Indonesia berhasil menyelamatkan tiga orbit satelitnya, yang akan habis waktu regulasi atau sah sebelum meluncurkan satelit penggantinya dalam Konferensi Radiokomunikasi Sedunia 2019 (WRC-19) di Mesir.
Indonesia menghadiri Konferensi Radiokomunikasi Sedunia 2019 (WRC-19), 28 Oktober-22 November 2019 lalu dengan tantangan besar, menyelamatkan tiga orbit satelitnya, yang akan habis waktu regulasi atau sah sebelum meluncurkan satelit penggantinya.
Jika gagal, pendaftaran satelit pengganti akan berada pada urutan bawah satelit negara lain. Sungguh suatu misi yang tidak main-main. Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai penanggung jawab pendaftaran satelit nasional ke International Telecommunication Union (ITU), mengajukan usul perpanjangan batas waktu regulasi ketiga orbit satelit yang akan berakhir sebelum satelit pengganti dapat dioperasikan, ke WRC-19 yang diadakan di Sharm El-Sheik, Mesir, kota wisata di tepi Laut Merah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam sidang pertama Sub-Kelompok Kerja 5B3 (SWG 5B3) yang berada di bawah Kelompok Kerja 5B yang diserahi tugas oleh Komite 5, usul Indonesia yang pertama terkait perpanjangan batas waktu regulasi orbit jaringan satelit PALAPA C1-B di orbit satelit 113 BT (113 derajat Bujur Timur) dapat diterima sidang, dengan tak adanya keberatan resmi dari negara anggota ITU lain. Slot orbit 123 BT ini berada tepat di atas Sulawesi, dan diperpanjang dari 6 Agustus 2019 menjadi 31 Juli 2020.
Tak demikian halnya dengan kedua usul perpanjangan batas waktu orbit satelit PSN di orbit satelit 146 BT yang diusulkan diperpanjang dari 25 oktober 2019, menjadi tanggal 31 Maret 2023 dan satelit GARUDA-2 di orbit satelit 123 E, diusulkan diperpanjang dari 1 November 2020, menjadi 1 November 2024. Dalam sidang awal setelah Indonesia menyampaikan pengantar makalah usulannya dalam dokumen nomor 35 Addendum 35 tersebut, Australia dan Uni Emirat Arab (UEA) menyatakan keberatannya.
Jika gagal, pendaftaran satelit pengganti akan berada pada urutan bawah satelit negara lain. Sungguh suatu misi yang tidak main-main
Sesuai usul ketua yang disetujui sidang, Indonesia harus menyelesaikan proses koordinasi, sebelum diterima sidang. Yaitu, mencari kompromi spesifikasi kedua satelit yang berkoordinasi, sehingga tidak saling mengganggu.
Strategi hadapi negara yang berkeberatan
Ada juga keberatan dari beberapa negara lain, yang tidak dinyatakan secara resmi dalam sidang, agar tidak menyulitkan Indonesia, meski mereka meminta penyelesaian koordinasi sebelum diterima konferensi. Koordinasi dengan negara lain, misalnya China, berhasil dengan baik dengan ditandatanganinya perjanjian antara kedua pihak.
Untuk menghadapi koordinasi dengan Australia dan UEA khususnya, Indonesia menyusun suatu strategi sehingga pada akhirnya kedua negara dapat menerima. Pertama, delegasi RI mengusahakan dukungan negara lain yang bersimpati dan/atau membutuhkan dukungan imbalan mengenai agenda lain dari konferensi, misalnya soal perlindungan layanan satelit mereka terhadap pemakaian bersama (berbagi atau sharing) pita yang sama dengan layanan terestrial atau terhadap layanan satelit lainnya.
Hal ini dilakukan khususnya dengan negara-negara Afrika, yang memiliki sejarah saling mendukung, dan wakil-wakilnya dikenal vokal serta kebetulan membutuhkan dukungan terkait usulan Africa Telecommunication Union (ATU) untuk mempertahankan warisan ITSO (International Telecommunication Satellite Organization) atau ITSO Heritage. Dalam hal ini, Indonesia bahkan diundang menghadiri rapat koordinasi anggota-anggota ATU. Afrika Selatan kemudian menyatakan dukungan imbal baliknya pada Indonesia.
Dubes RI untuk Mesir secara khusus menemui ketua dan delegasi Iran yang vokal. Mereka menyatakan bahwa kementerian luar negerinya memerintahkan delegasi Iran mendukung usul Indonesia. Sebelum keberangkatan delegasi RI, Menkominfo (saat itu) Rudiantara mengundang beberapa duta besar negara bersahabat untuk meminta dukungan mereka. Wakil delegasi Samoa, negara berpengaruh di Pasifik, juga bersedia mendukung atas dasar imbal balik usul perlindungan layanan satelitnya.
Kedua, dalam koordinasi, perlu memupuk saling kepercayaan, sehingga ada kesediaan menyelesaikan koordinasi setelah konferensi, meningkatkan hubungan kerja sama lebih harmonis antara kedua operator dan administrasi. Indonesia akan menjamin hak labuh (landing right) layanan satelit mereka di wilayah Indonesia.
Ketiga, Indonesia memberikan laporan usaha koordinasi bersama, dalam setiap sidang, saat ketua sidang melaporkan ke sidang induk di atasnya. Ini untuk menunjukkan kesungguhan Indonesia berkoordinasi. Apresiasi atas kerja sama dengan operator yang diajak koordinasi juga perlu diberikan, sekaligus untuk raih simpati peserta sidang. Tujuannya agar mereka terdorong percepat proses koordinasinya.
