Biaya produksi listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik energi terbarukan, terutama dari surya, telah turun. Namun, ini tak menjadikan energi listrik dari sumber-sumber energi terbarukan terdongkrak di Indonesia.
Biaya untuk memproduksi listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik energi terbarukan, khususnya dari surya, turun sejak beberapa tahun terakhir. Ini mengamini tren global yang juga menunjukkan hal serupa. Hanya di Indonesia, penurunan ini tak menjadikan energi listrik dari sumber-sumber energi terbarukan untuk didongkrak dan mendapatkan keberpihakan.
Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Kupang pada 2014 membutuhkan biaya 11,2 juta dollar AS untuk menghasilkan listrik 5 megawatt, artinya biaya listrik sekitar 2.240 dollar AS per kilowatt. Lima tahun kemudian, tahun 2019, pembangunan PLTS di Bali Barat dan Timur sebesar 21 juta dollar AS untuk menghasilkan 25 megawatt, artinya biaya listrik sekitar 840 dollar AS per kilowatt.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penurunan hingga hampir dua pertiga ini pun senada dengan tren global. Data dari International Renewable Energy Agency (Irena) menunjukkan biaya listrik dari PLTS di sejumlah negara, seperti China, Amerika Serikat, Inggris, India, Jepang, Italia, Perancis, dan Jerman, mengalami penurunan mencapai 66-84 persen pada periode 2010 ke 2018.
PRESENTASI IEEFA–Perkembangan Biaya Listrik Sejumlah Negara; Sumber: Presentasi IEEFA, 30 Januari 2020
Tren ini terjadi karena didukung perkembangan pembuatan modul elemen solar PV yang kian murah dan bersaing sejak 10 tahun terakhir. Instalasi yang kian murah ini juga didukung teknologi yang menjadikan penyerapan dan penyaluran energi surya kian efisien.
Peneliti IEEFA, Elrika Hamdi, Kamis (30/1/2020), di Jakarta, mengatakan, terdapat sejumlah alasan energi listrik terbarukan yang terbukti terus turun ini sulit terdongkrak. Alasan pertama, regulasi harga listrik pada energi terbarukan tidak mendapatkan keberpihakan. Contohnya, Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 yang dikeluhkan sejumlah pengusaha/investor karena membuat harga listrik dari energi terbarukan tak bisa bersaing dengan harga listrik dari energi kotor, batubara.
Alasan lain, disebutkannya, adalah kesiapan sistem kelistrikan di dalam negeri. Dicontohkan, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Bayu di Sidrap Sulawesi Selatan yang tak bisa maksimal menyerap listrik yang dihasilkan.
Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, mengatakan, Indonesia membutuhkan peta jalan menuju pembatasan maupun penghapusan pembangkit listrik berbahan bakar fosil, terutama batubara. Ini dibutuhkan untuk memberi ruang bagi energi terbarukan untuk ikut ambil bagian sebagai penyuplai utama kebutuhan listrik nasional.
”Kami sekarang belum ada komitmen jelas dan legally binding (mengikat). Satu-satunya aturan kan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang politis juga,” kata Bondan. Ia menyebut ”politis” karena komitmen tak lagi membangun PLTU itu penuh ”tanda bintang” seperti tidak berlaku di luar Jawa-Bali serta tak berlaku pada PLTU yang telah dalam tahap perencanaan.
Menurut dia, Indonesia perlu menaruh target tahun untuk menghentikan pemakaian energi fosil seperti yang telah dilakukan negara lain. Dicontohkan Jerman, negara industri yang didukung kelistrikannya oleh PLTU, menargetkan bebas PLTU pada 2040.
Bondan mengatakan Indonesia perlu keluar dari paradigma bahwa PLTU batubara menghasilkan listrik yang murah. Ia menunjukkan biaya listrik dari batubara sebesar 51,22 dollar AS per megawatt hour (MWh). Namun, biaya PLTU batubara kemudian akan naik secara signifikan, yakni 152,65 dollar AS per MWh setelah biaya kesehatan dan emisi CO2 (pajak karbon) diinternalisasikan ke dalam struktur biaya. Angka tersebut sudah melebihi biaya dari semua jenis pembangkit energi terbarukan. Misalnya, biaya biomassa dan solar PV masing-masing adalah 112,76 dollar AS per MWh dan 108,07 dollar AS per MWh.
PRESENTASI IESR–Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Sumber: Institute for Essential Services Reform (IESR), 24 Januari 2020
Berdasarkan data institute for Essential Services Reform (IESR), porsi energi terbarukan hanya 12,2 persen dalam pembangkitan tenaga listrik pada 2019. Dari sisi pembangkit listrik tenaga surya, terbangun 152 MW (atau 0,028 persen dari potensi 536 gigawatt) pada 2019. Dalam RUPTL 2019-2028, porsi energi terbarukan malah akan turun menjadi 9,8 persen pada 2020 dengan dominasi 90,2 persen dari energi fosil. Kemudian pada tahun 2028, persentase listrik diturunkan hingga 18 persen dan dominasi energi terbarukan mencapai 82 persen yang didominasi pembangkit listrik tenaga air (40 persen) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (36,2 persen).
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 30 Januari 2020