Tim peneliti dari Universitas Ma Chung, Malang, menemukan bakteri laut ”Pseudoalteromonas rubra” di Laut Alor, Nusa Tenggara Timur. Bakteri itu berpotensi dikembangkan sebagai obat-obatan antibiotik baru.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI–Peneliti dari Ma Chung Research Center for Photosynthetic Pigments Universitas Ma Chung, Edi Setiyono, Senin (3/2/2020), menunjukkan hasil penelitiannya, yaitu temuan antibiotik alami, terbuat dari bakteri laut. Antibiotik alami tersebut diyakini lebih aman daripada antibiotik sintetis yang selama ini digunakan. Bakteri berpigmen kuning hingga merah tersebut cocok digunakan untuk industri farmasi, pewarna kain, dan solar sel.
Perairan Indonesia menyimpan kekayaan hayati yang belum sepenuhnya digali dan dimanfaatkan. Tim peneliti dari Universitas Ma Chung, Malang, Jawa Timur, baru-baru ini menemukan bakteri laut Pseudoalteromonas rubra di Laut Alor, Nusa Tenggara Timur, yang berpotensi dikembangkan sebagai obat-obatan antibiotik baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasil riset ini telah dipublikasikan di jurnal internasional American Chemical Society pada Rabu (26/2/2020). Direktur Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi (PUI-PT) Ma Chung Research Center for Photosynthetic Pigments (MRCPP), Universitas Ma Chung, Tatas HP Brotosudarmo, dalam keterangan tertulis, Kamis (27/2/2020), mengatakan, bakteri laut itu bisa menghasilkan pigmen antimikroba.
”Agen antimikroba merupakan obat yang umumnya diperoleh dari mikroorganisme yang sangat penting untuk pencegahan dan pengobatan infeksi bakteri,” kata Tatas.
Saat ini dunia kedokteran menghadapi tantangan dengan menurunnya kemanjuran obat karena terjadi resistensi antibiotik atau antimikroba. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2010 melaporkan, infeksi nosokomial yang disebabkan bakteri yang resisten terhadap antimikroba mengakibatkan 38.481 kematian di Thailand. Temuan ini bisa menjadi bahan untuk obat baru guna mengurangi resistensi antibiotik.
”Jadi, temuan ini akan sangat bermanfaat, terutama bagi kemajuan dunia kesehatan di Indonesia,” kata Tatas yang juga Wakil Ketua Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).
KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN–Gambar beberapa bakteri yang telah kebal terhadap antibiotik jika dilihat di bawah mikroskop yang telah dimodifikasi.
Dari Alor
Bakteri laut Pseudoalteromonas rubra ini ditemukan Edi Setiyono, peneliti di Laboratorium Brotosudarmo, PUI-PT MRCPP, dari air laut yang diambil dari Pantai Sebanjar dan Pulau Sika, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Isolasi terhadap bakteri yang memiliki pigmen merah itu mulai dilakukan pada 2018. ”Bakteri itu memiliki kesamaan genetika sebesar 99 persen dengan Pseudoalteromonas rubra ATCC 29570 berdasarkan uji 16S rRNA,” kata Edi.
Bersama dengan anggota tim peneliti lain, di antaranya Monika Prihastyanti, Marcelinus Adhiwibawa, dan Renny Indrawati, mereka berhasil menemukan keunikan bakteri dari Pulau Alor itu. Di antaranya, bakteri tersebut mengandung enam jenis pigmen antimikroba, yaitu cycloprodigiosin, prodigiosin, 2-methyl-3-hexyl-prodiginine, 2-methyl-3-propyl prodiginine, 2-methyl-3-butyl-prodiginine, dan 2-methyl-3-heptyl-prodiginine.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI—Peneliti dari Ma Chung Research Center for Photosynthetic Pigments Universitas Ma Chung, Edi Setiyono, Senin (3/2/2020), menunjukkan hasil penelitiannya, yaitu temuan antibiotik alami, terbuat dari bakteri laut.
Pigmen-pigmen tersebut lalu diuji aktivitasnya sebagai agen antimikroba pada beberapa bakteri patogen, seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella typhi, serta Candida albicans. Hasilnya menunjukkan bakteri laut ini bisa berfungsi sebagai antimikroba.
Sebelumnya, pada tahun 1976, bakteri Pseudoalteromonas rubra ATCC 29570 untuk pertama kali berhasil diisolasi dari air laut Mediterania dengan pigmen prodigiosin, yang memiliki aktivitas antibiotik terhadap Staphylococcus epidermis. Kemudian, pada tahun 1979, ditemukan pigmen jenis baru yang bernama cycloprodigiosin pada bakteri yang sama.
Tatas menyebutkan, sebagai negara kepulauan, biodiversitas Indonesia merupakan yang terbesar di dunia dan menjadi sumber berjuta senyawa kimia yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan obat dan potensi sumber daya ekonomi biru. ”Kemampuan untuk menguasai sains dan iptek adalah kunci utama eksplorasi dari keanekaragaman hayati menjadi sumber daya genetik dan biokimia yang mempunyai nilai secara komersial,” kata Tatas.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 5 Maret 2020