Perundingan dengan Australia
Dalam kesempatan koordinasi dengan salah satu pihak yang berkeberatan, yakni NBNco, operator Australia itu meminta berbagai data tambahan spesifikasi satelit Pasifik Satelit Nusantara (PSN), selain yang sudah pernah diberikan sebelumnya saat berkoordinasi di Bali. Mereka minta beberapa data spesifikasi yang sedang dikembangkan pabrik pembuatnya. PSN mengusulkan kemungkinan mengadakan konferensi jarak jauh lewat video atau tim Indonesia bersama wakil pembuat satelit datang ke Australia setelah konferensi selesai.
Akhirnya, setelah berunding dari pertengahan minggu pertama hingga akhir minggu ketiga dari konferensi yang berlangsung empat minggu, NBNco mengendurkan tuntutannya dengan menyatakan akan mengirimkan konsep perjanjian ke PSN untuk ditandatangani bersama. Perjanjian antara NBNco dan PSN itu kemudian dilaporkan ke ketua Komite 5. Dalam sidang pleno ke-10, setelah ketua Komite 5 melaporkan semua permintaan perpanjangan batas waktu dari sejumlah negara yang telah diterima sidang, termasuk usul Indonesia tentang PALAPA C1-B, Indonesia langsung melaporkan keberhasilan koordinasinya dengan Australia, dan tak menyebut sama sekali perkembangan koordinasi dengan UEA.
Delegasi Australia meneguhkan keberhasilan tersebut. Peristiwa yang ikut menentukan sejarah ini, terjadi, hanya dua hari sebelum konferensi ditutup. Keberhasilan ini secara tak langsung memberi tekanan pada UEA untuk berkompromi. Pada akhir sidang pleno, ketua delegasi Australia sependapat dengan delegasi Indonesia, bahwa keberhasilan kedua administrasi dalam mencapai kesepakatan, ikut menyumbang hubungan baik kedua negara.
Perundingan dengan UEA
Perundingan dengan operator Uni Emirat Arab (UEA), Yahsat, lebih rumit dan menjengkelkan daripada perundingan dengan pihak NBNco Australia, oleh karena mereka mendaftarkan satelit yang akan diluncurkannya pada orbit satelit yang tepat sama dengan orbit satelit Indonesia yang dikelola oleh operator satelit Dini Nusa Kusama (DNK), di 123 BT.
Nampaknya mereka berantisipasi, apabila usulan Indonesia gagal, maka merekalah yang akan menggantikannya. Suatu pendaftaran (filing) yang tidak biasa, karena umumnya pendaftaran yang baru dilakukan di orbit di dekatnya, misalnya berjarak satu derajat lebih.
Mereka mengetahui kelemahan Indonesia, apalagi UEA mempunyai seorang anggota di Badan Regulasi Radiokomunikasi (RRB) ITU yang ikut menentukan keabsahan pendaftaran orbit satelit. Usul DNK untuk meminta perpanjangan pengunduran waktu regulasi selama empat tahun dianggap berlebihan oleh Yahsat. Kelemahan di pihak DNK ini antara lain karena belum adanya pendanaan, sehingga ada keraguan yang berpengaruh pada pemesanan satelit pengganti yang diambil alih oleh DNK sebagai operator.
Pada awalnya, Yahsat mengusulkan suatu perjanjian yang sangat berat sebelah. Mereka meminta perlindungan dari jaringan satelitnya. Di sisi lain, DNK tidak dapat meminta perlindungan terhadap satelitnya. Padahal, mereka berkepentingan untuk juga memperoleh hak labuh bagi layanan satelitnya di wilayah Indonesia. DNK berpendapat bahwa lebih baik menarik diri daripada menandatangani perjanjian yang akan mengikat kebebasannya.
Yahsat mulai mengendur dalam tuntutannya setelah usul Indonesia yang kedua diterima dalam sidang pleno ke-10 seperti diulas di atas. Wakil Yahsat dan administrasi UEA mendatangi ketua delegasi Indonesia dalam sidang pleno, dan mengusulkan penandatangan perjanjian antara kedua administrasi, kemungkinan agar lebih aman karena DNK adalah operator yang masih baru.
Setelah memperoleh laporan keberhasilan koordinasi antara Indonesia dan UEA, ketua Komite 5 memasukkan laporannya ke sidang pleno ke-12, dan akhirnya sidang pleno ke-12 yang diselenggarakan hanya satu hari sebelum konferensi selesai, akhirnya mengesahkan laporan Komite 5 yang mengusulkan diterimanya kedua usul Indonesia yang terakhir dikoordinasikan, yakni berturut-turut dengan Australia dan UEA. Lengkaplah sudah ketiga usul Indonesia untuk perpanjangan batas watu regulasi diterima sidang pleno dan dengan demikian oleh WRC-19.
Jaringan satelit PSN 146 (146 E) yang diperjuangkan perpanjangan batas waktu regulasinya tersebut, sangat menentukan (crucial) bagi proyek Satelit Multi Fungsi (SMF) yang sedang dikembangkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Proyek SMF ini dikelola oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Informasi (BAKTI) untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia, khususnya daerah terpencil dengan akses satelit yang lebih baik, dengan integrasi dengan jaringan Palapa Ring yang telah menjangkau seluruh ibukota kabupaten/kota seluruh Indonesia.
(Arnold Djiwatampu Anggota Delegasi RI pada Konferensi Radiokomunikasi Sedunia 2019 (WRC-19))
Sumber: Kompas, 14 Desember 2019