Sekitar satu dekade, Jiji Suhaiji merantau ke Poso sebagai guru. Karier dan kehidupan keluarganya berjalan sangat baik hingga suatu ketika konflik Poso pecah. Ia dan keluarga terpaksa lari ke kampung halamannya di Sukabumi. Hidup sebagai ”pengungsi” tak menghalangi Jiji mengabdi sebagai guru. Ia berhasil mendirikan sekolah bagi kaum yang tak punya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/RATIH P SUDARSONO–Jiji Suhaiji guru SMK Patriot Mandiri. Sekolah tersebut dibangun untuk menerima siswa yang kurang beruntung secara akademik dan ekonomi agar semua mendapat pendidikan formal yang lebih adil dan membesarkannya.
Jalan hidup Jiji Suhaiji sepertinya sudah digariskan untuk mengabdi di dunia pendidikan. Setelah memenangi lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI TVRI tahun 1987, ia mendapat beasiswa untuk kuliah ikatan dinas di D-3 Ilmu Gizi di Politeknik Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan IPB. Setelah lulus, ia langsung ditempatkan sebagai guru di sebuah SMK di Poso, Sulawesi Tengah. Awalnya, ia mengajar ilmu gizi. Namun, setelah melanjutkan S-1 jurusan biologi, ia mengajar mata pelajaran Biologi.
Ia menjalani tahun pertamanya di Poso dengan kesederhanaan. Ia tinggal bersama para pembuat dan penjual roti. Karena itulah, ia ikut belajar membuat roti. Setelah berkeluarga, ia dan istrinya, Nopi Pahriawani, membuka usaha pembuatan roti untuk menambah penghasilan.
”Jadi guru itu gajinya masih kecil, tapi banyak waktu luang yang bisa kita gunakan. Saya ingat pesan bapak, lebih baik punggung hitam terbakar matahari (karena kerja) daripada perut melilit kelaparan,” katanya.
Setiap pagi, sebelum menuju sekolah, Jiji mengantar roti buatan istrinya ke beberapa toko atau pelanggannya. Dari usaha roti ditambah gaji sebagai guru, mereka bisa hidup lebih layak, membangun rumah, bahkan membeli mobil. ”Di rantau, hidup kami sudah cukup baik, kami betah,” kenang Jiji.
Namun, kehidupan mereka tiba-tiba porak-poranda ketika pecah konflik Poso mulai akhir 1998 dan memuncak tahun 2000-an. Ia menceritakan, situasi akibat konflik horizontal di Poso itu sangat panas. Hanya lantaran berbeda agama, orang baku bunuh.
Dalam situasi kacau, Jiji dan keluarga memutuskan lari dari Poso. Saat itu, untuk keluar dari Poso bukan perkara mudah. Ia dan dua anaknya yang masih kecil mesti berjalan kaki menyusuri rute Jiji saat mengantar roti. Pertimbangannya, masyarakat di jalur itu sudah mengenalnya dan cinta damai. Meski sebagian berbeda agama, mereka melindungi dan menyelamatkan Jiji sekeluarga.
”Kalau saat itu saya tidak berani mengambil keputusan untuk keluar dan melalui jalan tersebut, saya sekeluarga kemungkinkan sudah mati saat pemukiman kami diserbu,” lanjut Jiji.
Setelah berhasil keluar dari Poso, mereka kembali ke rumah orangtuanya di Cibadak, Sukabumi, sebagai ”pengungsi” Poso. Mereka memulai hidup dari nol. ”Ibaratnya, saya cuma punya kolor saja. Tiga tahunan saya limbung, cemas, tidak punya apa-apa,” ujarnya.
Kembali ke kampung
Untungnya, karena status Jiji adalah aparatur sipil negara, ia mendapat penempatan sebagai guru biologi di sebuah SLTA di Sukabumi. Setelah beberapa tahun mengajar, ia menemukan persoalan pendidikan di kampungnya ternyata lebih rumit dari yang pernah ia temukan di Poso. Ia menemukan banyak sekali anak-anak putus sekolah, terutama anak-anak yang kurang pintar dan berasal dari keluarga tidak mampu.
