Emisi yang dihasilkan perusahaan penghasil bahan bakar fosil terbesar di dunia bertanggung jawab atas lebih dari setengah pengasaman laut sejak zaman pra-industri. Hal itu mengancam kehidupan terumbu karang.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Penyelam mengidentifikasi kondisi beserta kelimpahan karang dan ikan di sekitar Pulau Ay yang termasuk Kawasan Konservasi Perairan Pulau Ay dan Rhun di Banda Naira, Maluku Tengah, Minggu (3/11/2019). Kegiatan dari Coral Triangle Center ini juga menyurvei kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat. Gubernur Maluku sejak tahun 2016 mencadangkan kawasan konservasi perairan ini seluas total 47.968,74 hektar.
Sebuah studi terbaru dalam jurnal ilmiah Environmental Research Letters mengemukakan, emisi yang dihasilkan dari perusahaan penghasil bahan bakar fosil terbesar di dunia bertanggung jawab atas lebih dari setengah pengasaman laut sejak zaman pra-industri. Dampak pengasaman laut terbesar adalah pada kehidupan terumbu karang terutama di Segitiga Terumbu Karang Dunia yang pusat dan sebagian besar wilayahnya ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Studi itu berfokus pada 88 perusahaan produsen terbesar gas, minyak bumi, dan batubara serta produsen semen. Riset itu menghitung kadar pengasaman laut yang terjadi sebagai akibat dari karbon yang dilepaskan selama proses ekstraksi, produksi, dan penggunaan oleh perusahaan produsen bahan bakar fosil.
Dalam hasil kajian berjudul ”Attributing Ocean Acidification to Major Carbon Producers” yang dipublikasikan 11 Desember 2019 tersebut, para peneliti mengkaji emisi yang dihasilkan perusahaan selama dua periode waktu. Hasilnya, pada periode 1880-2015, emisi yang ditelusuri ke 88 produsen karbon utama berkontribusi sekitar 55 persen dari peningkatan yang diamati dalam pengasaman laut. Adapun pada periode 1965-2015, emisi yang ditelusuri ke 88 produsen karbon utama berkontribusi sekitar 51 persen dari pengasaman laut.
ENVIRONMENTAL RESEARCH LETTERS–Emisi dari produsen bahan bakar fosil diteliti dan menunjukkan dampaknya pada pengasaman laut. Ini ada pada jurnal Environmental Research Letters berjudul ”Attributing Ocean Acidification to Major Carbon Producers” yang dipublikasikan 11 Desember 2019.
Penelitian ini pun mendokumentasikan, industri minyak dan gas bumi sebenarnya sadar akan risiko iklim dari aktivitas mereka sejak pertengahan 1960-an. Namun, begitu sadar risiko itu diketahui secara luas, perusahaan-perusahaan itu diduga mensponsori kampanye disinformasi bernilai jutaan dollar untuk meyakinkan publik bahwa kajian sains soal iklim (climate science) terlalu tak pasti untuk menuntut aksi nyata mencegah perubahan iklim.
”Kami telah mengetahui selama beberapa dekade bahwa membakar bahan bakar fosil sejauh ini merupakan pendorong pengasaman laut terbesar. Namun, saat itu, kami tak dapat melacak berapa banyak satu perusahaan bahan bakar fosil berkontribusi pada masalah ini dan dengan cara apa,” tutur Rachel Licker, penulis studi utama dan ilmuwan iklim senior di Union of Concerned Scientists (UCS), dalam siaran pers, Rabu (11/12/2019).
Kini, para ilmuwan dapat mengukur seberapa jauh asam laut telah menjadi hasil dari tiap produk perusahaan bahan bakar fosil. Licker dan rekan penulisnya memakai dataset yang dikembangkan Climate Accountability Institute dan mengadaptasi metodologi mereka dari studi tahun 2017, yang untuk pertama kali mengaitkan dampak iklim global—kenaikan suhu global dan kenaikan permukaan laut—untuk emisi terkait produk dari produsen bahan bakar fosil tertentu pada jangka waktu yang sedikit berbeda.
Karena pengasaman laut dan dampaknya tak seragam di seluruh dunia, tim peneliti memakai model 3-D untuk memetakan perbedaan ini dan untuk mengidentifikasi lima wilayah di mana pengasaman laut dan perubahan terkait dalam komposisi kimia laut yang memengaruhi masyarakat terdekat yang mata pencariannya bergantung pada laut yang berkembang.
Peningkatan pengasaman lebih lanjut akan menekan sektor perikanan yang menyediakan hampir 4,3 juta pekerjaan di wilayah tersebut, meliputi Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Niugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste.
Biota bercangkang
Menanggapi hasil riset ini, Intan Suci Nurhati, ahli palekoklimatologi dan paleoseanografi Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia—yang tak terlibat dalam riset tersebut—mengatakan, pengasaman laut global sebagai dampak penyerapan CO2 oleh laut.
Untuk Indonesia, kekhawatiran dari dampak pengasaman laut ini memang pada terumbu karang dan biota bercangkang lain. Pengasaman membuat kerangka kalsium pada tubuh biota karang dan biota bercangkang lain menjadi keropos karena menurunkan klasifikasi atau pembentukan skeleton.
Hal ini pun telah dibahas pada laporan Dewan Panel Ahli Antar-Pemerintah (IPCC) Assessment Report 5 dan beberapa bulan lalu pada Special Report on the Ocean and Cryosphere in a Changing Climate (SROCC).
Dalam konteks regional, ia mengatakan, variasi pH di Indonesia tinggi sehingga perlu data riil pengukuran di lapangan. Selain itu, pengasaman laut di kawasan pesisir di Indonesia tidak hanya dipicu perubahan iklim, tetapi juga polusi. Seperti tampak pada arsip alam paleo berupa selongsongan karang yang ditelitinya, variasi musiman juga terlihat pada variasi pH. Saat musim hujan, misalnya, ketika tingkat materi organik cenderung lebih tinggi, pH air laut pun menurun.
Ia pun mengatakan, posisi geografis kepulauan Indonesia yang seperti laut semi-tertutup dan terdapat aliran nutrien dan limbah dari daratan, maka tren jangka panjang pH air laut pun akan terpengaruh. ”Dengan kata lain, ada ocean acidification oleh perubahan iklim dan coastal acidification oleh aktivitas-aktivitas lokal,” ucapnya.
Kemudian, merujuk pada data paleo yang didapatkannya di perairan Natuna, tingkat keasaman laut tidak memiliki tren jelas sekitar tahun 1920, 1970, dan 2011. Dari tahun 1920 ke 1970, malah pH-nya naik sedikit, kemudian turun pada tahun 1970 ke 2010. Saat data ini ditumpang susun dengan data salinitas, ternyata hasilnya mirip.
”Artinya, dinamika oseanografi sangat memengaruhi variasi alami pH laut di Indonesia. Perlu memahami variasi alami ini sebelum bisa mengestimasi tren jangka panjang oleh aktivitas manusia,” ujarnya.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 13 Desember 2019