Dokter akan merekomendasikan pasien melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke dokter tulang, jika hasil pembacaan citra panorama gigi oleh perangkat lunak tadi diketahui osteoporosis.
Oleh IQBAL BASYARI & AMBROSIUS HARTO
Editor ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 9 Maret 2020