”Kalau anak pintar dan orangtuanya tidak mampu, dia bisa lolos ke sekolah negeri dan mencari beasiswa. Kalau anaknya kurang pintar, tapi orangtuanya mampu, mereka masih tetap bisa sekolah. Bagaimana dengan anak yang kurang pintar dan orangtuanya tidak mampu? Mereka tidak bisa sekolah, selamanya tertinggal dalam kebodohan dan kemiskinan,” tuturnya.
KOMPAS/RATIH P SUDARSONO–Jiji Suhaiji (paling kiri) bersama beberapa guru dan siswa SMK Patriot Mandiri.
Buat Jiji, situasi itu tidak adil. Mereka yang kurang cerdas dan dari keluarga tidak mampu semestinya tetap mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan. Berangkat dari keprihatinan itu, Jiji bersama kerabatnya berinisiatif mendirikan SMK yang ia namai SMK Patriot Mandiri di Desa Cimanggu, Kecamatan Cikembang, Kabupaten Sukabumi, pada 2015. Sekolah itu diperuntukkan bagi lulusan SMP dari keluarga tidak mampu yang terancam putus sekolah.
Untuk membangun sekolah itu, Jiji dan kerabatnya menyatukan tanah warisan sekitar 2 hektar dari orangtua mereka, Sudarman, dan mengibahkannya ke Yayasan Sudarma Patriot Mandiri selaku payung SMK Patriot Mandiri. Jiji juga berutang ke bank senilai Rp 100 juta dengan jaminan SK pengangkatannya sebagai ASN. Selain itu, ia menguras hampir semua tabungannya.
Setelah sekolah berdiri, ia menjaring siswa SMP yang tidak diterima di SLTA negeri dan orangtuanya tidak mampu menyekolahkan mereka di sekolah swasta. Untuk masuk ke SMK Patriot Mandiri, siswa tidak perlu membayar uang pangkal. Namun, saat itu SMK yang didirikan Jiji hanya mampu menerima sembilan siswa.
Setahun kemudian, sekolah itu mendapat bantuan pembangunan USB (unit sekolah baru) berupa gedung dengan enam ruang kelas, 2 ruang labolatorium, dan 1 ruang kantor, yang total nilainya Rp 2,5 miliar. Sejak saat itu, siswa yang masuk ke SMK menjadi 87 orang.
Sekarang, siswanya mencapai 200-an orang. Mereka hanya dikenai SPP Rp 75.000 per bulan. Angka ini jauh dari SPP di sekolah swasta lain. Sampai sekarang, siswa tidak dipungut uang pangkal dan uang bangunan.
Pendirian sekolah tersebut dari awal memang tidak dimaksudkan untuk bisnis pendidikan, melainkan untuk memberikan akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu. Jiji membuktikan, mesti ia pulang kampung ke Sukabumi dengan status sebagai ”pengungsi” dari Poso, ia punya energi untuk membantu orang lain lewat dunia pendidikan.
Jiji Suhaiji
Lahir: Sukabumi, 6 Agustu 1968
Istri: Nopi Pahriawani
Anak: Lilis Roslina, Ispe Hidayat Sarip
Pendidikan:
SD Cimangu 3 Sukabumi (1981)
SMPN Warung Kiara Sukabumi (1984)
STM Pertanian Cibadak Sukabumi (1987)
S-1 Ilmu Biologi di Universitas Sintuwu Maroso Poso Sulteng (1996)
S-2 Pendidikan di Universitas Pakuan Bogor (2014)
Prestasi:
Pemenang Karya Ilmiah Remaja LIPI TVRI, bidang aplikasi teknologi, dengan karya berjudul Proses Pembuatan Anggur Kulit Buah Pisang (1986)
Karya Ilmiah Remaja LIPI TVRI, bidang ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan dengan karya berjudul Pengamanan Kendaraan Tradisional Nayor (1987)
Menjadi peserta Youth Since Singapura (1998)
RATIH P SUDARSONO
Sumber: Kompas, 31 Oktober 2019