Pembangunan ekonomi di Indonesia hingga kini masih berbasis pada ekstraksi sumber daya alam serta masih menyisakan kesenjangan kesejahteraan masyarakat. Transformasi perekonomian Indonesia menunju ke pembangunan ekonomi hijau agar mulai dijalankan hingga tingkat tapak.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS–Seorang warga berpapasan dengan tongkang bermuatan batubara di Sungai Barito, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (13/2/2016). Sampai saat ini, sektor pertambangan batubara masih jadi sumber penerimaan pajak yang paling dominan di Kalimantan Selatan dan Tengah.
Hal itu diperlukan agar pembangunan tersebut bisa menyeimbangkan aspek sosial, pelestarian ekologi, dan peningkatan kesejahteraan manusia. Sinergi antar kementerian/lembaga di pusat hingga niat politik di daerah untuk menjalankan hal tersebut menjadi prasyarat utama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam diskusi yang membedah hasil studi Kemitraan “Meneropong Pembangunan Hijau Di Indonesia: Kesenjangan dalam Perencanaan Nasional dan Daerah (Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur), mengemuka bahwa konsep dan keinginan menjalankan pembangunan hijau itu dimulai sejak lama. Di tingkat daerah, Provinsi Kalimantan memulai dengan Green Kaltim atau Kalimantan Timur Hijau sejak tahun 2010 dan Provinsi Jambi dengan pertumbuhan ekonomi hijau pada tahun 2017.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Diskusi yang membedah hasil studi Kemitraan “Meneropong Pembangunan Hijau Di Indonesia: Kesenjangan dalam Perencanaan Nasional dan Daerah (Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur), Rabu (27/11/2019) di Jakarta. Konsep dan keinginan menjalankan pembangunan hijau tersebut telah dimulai sejak lama namun masih belum berhasil membuat Indonesia mentransformasikan perekonomiannya dari ekstraksi sumber daya alam. Tampak Abimanyu S Aji memaparkan laporan tersebut.
Di tingkat nasional, inisiatif-inisiatif serupa mengemuka melalui Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), hingga terakhir Pembangunan Rendah Karbo (PRK). Hal-hal ini sampai sekarang sayangnya masih sebatas jargon yang belum tampak implikasi di lapangan. Sebagai catatan, PRK yang diinisiasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dimulai dengan mengimplementasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada 2020-2024.
Environment Policy Officer for Indonesia pada Global Green Growth Institute (GGGI), Muhammad Taswin Munier, Rabu (27/11/2019) sebagai peserta dan pemberi masukan pada laporan itu menyatakan, kebijakan-kebijakan top down dari pemerintah pusat itu sangat bisa disinergikan. Kenyataannya, sinergi itu tak terjadi dan seolah terjadi kompetisi antarsektor.
Sebagai contoh, sosialisasi rencana pembangunan rendah karbon di daerah tak menyebut rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang mengacu pada UU no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal, Kementerian Dalam Negeri pun mensyaratkan agar RPPLH menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
“Apa yang ada sekarang, tiap kementerian lembaga melakukan kebijakan terobosan hijau tapi tidak ngobrol. Belum kesenjangan (pemerintah pusat) dengan pemerintah daerahnya,”katanya.
Ketidaksinkronan rencana PRK itu juga tampak dari diwacanakannya penghapusan persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) (Kompas, 26 November 2019). Itu dinilai tak masuk akal karena penghilangan Amdal akan menghilangkan panduan bagi investor maupun pengawas lingkungan dalam mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan.
“Memang Amdal itu banyak sebagai stempel, tapi jangan dihilangkan. Seperti SIM (Surat Izin Mengemudi) itu bisa didapat dengan bayar atau ujian. Tapi apa kemudian SIM mau ditiadakan. Jadi prosesnya yang harus diperbaiki,” kata Taswin.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Muhammad Taswin MunierEnvironment Policy Officer for Indonesia, Global Green Growth Indonesia (GGGI).Difoto pada 27 November 2019 di Jakarta.
Dalam konteks perubahan iklim, ia pun menilai Amdal bisa dimanfaatkan untuk memperhitungkan emisi pada suatu proyek. Data-data ini bisa melengkapi dokumen komitmen penurunan emisi (NDC), emisi gas rumah kaca, dan rencana PRK di daerah.
Menanggapi laporan Kemitraan, Sudhiani Pratiwi, Kasubdit Kualitas Lingkungan dan Perubahan Iklim, Bappenas, mengatakan pemerintah memiliki aplikasi Krisna yaitu sistem online yang membuat kementerian/lembaga terintegrasi dan terujuk ke Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan. Karena itu kementerian/lembaga tak mendapat anggaran bila tak merujuk pada Krisna.
Kepala Sub Direktorat Penataan Daerah Wilayah I Kementerian Dalam Negeri Saydiman Marto menyatakan fakta perekonomian Indonesia bertumpu pada sumber daya alam. Itu menyebabkan deforestasi pada kurun waktu 2000-2014 begitu tinggi hingga mencapai luas separuh Pulau Jawa.
“Itulah mengapa perencanaan pembangunan hijau di Indonesia jadi penting. Kita harus mencari sumber daya lain karena selama sumber daya ekonomi dicari dari hutan maka akan terus jadi konflik. Silahkan rekan-rekan masyarakat sipil memberi masukan karena regulasi selalu bisa direvisi,” ujarnya.
Studi Analisa Pembangunan Hijau yang dikerjakan Kemitraan bersama organisasi masyarakat sipil Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Transformasi untuk Keadilan Indonesia, Kaoem Telapak, Madani Berkelanjutan dan Auriga Nusantara, serta Universitas Negeri Kalimantan Timur dan Universitas Negeri Jambi, mengidentifikasi upaya atau perencanaan pembangunan hijau di tingkat provinsi, dan memberi masukan kepada pemerintah pusat dan daerah.
Dua provinsi yang menjadi obyek studi penelitian adalah Jambi dan Kalimantan Timur, yang mewakili gambaran permasalahan serta komitmen pemerintah daerah terhadap konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Hasil temuan yang diperoleh tim Kemitraan berfokus pada proses formulasi RPJMD, proses pembuatan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) serta Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berfokus pada aspek sosial, ekonomi, ekologi dan institusi.
Hasil temuan dan data-data yang dikumpulkan dibahas dengan para pihak terkait dalam diskusi terbatas di provinsi penelitian melalui kerjasama dengan Bappeda masing-masing provinsi, dengan tujuan mendapatkan umpan balik serta memvalidasi hasil temuan dengan para pemangku kepentingan kunci. Kemitraan juga bekerjasama dengan koalisi masyarakat sipil yang aktif terlibat dalam penulisan dan memberikan masukan hingga mencapai tahap final.
Direktur Eksekutif Kemitraan Monica Tanuhandaru menyebutkan prioritas kabinet Presiden Joko Widodo di periode kedua yakni mengubah ekonomi berbasis sumber daya alam menjadi ekonomi berbasis industri. Namun tak bisa dipungkiri, survei sosial ekonomi nasional 2016 menunjukkan lapangan pekerjaan berbasis lahan dan sumber daya alam mencapai 40 persen dan lapangan pekerjaan dari ekonomi berbasis industri hanya mencapai 8 persen.
“Ada ketimpangan tajam bahwa hanya 15 persen rakyat menguasai 58 persen tanah, hutan dan lahan di seluruh Indonesia. Ini ketimpangan penguasaan sumber daya alam yang tidak transparan. Maka harus ada transformasi menuju strategi pembangunan hijau,” lanjutnya.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 28 November 2019